Palestina Merdeka dan Isu Jerusalem
-
20 Mei 2021
-
5 mnt baca
-
-
599
Ali Munhanif
ESKALASI kekerasan Israel di Jerusalem dan Gaza sejak akhir Ramadan tampaknya akan menjadi tonggak penting dalam upaya menghidupkan kembali agenda diplomasi internasional yang telah lama mati suri, yakni kemerdekaan Palestina. Masyarakat internasional dipaksa menyikapi tragedi kemanusiaan ini secara berbeda.
Hal itu, khususnya, jika dikaitkan dengan fakta bahwa isu kemerdekaan Palestina yang semula berfokus pada kedaulatan wilayah dan pemerintahan telah bergeser jauh menjadi konflik perebutan kota suci Jerusalem. Perkembangan itu mengusik perhatian semua komunitas agama di dunia.
Terbukanya peluang politik itu hendaknya dimanfaatkan faksi-faksi perlawanan Palestina mengambil dua langkah strategis. Pertama, rekonsiliasi dan bersatunya faksi-faksi yang berkonflik menyangkut strategi perjuangan pembebasan, utamanya Hamas dan Fatah.
Kedua, menggalang jejaring diplomasi bersama Liga Arab dan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) untuk mendorong akselerasi perdamaian Israel-Palestina guna menemukan kesepakatan soal wilayah, garis perbatasan, dan repatriasi pengungsi dengan mengangkat Jerusalem sebagai model bagi 'solusi dua negara'; sebuah norma politik yang dewasa ini dianut masyarakat internasional.
Dalam formula 'solusi dua negara'--disetujui AS, Israel, dan Palestina dan didukung DK PBB--Jerusalem masuk pembahasan yang ditangguhkan. Isu lain seperti hak ganti rugi bagi yang terusir akibat Perang 1967 tampaknya mendesak dituntaskan. Namun, kebijakan Donald Trump yang mengakui Jerusalem sebagai ibu kota Israel pada 2017 menghancurkan semua upaya diplomasi Israel-Palestina.
Perkembangan ini semakin membuat Israel berada di atas angin yang dengan seenaknya terus memainkan kartu Jerusalem sebagai cara jahat tanpa perikemanusiaan menggagalkan 'solusi dua negara'. Eskalasi kekerasan sekarang ini bisa dibaca sebagai bentuk telanjang dari motif Israel menggagalkan pemilu Palestina 22 Mei 2021 ini.
Isolasi Jerusalem
Hancurnya Perjanjian Oslo 1993, munculnya Intifadah Al-Aqsha 2000, dan sikap AS soal Jerusalem telah menstrukturkan isu konflik atas kota suci menempati posisi sentral dalam proses perdamaian. Apa yang perlu dicermati ialah kekerasan atas Jerusalem dan perang Hamas-Israel saat ini jangan sampai mengecoh dunia internasional untuk menuntut keadilan, kebebasan, dan pengembalian hak wilayah dalam bingkai Palestina merdeka.
Posisi strategis Jerusalem bukan terletak pada karakter sucinya, melainkan pada fakta bahwa kota itu menjadi miniatur bagi semua problematik konflik dan pendudukan Israel atas Palestina: dari soal pengungsi, restitusi properti, garis perbatasan, kontrol keamanan warga, permukiman ilegal Yahudi, hingga agama.
Pertama-tama, imajinasi metaforik tentang kota-kota suci di dunia, semisal Mekah-Madinah, Arab Saudi; Karbala, Iran; Kuil Emas, India; dan Katedral, Vatikan; sejatinya telah berubah. Norma internasional tentang negara-bangsa sebagai dasar pengakuan kedaulatan telah mapan dianut. Implikasinya negara berdaulat menjadi satu-satunya governing institution bagi suatu kota, termasuk kota suci.
Sejak 1991, Jerusalem menempati posisi sentral dalam kesepakatan Mahmoud Abbas dengan PM Israel Ehud Olmert. Namun, dalam proses perundingan Oslo 1993, status kota suci menjadi poin paling sulit dicari jalan keluarnya karena dalam Resolusi DK PBB 242 Tahun 1967, tidak ada klausul tentang kota suci. Dalam arti bahwa status Jerusalem diposisikan sama dengan Tepi Barat, Gaza, atau Dataran Tinggi Golan.
