Ormas Islam Indonesia dan Diplomasi Perdamaian Global

Ormas Islam Indonesia dan Diplomasi Perdamaian Global

Zezen Zaenal Muttaqin

BEBERAPA tahun silam, ketika saya mengikuti proses seleksi beasiswa untuk sekolah S-3 hukum di University of California Los Angeles (UCLA), Amerika Serikat, saya mengajukan proposal riset tentang pembatasan konflik bersenjata. Salah satu penguji bertanya kepada saya, “Apa pentingnya studi dan riset Anda untuk Indonesia? Kita negara aman dan damai. Buat apa Anda riset tentang pembatasan konflik bersenjata?”

Sejak jauh hari, saya sudah mengantisipasi pertanyaan seperti ini pasti akan muncul dan menyiapkan argumennya. Saya pun menjawab kurang lebih begini, “Indonesia adalah negara muslim terbesar di dunia. Juga menjadi satu dari sedikit negara muslim dengan sistem demokrasi yang mapan dan aman. Ke depan, Indonesia akan mempunyai peranan lebih besar di dunia muslim. Tahukan Anda, apa masalah terbesar di dunia muslim? Konflik bersenjata! Menurut data yang saya miliki, setidaknya dalam 20 tahun terakhir, sebagian besar konflik yang terjadi di dunia ini berada di negara-negara berpenduduk muslim. Atau, jika tidak, seperti dalam kasus di Tiongkok, Filipina, dan Thailand, konflik itu melibatkan aktor kombatan muslim. Karena itu, jika Indonesia ingin berperan di kancah global, terutama dalam urusan konflik dan perdamaian, studi yang saya lakukan menjadi penting.”

Problem keamanan dan konflik di negara-negara muslim saat ini masih cukup kompleks. Menjadikan ini sebagai salah satu problematika paling penting, yang harus diselesaikan sebelum hal lain bisa dicapai. Menata dan mencapai kesejahteraan, fondasi utamanya ialah keamanan. Persis di sinilah peran yang strategis bisa dimainkan oleh Indonesia secara umum dan ormas-ormas Islam secara khusus.

Nahdlatul Ulama (NU), yang baru saja menggelar muktamar ke-34 di Lampung, telah memilih kepengurusan baru di bawah komando Gus Yahya dengan visi NU yang semakin mengglobal. Peran organisasi Islam Indonesia, seperti NU dan Muhammadiyah, bisa dilihat dari dua sisi: peranan mediasi dan peranan moderasi.

Saya harus menjelaskan sedikit kata moderasi yang saya maksud di sini. Karena, kata ‘moderasi’ sudah terkesan seolah menjadi bagian dari proyek besar antiradikalisme. Moderasi yang saya maksud ditujukan sebagai usaha untuk membatasi dan mengatur kekerasan yang digunakan oleh para pihak dalam konflik. Tujuannya ialah agar fasilitas dan masyarakat sipil tidak menjadi korban. Aspek ini yang sering dilupakan dan karena itu penting dielaborasi.

Moderasi konflik Usaha yang sungguh-sungguh harus dilakukan untuk mendamaikan para pihak yang bertikai dan mengakhiri konflik. Namun, dalam banyak kesempatan, mediasi itu gagal dan konflik terus berlangsung dengan berbagai alasan. Karena itu, upaya membatasi kekerasan dalam konflik menjadi upaya sangat penting walaupun sering terlupakan. Pembatasan dan pengaturan kekerasan ini menjadi krusial karena itulah asas bagi perlindungan masyarakat dan fasilitas sipil.

Lantas, di mana pentingnya organisasi Islam seperti NU dan Muhammadiyah terlibat dalam upaya ini? Bukankah itu adalah urusan dan tanggung jawab lembaga internasional yang netral seperti Komite Palang Merah Internasional atau International Committe of the Red Cross (ICRC)?

