Pandangan Islam terhadap Wanita

Pandangan Islam terhadap Wanita

Oleh Nanang Syaikhu

SEORANG artis wanita ternama di sebuah stasiun televisi swasta beberapa waktu lalu meliak-liuk di atas panggung. Ia begitu bersemangat saat membawakan lagu kesayangannya yang belum lama dirilis. Untuk menambah pesona penampilannya, ia juga membalut tubuh seksinya dengan pakaian minim dan super ketat, sehingga tampak mengundang “selera” kaum adam.

Penampilan artis serba seronok di layar kaca, baik sebagai penyanyi maupun pemain sinetron, saat ini bukan hal aneh. Dalam jagat hiburan, televisi dan sejenisnya yang menampilkan sejumlah wanita cantik dan seksi merupakan sebuah fenomena sekaligus tragedi kemanusiaan bagi kaum hawa. Sebab, dalam panggung hiburan yang cenderung “mengeksploitasi seks” itu, wanita tidak lagi memiliki nilai kecuali sebatas obyek “pemuas” nafsu kaum laki-laki. Kaum wanita tidak lagi dipandang sebagai makhluk Tuhan yang harus dicintai dan dihargai martabatnya.  Mereka tak lebih sekadar barang antik yang layak dipajang di berbagai etalase. Bahkan wanita juga dianggap maskot keberuntungan, seolah jika tanpa wanita produk barang maupun jasa tidak menjadi laku jual. Selain di jagat hiburan, hampir tidak ada hotel, restoran, atau show room yang tidak melengkapi usahanya dengan wanita-wanita cantik dan berbikini seronok. Hukum pasar itu tidak hanya berlaku di Barat, tapi juga di Indonesia yang memiliki latar belakang budaya yang jauh berbeda.

Di dunia Barat, seks dan wanita memang sudah tak aneh. Karena semangat ekonomi Barat yang cenderung kapitalistik, telah menganggap seks sebagai industri. Tak ada kegiatan ekonomi tanpa seks dan tak ada seks tanpa ekonomi. Dengan kata lain di Barat saat ini telah berlaku pepatah “ekonomi untuk seks dan seks untuk ekonomi”.

Sebuah gambaran bagaimana seks telah menjadi sebuah kekuatan industri dan ekonomi pernah dilaporkan oleh Committee of Fourteen, yakni suatu komisi pembaharuan moral di Amerika, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukannya. Laporan itu menyebutkan bahwa hampir semua ballroom, night club, salon kecantikan, manicure shop, panti pijat, dan hair dressing shop di Amerika telah berubah menjadi tempat-tempat pelacuran, bahkan dengan kondisi yang lebih buruk lagi. Belum terhitung tempat-tempat bisnis resmi yang menampung ribuan pelacur di kota-kota besar Amerika, seperti New York, Rio de Jeneiro, dan Boenos Aires.

Sementara di Inggris, terdapat wanita-wanita yang menggantungkan kehidupannya dari menyewakan atau menjual tubuhnya. Jumlahnya dari tahun ke tahun semakin meningkat. Hal yang sama juga melanda negara-negara Eropa lainnya, seperti Perancis, Jerman, dan Swedia. Di Jerman, bahkan secara resmi, telah membuka dan mensahkan tempat-tempat pelacuran. Di Hamburg, tepatnya di Distrik St. Pauli, terdapat kira-kira 300.000 pengunjung setiap bulan. Mereka dengan leluasa dapat memarkir mobilnya di garasi bawah tanah, untuk selanjutnya memilih seorang wanita untuk teman berkencan. Menggeliatnya industri seks juga berlangsung di Benua Australia serta beberapa negara di kawasan Asia kini (Ibnu Musthafa, 1993).

