Pahala Berkompetisi

Pahala Berkompetisi

Oleh: Dr. K.H. Syamsul Yakin MA,  Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Jakarta

Allah SWT berseru, “Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan” (QS. al-Baqarah/2: 148). Menurut Wahbah al-Zuhaili dalam Tafsir Munir, maksud ayat ini adalah Allah SWT memerintahkan untuk bersegera menaati kebaikan dan menerima kebaikan tersebut untuk dilaksanakan. Jadi ayat ini adalah ajakan berkompetisi dalam kebaikan.

Hal serupa diungkapkan oleh pengarang Tafsir Jalalain dan Syaikh Nawawi Banten dalam kitabnya Tafsir Munir. Pada pokoknya, ayat ini menyeru umat Nabi SAW untuk berlomba dalam berbagai bidang seperti politik, ekonomi, pendidikan, olahraga, termasuk dalam bidang ibadah kepada Allah SWT. Pemenangnya akan beroleh pahala yang besar.

Dalam bidang politik, umat Islam harus ikut berpartisipasi secara langsung atau tidak untuk dalam perhelatan politik eksekutif dan legislatif. Sebab,  menurut sebagian ulama,  kekuasaan itu harus direbut untuk memenangkan kehidupan. Hidup yang tidak diperjuangkan tidak akan dimenangkan. Kompetisi politik bagi umat Islam adalah  keniscayaan.

Namun bagi umat Islam ikut berkompetisi dalam politik bukan dalam upaya who gets whats, when, how (siapa mendapatkan apa, kapan, dan bagaimana) seperti diteorikan oleh Harold Lasswell. Sebab apabila praktik seperti ini terjadi yang muncul adalah penyalahgunaan kekuasaan  (abuse of power) dan kesewenang-wenangan.

Keikutsertaan umat Islam dalam kontestasi dan kompetisi politik adalah dalam rangka tolong-menolong dalam kebaikan. Tepatnya, untuk kesejahteraan bangsa dan negara. Allah SWT berfirman, “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. al-Maidah/4: 2).

Sementara itu, umat Islam memandang secara integral antara urusan negara (politik) dan urusan agama (ibadah). Oleh karena itu, seorang muslim yang baik adalah yang berkompetisi dalam urusan dunia (negara dan politik) dan berkompetisi juga dalam urusan ibadah. Sebab keduanya adalah investasi untuk kehidupan kini di sini dan nanti di sana.

Abu Hurairah bercerita, “Ada sekolompok orang miskin datang menghadap Nabi SAW. Mereka berkata, “Orang-orang kaya itu memperoleh  derajat yang tinggi dan kenikmatan yang kekal. Mereka shalat seperti kami shalat. Mereka puasa seperti kami berpuasa. Namun mereka memiliki kelebihan harta sehingga bisa berhaji, berumrah, berjihad serta bersedekah.

Kemudian Nabi SAW bersabda, “Maukah kalian aku ajarkan suatu amalan yang dengan amalan tersebut kalian akan mengejar orang yang mendahului kalian dan dengannya dapat terdepan dari orang yang setelah kalian. Dan tidak ada seorang pun yang lebih utama daripada kalian, kecuali orang yang melakukan hal yang sama seperti yang kalian lakukan.

Kalian bertasbih, bertahmid, dan bertakbir seusai shalat sebanyak tiga puluh tiga kali”. Kami pun berselisih. Ada yang bertasbih tiga puluh tiga kali, bertahmid tiga puluh tiga kali, bertakbir tiga puluh empat kali. Aku pun kembali pada beliau. Nabi SAW bersabda, “Ucapkanlah subhanallah wal hamdulillah wallahu akbar, sampai tiga puluh tiga kali.” (HR. Bukhari).

Abu Hurairah bercerita lagi, “Sekelompok orang fakir dari kalangan Muhajirin kembali menghadap Nabi SAW. Mereka berkata, “Saudara-saudara kami yang punya harta  akhirnya mendengar apa yang kami lakukan. Lalu mereka pun melakukan semisal itu.”   Nabi SAW bersabda, “Inilah karunia yang Allah berikan kepada siapa yang  Ia kehendaki.” (HR. Muslim).

Allah SWT berfirman, “Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa” (QS. Ali-Imran/3: 133). Untuk meraih ampunan dan surga pun Allah meminta untuk berkompetisi. Padahal ampunan dan surga itu sendiri adalah pahala berkompetisi.

Terbit Minggu, 6 September 2020 di https://republika.co.id/berita/qg8k69374/pahala-berkompetisi (sam/mf)