Dengan demikian, meskipun Kesepakatan Oslo mengawali titik terang 'solusi dua negara', soal Jerusalem tetap mengganjal karena baik PLO maupun Israel berkeras menjadikan wilayah itu ibu kota negara. Itu khususnya dipicu meningkatnya gerakan perlawanan atau partai politik berbasis agama--di kedua kubu--yang tampil mengambil alih kepemimpinan negosiasi. Dari sinilah, sakralisasi isu Jerusalem dalam konflik Israel-Palestina bermula.
Jalan diplomasi
Setelah Perang 1967, Israel mengantisipasi posisi Palestina melalui rentetan kebijakan membangun 'Jerusalem Raya'. Misalnya, Israel menjaga superioritas demografis bagi Yahudi. Pada 1974, bersamaan dengan pidato pertama Yasser Arafat di PBB, Kementerian Urusan Jerusalem menetapkan rasio populasi Arab vs Yahudi tidak boleh lebih 26%/73%. Jerusalem juga menjadi kota terlarang bagi warga di Tepi Barat dan Gaza.
Segregasi etnik-keagamaan ini menggila karena berlaku di hampir semua lini administrasi kota: mulai UU zonasi, hak izin tinggal, IMB, garis zona hijau, hingga pembangunan tembok pemisah di Tepi Barat. Kebijakan inilah yang mendorong terjadinya kristalisasi politik identitas dalam konflik Israel-Palestina.
Organisasi-organisasi nasionalis Palestina yang lahir belakangan berwatak agama dan Jerusalem tampil sebagai simbol terdepan dari mobilisasi politik identitas. Intifadah, misalnya, yang awalnya ialah gerakan kemerdekaan pasca-PLO, berubah menjadi gerakan perlawanan bercorak keagamaan radikal.
Dalam konteks menyikapi menguatnya mobilisasi agama atas konflik Israel-Palestina inilah, sikap RI untuk perdamaian harus berdiri tegas pada prinsip mencari jalan keluar yang adil untuk kemerdekaan Palestina. Solusi itu harus, pertama, mendorong penyatuan faksi-faksi yang bertikai guna menjamin penguatan visi 'solusi dua negara'. Kedua, isu utama soal keutuhan wilayah dan kedaulatan bagi negara merdeka antara Israel dan Palestina juga harus terus disuarakan.
Problem tanah suci Jerusalem bisa dipecahkan mengikuti prinsip Romawi ketika memisahkan Vatikan dari Italia. Ini mengasumsikan dua kedaulatan terpisah yang telah disepakati. Hasilnya ialah dua negara bagian, dua kedaulatan, yaitu Vatikan (Takhta Suci) dan Republik Italia (dengan ibu kota Roma). Solusi itu mensyaratkan Israel-Palestina telah mencapai kesepakatan soal teritorial, hak ganti rugi, dan delineasi perbatasan.
Usul terakhir inilah yang paling mungkin ditempuh karena memberi ruang Jerusalem untuk dibagi menjadi ibu kota dua negara: Palestina di Jerusalem Timur, Israel di sebelah barat. Jika kompleksitas isu Jerusalem terpecahkan, akan terbuka ruang untuk menerjemahkannya menjadi bahan negosiasi yang realistis dan terukur.
Pemilu Palestina yang akan diikuti Hamas dan Fatah--dan diharapkan akan menghasilkan pemerintahan Palestina yang bersatu--pada 22 Mei 2021 ini semestinya menjadi tonggak bersejarah munculnya satu alternatif bagi dua kepentingan sekaligus: pertama, membangun kembali Otoritas Palestina sebagai wakil resmi diplomasi dan, kedua, menumbuhkan kepercayaan bagi para politikus dan pemuka agama di Israel. (zm)
Penulis adalah Guru Besar Ilmu Politik, Dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Artikel dimuat Media Indonesia pada Kamis 20 Mei 2021.