Optimisme Generasi Muda
Oleh Azyumardi Azra
Hari-hari ini, seputar peringatan 81 tahun Sumpah Pemuda, banyak kalangan generasi lebih senior gelisah. Kegelisahan itu tecermin dari berbagai konvensi, seminar, dan diskusi yang kebetulan saya terlibat sebagai narasumber sepanjang pekan lalu dan pekan terakhir Oktober ini. Temanya bisa beragam, sejak masalah jati diri pemuda dan bangsa; solidaritas dan kesetiakawanan sosial; sampai kepada pendidikan untuk membangkitkan kembali nasionalisme kaum muda. Meski kelihatan berbeda, semangat yang terkandung di dalamnya hampir sama; kecemasan terhadap generasi muda yang dipersepsikan kian sulit menggapai masa depan lebih baik, dan sekaligus juga tidak memiliki karakter, jati diri, etos kebangsaan, sehingga dapat mempengaruhi masa depan bangsa dan negara.
Dalam berbagai forum itu, banyak narasumber berbicara tentang sisi gelap kehidupan generasi muda sekarang. Mulai dari pendidikan yang mereka pandang masih jauh tertinggal daripada negara-negara lain; atau karena generasi mudanya sendiri mereka pandang cenderung malas yang membuat mereka kalah bersaing dengan generasi muda bangsa-bangsa lain; sampai pada anak-anak muda yang menurut mereka lebih tertarik pada budaya global daripada budaya lokal dan nasional mereka sendiri.
Kecemasan dan kekhawatiran tersebut, hemat saya, dalam segi-segi tertentu mencerminkan tidak hanya kesenjangan nilai di antara generasi lebih tua dengan generasi muda, tetapi sekaligus juga perbedaan persepsi masing-masing tentang realitas masa kini dan masa mendatang. Generasi lebih tua terbentuk lewat pengalaman yang berbeda, sesuai realitas yang ada pada masanya; sementara generasi muda kita sekarang ini hidup dalam lingkungan lokal, nasional dan internasional yang sangat berbeda. Karena itu, wajarlah jika generasi tua yang telah mapan dengan pengalaman dan nilainya sendiri memiliki kecemasan kepada generasi muda yang mempunyai nilainya dan persepsinya sendiri--yang tentu saja terbentuk di tengah dunia yang sudah dan terus dengan cepat berubah.
Di tengah kecemasan generasi tua yang lebih cenderung melihat ''sisi gelap'' (dark sides) generasi muda itu, saya sendiri sejak lama lebih memiliki optimisme terhadap generasi muda bangsa. Banyak sisi positif generasi muda yang perlu mendapat apresiasi generasi lebih tua. Meski kita masih mengeluh tentang mutu pendidikan kita yang belum juga sesuai harapan, masa sekarang ini adalah masa di mana anak-anak muda kita semakin terdidik berkat pendidikan yang semakin merata tersedia.
Optimisme juga ditemukan Harian Kompas (26 Oktober 2009) dalam jajak pendapat dalam rangka peringatan 81 tahun Sumpah Pemuda. Jajak pendapat yang dilaksanakan di 10 kota besar Indonesia menemukan bahwa generasi muda Indonesia sekarang ini sangat optimistis menyongsong dan sekaligus menghadapi tantangan masa depan mereka. Sekitar dua per tiga anak-anak muda berusia antara 16 dan 30 tahun berani memastikan bahwa kehidupan mereka nanti jauh lebih baik secara sosial ekonomis dibandingkan generasi muda 20 tahunan silam. Mereka memandang memiliki kesempatan lebih baik mendapatkan pendidikan yang juga lebih baik untuk kemudian mendapat penghasilan lebih besar, mencapai kehidupan lebih menyenangkan, menikmati kemudahan memperoleh hal-hal esensial dalam kehidupan serta turut serta dalam mendorong perubahan sosial.
Salah satu sumber optimisme itu adalah semakin terbukanya berbagai akses bagi mereka untuk meningkatkan kualitas diri--tidak hanya melalui pendidikan formal yang mereka peroleh dari sekolah atau perguruan tinggi, tetapi juga sumber-sumber belajar lainnya. Dalam hal ini, yang paling penting adalah kemajuan telekomunikasi dan informasi, yang memungkinkan mereka mengakses ilmu dan informasi lainnya bahkan secara instan.
Bila 20 tahun lalu, guru dan dosen hampir menjadi satu-satunya sumber belajar, generasi muda sekarang bahkan mendapatkan ilmu dan informasi dari beragam sumber yang tersedia dalam jaringan dunia maya.
Sebab itu, generasi lebih tua--termasuk guru dan dosen--kini sama sekali tidak boleh meremehkan anak-anak muda; seolah-olah anak-anak muda tidak tahu apa-apa. Boleh jadi di kelas mereka lebih banyak diam; tetapi sikap seperti ini sangat mungkin karena tidak mau dianggap guru atau dosen sebagai murid atau mahasiswa yang kurang sopan. Di balik itu, sangat boleh jadi mereka telah lebih mengetahui apa yang disampaikan guru dan dosen mereka, karena lebih giat mengakses internet, misalnya. Tetapi, kegemaran anak-anak muda kita sekarang mengakses internet selama berjam-jam bahkan juga menimbulkan kecemasan kalangan orang tua dan para pendidik, karena jangan-jangan anak-anak muda ini mengakses situs-situs yang menyesatkan.
Berkat kesempatan lebih besar mengakses sumber-sumber ilmu dan informasi, generasi muda sekarang cenderung semakin kosmopolitan dalam pandangan, persepsi, dan tingkah lakunya.
Pada saat yang sama mereka seolah kian tercerabut dari akar-akar lokal dan nasionalnya; bahkan banyak di antara mereka tidak lagi dapat menyebut kelima Pancasila secara benar.
Lagi-lagi, hemat saya tidak ada yang perlu dikhawatirkan benar dengan gejala-gejala seperti ini. Anak-anak muda kita, bagaimanapun masih dalam proses pengembangan diri. Karena itu, kian besar kesempatan bagi mereka mendapatkan akses-akses ilmu dan informasi untuk meningkatkan kualitas diri, kian baik pulalah sesungguhnya peluang mereka dalam menyongsong dan menghadapi tantangan hari ini dan masa depan. Di sinilah kita sekali lagi boleh optimistis dengan masa depan mereka yang lebih baik.
Tulisan ini pernah dimuat di Republika, 29 Oktober 2009
Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta