Orasi Profesor Abdul Wahid Hasyim: Ini Latar Belakang Keterlibatan Politik Kyai
Auditorium Utama, BERITA UIN Online— Dosen Sejarah Islam Indonesia pada Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Jakarta, Abdul Wahid Hasyim, dikukuhkan menjadi Guru Besar Ilmu Sejarah Islam Indonesia. Pengukuhan dilakukan dalam sidang senat terbuka UIN Jakarta di Auditorium Utama, Rabu (14/9/2022).
Sidang senat terbuka pengukuhan dibuka langsung Ketua Senat Universitas UIN Jakarta Prof. Dede Rosyada MA. Turut membersamai pengukuhan Rektor UIN Jakarta Prof. Hj. Amany Lubis didampingi para wakil Rektor, para dekan dan pimpinan sekolah pascasarjana.
Wahid diangkat menjadi guru besar melalui Surat Keputusan Menteri Agama RI Nomor 020904 Tahun 2022 tentang Kenaikan Jabatan Akademik/Fungsional atas nama Dr. H. Abd. Wahid Hasyim MA. Pengukuhannya sendiri ditandai pemasangan selempang guru besar, penyerahan SK Menag RI atas pengangkatannya sebagai guru besar, dan penyampaian orasi ilmiah guru besar.
Dalam orasi ilmiahnya, Dosen Sejarah Islam Indonesia kelahiran Babat, Jawa Timur, ini menyampaikan makalah bertajuk Politik untuk Pemberdayaan Umat: Potret Persentuhan Kiai dengan Politik di Era Reformasi. Dalam orasi ini, ia menyoroti bentuk dan motif keterlibatan kyai dalam politik nasional di era reformasi.
Reformasi politik, ungkapnya, membawa perubahan fundamental dalam arsitektur politik dan sistem pemerintahan. Era ini ditandai kehadiran ruang luas bagi publik untuk bebas berbicara, berekspresi, berserikat, dan berkumpul terutama dalam rupa partisipasi politik.
Pada partisipasi politik, salah satu elit sosial yang aktif adalah tokoh publik berlatar agama atau kyai dengan mendirikan sejumlah partai politik atau bertahan pada partai politik yang sudah mapan. Kyai yang mendirikan partai politik diantaranya KH Abdurrahman Wahid (PKB), KH Muhammad Yusuf Hasyim (PKU), KH Syukron Makmun (PNU), KH Abu Hasan (Partai Suni), dan KH Abdullah Faqih (PKNU).
Selain mendirikan, sejumlah kyai memutuskan bergabung di partai politik yang sudah mapan seperti KH Alawi Muhammad (PPP), KH As'ad Umar (Golkar), H. Saifullah Yusuf dan KH Hasib Wahab (PDIP). "Fenomena ini menegaskan terjadinya transformasi peran kyai yang terlibat semakin dalam di pusaran politik," katanya.
Partisipasi politik sendiri, sebutnya, memperkaya kategori kyai ke dalam kyai pesantren, kyai tarekat, kyai politik, dan kyai panggung. Sedang jika dirinci berdasar keterlibatannya pada dunia politik, kategori kyai juga berkembang menjadi kyai politis, kyai netral, dan kyai apolitis.
Pada kyai yang terlibat dalam politik, paparnya, dilatarbelakangi setidaknya tiga faktor, yaitu keagamaan, sosiokultural, dan ekonomi. Dari sisi keagamaan, keterlibatan politik dimaknai pengabdian khalifah di muka bumi guna menghantarkan umat meraih kehidupan adil, makmur, dan sejahtera.
Dari sisi sosiokultural, jelasnya, keterlibatan kyai dilatarbelakangi membumikan sekaligus melembagakan ideologi Ahlussunah wal jama'ah. Sedang secara ekonomi, keterlibatannya didorong keinginan mereka memperkuat ekonomi umat yang masih marginal.
Merujuk motivasinya, Wahid berkesimpulan, keterlibatan kyai dalam politik tidak boleh dibatasi. Sebab keterlibatan mereka terutama didasarkan pada misi penting, yaitu mengangkat umat yang masih lemah secara ekonomi dan rendah secara intelektual.
"Bila kyai mampu menanggulangi persoalan terkait dua hal tersebut, terlebih untuk melancarkan agenda pemberdayaan umat, tidak ada alasan untuk meminimalkan keterlibatan kyai dalam politik dan kekuasaan," tandasnya.
Diketahui, Wahid merupakan dosen sejarah di Program Magister Sejarah dan Kebudayaan Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Jakarta. Ia mengampu sejumlah mata kuliah sejarah Islam Indonesia seperti Sejarah Indonesia, Sejarah Indonesia Kontemporer, Pengantar Sejarah Indonesia, Masyarakat Muslim Indonesia, dan Islamic Intellectual History and Social Movement.
Selain mengajar, Wahid juga aktif melakukan riset dan mempublikasikan sejumlah karya ilmiah di berbagai jurnal nasional dan internasional. Diantaranya, Harakatul Jannah Mosque: Minang Identity and Islamic Mission in Diaspora (2020), Rethinking the Role of Kiai Leadership in Modernizing Pesantren in Cianjur West Java (2021), Demak Sultanate: The Fortress of Islamic Greatness in the Middle Ages Java Island (2021).
Dosen yang lahir pada 17 Agustus 1956 ini menyelesaikan jenjang pendidikan sarjana hingga doktor di UIN Jakarta setelah sebelumnya menamatkan pendidikan di Pondok Pesantren Gontor, Ponorogo, Jawa Timur. Pendidikan sarjana lengkap selesai tahun 1983, lulus magister tahun 1996, dan doktor tahun 2008. Sejak sarjana, ia konsisten mengambil studi Sejarah Kebudayaan Islam dengan spesialisasi sejarah Islam Indonesia.
Di luar aktivitas mengajar dan melakukan riset, Wahid juga pernah dipercaya menduduki sejumlah jabatan di kampus tempatnya mengabdi. Misalnya, Dekan Fakultas Adab dan Humaniora UIN Jakarta (2010-204), Wakil Ketua Koordinator Kopertais Wilayah 1 DKI Jakarta (2014-2016), Dekan Fakultas Agama Islam Unisma Bekasi (1997-2000). Terakhir, ia dipercaya menjadi Direktur Sekolah Pascasarjana UNISMA Bekasi (2009-2017).
Dalam beberapa waktu ini, UIN Jakarta berhasil menambah jumlah guru besarnya. Dalam bidang sejarah, Prof. Dr. Jajang Jahroni, kolega Wahid di Fakultas Adab dan Humaniora, sebelumnya telah dikukuhkan sebagai Guru Besar Sejarah Kebudayaan Islam.
Data yang dihimpun BERITA UIN Online, UIN Jakarta memiliki sejumlah profesor dalam rumpun ilmu sejarah. Diantaranya Prof. Dr. Azyumardi Azra MA CBE, Prof. Dr. Amelia Fauzia MA, Prof. Dr. Jajat Burhanuddin, Prof. Dr. Dien Madjid, Prof. Dr. Budi Sulistiono, dan Prof. Dr. Amirul Hadi MA, dan Prof. Dr. Murodi MA. (Foto: Hermanudin/Teks: Zaenal Muttaqin)