Memang betul, di kancah global, usaha mendorong dan mengingatkan para pihak agar mematuhi hukum dan aturan perang dimotori oleh ICRC. Akan tetapi, sesungguhnya itu adalah kewajiban siapa pun termasuk ormas keagamaan, dan ormas Islam sedianya memegang peran penting dalam upaya ini. Ormas Islam memiliki posisi unik yang tidak dimiliki lembaga internasional seperti ICRC.

Dalam konteks konflik di dunia muslim atau melibatkan kombatan muslim, selain menyeru dan memediasi perdamaian, ormas Islam dengan menggunakan bahasa dan pendekatan agama bisa menyeru dan mengingatkan akan pentingnya perlindungan terhadap semua pihak yang tidak terlibat secara langsung dalam konflik, seperti masyarakat sipil, para tawanan, dan kombatan yang terluka. Para ulama dan tokoh muslim memiliki otoritas untuk bicara hal ini.

Dari sisi yurisprudensi Islam (fikih), sejak masa pembentukan hukum di era awal Islam (masa formatif), elaborasi pembatasan kekerasan dalam konflik ini menjadi bagian penting dari bahasan fikih para ulama. Pembahasan itu biasanya ditemukan dalam bab siyar atau bab jihad dalam fikih-fikih klasik.

Secara normatif, Al-Qur’an menyeru agar tidak melewati batas (i’tidad) dalam berperang melawan musuh sekalipun (Q 2:190). Bahkan Al-Qur’an, untuk beberapa hal, terlampau maju dari visi zamannya. Misalnya, untuk urusan tawanan musuh, Al-Qur’an menyerukan untuk memperlakukannya dengan sangat baik, sama seperti muslim diwajibkan memperlakukan anak yatim dan orang miskin dengan baik dan penuh kasih sayang (Q 76: 8-9). Ketika praktik peperangan secara lumrah menghukum tawanan dengan perbudakan dan eksekusi, Al-Qur’an hanya menyerukan perlakuan yang bahkan terlalu manusiawi pada masanya: pembebasan tanpa syarat atau dengan tebusan (Q 47:4).

Pada masa Khalifah Abu Bakar, aturan yang ketat juga diberlakukan kepada para komandan dan tentaranya. Wasiatnya kepada para pasukan itu, oleh para sarjana kontemporer diberikan julukan ‘10 Perintah Abu Bakar (Abu Bakr’s Ten Commands). Sebagaimana dikutip dalam Siyar al-Kabir karya Imam al-Shaybani, dalam perintah itu sang khalifah melarang keras pasukannya untuk melukai para pendeta atau rahib, anak-anak dan perempuan, orang tua renta, serta menghancurkan pepohonan dan membunuh binatang ternak. Perintah itu, jika disederhanakan, adalah instruksi panglima tertinggi untuk melindungi para pihak yang tidak terlibat secara langsung dalam konflik.

Diplomasi Perdamaian Global Beberapa tahun lalu, ketika saya bekerja di sebuah lembaga internasional, saya sempat mendampingi pimpinan untuk bertemu dengan Kiai As’ad Said Ali dari PBNU. Salah satu informasi yang disampaikan Kiai As’ad kepada yang hadir saat itu ialah terkait peran NU melakukan upaya diplomasi perdamaian di Afghanistan. Ia menyampaikan waktu itu bahwa para ulama Afghanistan bahkan akan membuat NU Afghanistan.

Para ulama yang sebagian terafiliasi ke Taliban itu juga beberapa kali berkunjung ke Indonesia, difasilitasi pemerintah, untuk studi banding kehidupan keagamaan di Indonesia. Mereka berkunjung ke pesantren, melihat bagaimana hakim perempuan bekerja di pengadilan, datang ke kampus-kampus Islam, dan tentu saja bertemu para kiai dan tokoh organisasi keagamaan Islam. Sebagian kader ulama Afghanistan bahkan ada yang disekolahkan di perguruan tinggi Indonesia.

Peran NU di Afghanistan ini kembali menjadi berita di media ketika Afghanistan jatuh ke tangan Taliban dari tentara AS dan sekutunya pada 2021 lalu. Taliban terlihat berbeda dan lebih moderat dari masa sebelumnya. Diplomasi dan komunikasi organisasi keagamaan negara muslim lain, termasuk NU, sangat berperan dalam hal ini.

Di lain kesempatan, meski mungkin tidak banyak diketahui, organisasi Muhammadiyah juga terlibat cukup intensif dalam upaya mediasi perdamaian para pihak di Mindanao, Filipina Selatan. Seperti yang kita tahu, di wilayah itu konflik berkepanjangan terjadi antara para kombatan muslim dan pemerintah Filipina. Kombatan muslim sendiri terpecah menjadi beberapa faksi yang juga kadang saling serang. Selain banyak sempalan kecil, faksi besarnya ialah MNLF (Moro National Liberation Front) pimpinan Nur Misuari dan MILF (Moro Islamic Liberation Front) pimpinan Hashim Salamat.

Saya masih ingat, juga karena mewakili tempat saya bekerja, sekitar tahun 2011-an, Muhammadiyah mengundang para pihak yang bertikai di Mindanao itu ke Solo, Jawa Tengah, untuk sebuah pertemuan perdamaian.

Mungkin tak banyak yang tahu, Muhammadiyah juga saat itu secara resmi masuk dalam International Contact Group (ICG) yang didirikan pada 2009. ICG adalah lembaga yang dibentuk untuk mendorong dan memonitor upaya negosiasi perdamaian. ICG beranggotakan Jepang, Inggris, Turki, dan Arab Saudi. Menariknya, ICG juga secara resmi melibatkan tiga organisasi nonpemerintah, yaitu Muhammadiyah, the Asia Foundation, dan the Henry Dunant Center. ICG adalah lembaga pertama yang melibatkan kombinasi diplomat negara dan aktor NGO internasional dalam upaya perdamaian.

Dua contoh di atas adalah salah satu bukti peran strategis organisasi keagamaan di Indonesia, terutama NU dan Muhammadiyah, dalam upaya mediasi konflik dan diplomasi perdamaian. Ke depan, upaya-upaya serupa akan terus dinanti dunia muslim.

Tantangan Kekayaan dan otoritas tradisi yang panjang inilah yang bisa dijadikan modal oleh ormas Islam untuk menyeru kepada para kombatan muslim agar tunduk pada aturan perang. Jadi, selain mengacu pada instrumen hukum internasional (Konvensi Jenewa dan Konvensi Den Haag), seruan oleh ormas Islam bisa pula didasarkan pada yurisprudensi Islam. Menariknya, ketaatan pada ajaran Islam mestinya mengikat secara otomatis para penganutnya, tanpa perlu proses ratifikasi dan pengakuan seperti instrumen internasional.

Aspek kedua ini sepertinya belum banyak diperankan oleh ormas Islam Indonesia dalam kancah global. Selama ini, upaya yang dilakukan lebih banyak pada aspek mediasi konflik untuk mencapai perdamaian. Mungkin ini menjadi salah satu tantangan bagi ormas Islam Indonesia dalam upaya perdamaian global. Ke depan, sembari mengupayakan terus terciptanya perdamaian, ormas Islam Indonesia juga harus senantiasa mengingatkan para pihak dalam konflik untuk senantiasa tunduk kepada aturan pembatasan kekerasan.

Dengan demikian, sambil usaha perdamaian terus diupayakan, konflik di dunia muslim tidak menjadi neraka tak bertepi yang menghancurkan orang-orang tak berdosa. Ormas besar seperti NU dan Muhammadiyah mempunyai tanggung jawab besar kepada umat untuk melakukan itu. Wallahu’alam.

Penulis adalah Pengurus PCINU Amerika-Kanada, Dosen FSH UIN Jakarta Doktor UCLA School of Law. Artikelnya dimuat kolom opini Harian Umum Media Indonesia, Sabtu 5 Februari 2022.