Dalam Islam, seks dan wanita tidak dipandang semurah itu. Seks adalah sesuatu yang sakral dan hanya ada dalam ruang privacy para pemiliknya. Ketika Adam (simbol pria) diciptakan, Allah kemudian menciptakan Hawa (simbol wanita), yang menurut sejumlah literatur, berasal dari tulang rusuk Adam atau berasal dari satu jiwa (QS. an-Nisa: 1). Hawa (Eve) yang kelak menjadi istri Adam, lalu ditasbihkan sebagai wanita pertama yang melahirkan keturunan manusia, baik laki-laki maupun wanita. Dari sinilah proses reproduksi manusia terus berlangsung hingga abad kini (QS. an-Nisa: 1).

Namun, wanita dan pria selain diciptakan berasal dari satu jiwa, keduanya memiliki sifat-sifat perbedaan dan sekaligus persamaan. Pria memiliki fisik yang lebih kuat, sehingga memungkinkan untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang memerlukan energi besar. Sedangkan wanita memiliki fisik lemah dan penuh kelembutan, yang baginya hanya membutuhkan pekerjaan-pekerjaan dengan  kesabaran dan ketelatenan. Selain itu, pria memiliki gejolak jiwa yang lebih rasional, sementara wanita lebih emosional dan berperasaan. Meski berbeda secara fisik, baik jenis kelamin maupun letupan jiwanya, keduanya memiliki hubungan serasi bila dipadukan dan menjadi sebuah harmoni dalam kehidupan. Inilah perbedaan dan persamaan dari sunnatullah pria-wanita. Keduanya memiliki fitrah untuk sama dan tidak sama (QS. ar-Ruum: 30).

Untuk mengharmonikan kehidupan, Allah mengizinkan pria dan wanita melangsungkan pernikahan secara sah sesuai syari’at. Pernikahan, tepatnya hubungan seksual, di luar syari’at dianggap batal dan pelakunya dikategorikan zina (QS. al-Isra: 32). Allah juga mengecam pria dan wanita melakukan penyimpangan-penyimpangan seksual lain, termasuk membuka aurat di ruang publik. Bahkan secara spesifik, Allah menegur kepada para wanita yang berasyik-masyuk dengan keindahan tubuhnya sendiri di depan publik (QS. al-Ahzab: 59 dan QS. an-Nur: 31), kecuali kepada muhrim di lingkungan keluarganya.

Di mata Allah, manusia (pria-wanita) memiliki kemuliaan dan keagungan. Perintah Allah kepada syetan untuk bersujud kepada Adam, setidaknya menjadi bukti dari kemuliaan manusia atas makhluk-makhluk lain — meski kemudian syetan melakukan pembangkangan atas perintah Allah tersebut. Dengan kemuliannya itu, manusia kemudian diperintahkan untuk menjaga harmoni, karena proses diciptakannya manusia untuk memelihara kelangsungan hidup dan sekaligus memelihara harmoni alam. Proses harmoni manusia akan dicapai apabila keduanya saling memahami diri -- sesuai hak dan kewajibanya serta tugas dan fungsinya. Keduanya juga tidak saling mengeksploitasi satu sama lain yang pada gilirannya akan menurunkan martabat manusia dari kemuliaannya di sisi Allah (QS. ar-Ruum: 30 dan QS. at-Tin: 4-5).

Kemuliaan dan martabat manusia, lebih-lebih kepada wanita, setidaknya juga telah menjadi perhatian Rasulullah SAW dan kalangan sufi. Rasulullah SAW sangat mencintai wanita, karena wanita adalah makhluk Tuhan sebagaimana halnya kaum laki-laki. Beliau sering mengatakan, “Tiga hal yang menyenangkan bagiku: harum-haruman, wanita dan shalat.” Sementara kalangan sufi, seperti Imam al-Ghazali dan Ibnu ‘Arabi, memandang wanita sebagai obyek penglihatan terhadap Tuhan. Dalam diri wanitalah, segala keindahan dan keagungan Tuhan mewujud. Dan wanita, demikian Ibnu ‘Arabi, adalah lokus penampakkan diri Tuhan yang paling sempurna.* (ns)

Penulis adalah staf pengajar Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta