Partai Islam
Di tengah banyak masalah tentang DPT, penghitungan suara yang sangat lamban dan banyak soal teknis lainnya, Pemilu legislatif 9 April 2009 memunculkan sejumlah "kejutan" politik tertentu. Meskipun sebelumnya telah terlihat dalam berbagai polling menjelang pemungutan suara, tetap saja hasil-hasil sementara Pemilu mendatangkan beberapa kejutan; di antaranya keberhasilan Partai Demokrat meningkatkan perolehan suaranya sekitar tiga kali lipat dibanding perolehannya pada Pemilu 2004. Orang boleh menganggap keberhasilan itu lebih karena faktor SBY, bukan karena partainya sendiri. Apapun juga, faktanya tetap saja; PD merupakan partai yang memperoleh suara terbanyak, mengalahkan dua partai yang sebelumnya bergantian paling unggul dalam Pemilu 1999 dan 2004, yakni PDIP dan Partai Golkar.
Dengan penerapan "parlamentary threshold", ambang batas suara untuk bisa memiliki kursi di DPR-RI sebanyak dua setengah persen, dan dengan melihat rekapitulasi sementara yang dikeluarkan KPU, bakal ada hanya sembilan partai di parlemen. Mereka adalah PD, Partai Golkar, PDIP, PKS, PAN, PPP, PKB, Partai Gerindra dan Partai Hanura. Tujuh partai berasaskan Pancasila; hanya PKS dan PPP yang berdasarkan Islam.
Dengan demikian, hasil Pemilu legislatif 2009 memperlihatkan gambaran tidak menggembirakan bagi parpol Islam. PKS yang sebelumnya diramalkan baik oleh kalangan PKS sendiri maupun orang luar akan mengalami peningkatan signifikan, ternyata pada dasarnya hanya mampu mempertahankan basis suaranya yang memang sudah solid. Sedangkan PPP mengalami penurunan signifikan. Dua partai lainnya yang Muslim-based meski berasas Pancasila, yaitu PAN yang berbasis warga Muhammadiyah berhasil mempertahankan dukungan yang relatif konstan; sementara PKB yang berbasis warga Nahdliyyin mengalami kemerosotan signifikan.
Perkembangan parpol-parpol Islam yang tidak menggembirakan ini khususnya bagi kalangan asing cukup mengherankan, yang kemudian mempertanyakannya kepada saya. Dalam beberapa diskusi di Washington DC dengan kalangan lembaga dan pengamat demokrasi Indonesia sepekan setelah pemungutan suara, mereka heran di tengah meningkatnya trend Islam di negeri ini, kok malah parpol Islam gagal mencapai peningkatan. Kenapa gejala ini bisa terjadi; dan apa faktor-faktor penyebabnya?
Pertanyaan-pertanyaan ini, hemat saya, muncul karena dalam pikiran dan persepsi mereka, begitu demokrasi dibuka di negara-negara mayoritas Muslim, terjadilah apa yang mereka sebut sebagai "democracy trap", jebakan demokrasi. Menurut mereka, dalam kerangka itu demokrasi hanya memberikan kesempatan yang sah bagi parpol-parpol Islam untuk menguasai panggung politik dan kekuasaan untuk kemudian melaksanakan agenda-agenda mereka sendiri, seperti penerapan hukum Syari'ah khususnya hudud secara menyeluruh dan komprehensif.
Tetapi "democracy trap" itu tidak terjadi di Indonesia; sebaliknya, di tengah kompetisi dan kontestasi politik demokrasi yang begitu terbuka tidak hanya di masa Pemilu, tetapi juga sepanjang waktu pada masa Pasca-Soeharto ternyata parpol-parpol Islam masih belum juga berhasil. Karena itu, kejayaan parpol-parpol Islam terlihat seolah ilusi atau bahkan utopia belaka.
Di tengah pergulatan parpol-parpol untuk membentuk koalisi, saya mendapat banyak SMS berupa hitung-hitungan tentang kemungkinan koalisi parpol-parpol Islam dan berbasis Muslim, baik yang diproyeksikan bakal punya kursi di DPR maupun tidak. Tetapi, sejauh ini tidak ada "tanda-tanda" ke arah itu; sebaliknya yang menjadi pusat tumpuan koalisi tetap saja Kubu S/PD, Kubu M/PDIP dan Kubu J/PG. Bahkan di dalam parpol-parpol Islam terjadi pembelahan di antara pihak yang mendukung kubu tertentu, sementara satu pihak lagi mendukung kubu lainnya.
Gejala perkembangan politik yang dialami parpol-parpol Islam tentu saja bisa dilihat dari berbagai perspektif. Misalnya, ternyata bagi para pemilih Muslim pembelahan antara parpol berdasar Islam vis-a-vis berasas Pancasila tidak lagi signifikan. Dan itu boleh jadi karena mereka melihat tidak adanya perbedaan signifikan di antara kedua belah pihak ini; atau boleh jadi mereka menganggap parpol-parpol berdasar Pancasila juga sudah cukup Islami dan dapat mewakili aspirasi politik dan keagamaan mereka.
Bagaimanapun, banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan parpol-parpol berasas Islam dan berbasis massa anggota ormas-ormas Islam. Di antaranya yang terpenting adalah mengurangi, jika tidak bisa menghilangkan sama sekali, faksi-faksi yang terlibat kontestasi di dalam parpol mereka masing-masing yang melemahkan posisi tawar mereka vis-a-vis kekuatan politik lain; dan sekaligus melemahkan citra mereka di depan para pemilih Muslim.
Dengan penerapan "parlamentary threshold", ambang batas suara untuk bisa memiliki kursi di DPR-RI sebanyak dua setengah persen, dan dengan melihat rekapitulasi sementara yang dikeluarkan KPU, bakal ada hanya sembilan partai di parlemen. Mereka adalah PD, Partai Golkar, PDIP, PKS, PAN, PPP, PKB, Partai Gerindra dan Partai Hanura. Tujuh partai berasaskan Pancasila; hanya PKS dan PPP yang berdasarkan Islam.
Dengan demikian, hasil Pemilu legislatif 2009 memperlihatkan gambaran tidak menggembirakan bagi parpol Islam. PKS yang sebelumnya diramalkan baik oleh kalangan PKS sendiri maupun orang luar akan mengalami peningkatan signifikan, ternyata pada dasarnya hanya mampu mempertahankan basis suaranya yang memang sudah solid. Sedangkan PPP mengalami penurunan signifikan. Dua partai lainnya yang Muslim-based meski berasas Pancasila, yaitu PAN yang berbasis warga Muhammadiyah berhasil mempertahankan dukungan yang relatif konstan; sementara PKB yang berbasis warga Nahdliyyin mengalami kemerosotan signifikan.
Perkembangan parpol-parpol Islam yang tidak menggembirakan ini khususnya bagi kalangan asing cukup mengherankan, yang kemudian mempertanyakannya kepada saya. Dalam beberapa diskusi di Washington DC dengan kalangan lembaga dan pengamat demokrasi Indonesia sepekan setelah pemungutan suara, mereka heran di tengah meningkatnya trend Islam di negeri ini, kok malah parpol Islam gagal mencapai peningkatan. Kenapa gejala ini bisa terjadi; dan apa faktor-faktor penyebabnya?
Pertanyaan-pertanyaan ini, hemat saya, muncul karena dalam pikiran dan persepsi mereka, begitu demokrasi dibuka di negara-negara mayoritas Muslim, terjadilah apa yang mereka sebut sebagai "democracy trap", jebakan demokrasi. Menurut mereka, dalam kerangka itu demokrasi hanya memberikan kesempatan yang sah bagi parpol-parpol Islam untuk menguasai panggung politik dan kekuasaan untuk kemudian melaksanakan agenda-agenda mereka sendiri, seperti penerapan hukum Syari'ah khususnya hudud secara menyeluruh dan komprehensif.
Tetapi "democracy trap" itu tidak terjadi di Indonesia; sebaliknya, di tengah kompetisi dan kontestasi politik demokrasi yang begitu terbuka tidak hanya di masa Pemilu, tetapi juga sepanjang waktu pada masa Pasca-Soeharto ternyata parpol-parpol Islam masih belum juga berhasil. Karena itu, kejayaan parpol-parpol Islam terlihat seolah ilusi atau bahkan utopia belaka.
Di tengah pergulatan parpol-parpol untuk membentuk koalisi, saya mendapat banyak SMS berupa hitung-hitungan tentang kemungkinan koalisi parpol-parpol Islam dan berbasis Muslim, baik yang diproyeksikan bakal punya kursi di DPR maupun tidak. Tetapi, sejauh ini tidak ada "tanda-tanda" ke arah itu; sebaliknya yang menjadi pusat tumpuan koalisi tetap saja Kubu S/PD, Kubu M/PDIP dan Kubu J/PG. Bahkan di dalam parpol-parpol Islam terjadi pembelahan di antara pihak yang mendukung kubu tertentu, sementara satu pihak lagi mendukung kubu lainnya.
Gejala perkembangan politik yang dialami parpol-parpol Islam tentu saja bisa dilihat dari berbagai perspektif. Misalnya, ternyata bagi para pemilih Muslim pembelahan antara parpol berdasar Islam vis-a-vis berasas Pancasila tidak lagi signifikan. Dan itu boleh jadi karena mereka melihat tidak adanya perbedaan signifikan di antara kedua belah pihak ini; atau boleh jadi mereka menganggap parpol-parpol berdasar Pancasila juga sudah cukup Islami dan dapat mewakili aspirasi politik dan keagamaan mereka.
Bagaimanapun, banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan parpol-parpol berasas Islam dan berbasis massa anggota ormas-ormas Islam. Di antaranya yang terpenting adalah mengurangi, jika tidak bisa menghilangkan sama sekali, faksi-faksi yang terlibat kontestasi di dalam parpol mereka masing-masing yang melemahkan posisi tawar mereka vis-a-vis kekuatan politik lain; dan sekaligus melemahkan citra mereka di depan para pemilih Muslim.
Tulisan ini pernah dimuat di Koran Republika, Kamis 30 April 2009