Optimalisasi Peran Aisyiyah dalam Pemajuan Pesantren
Muhbib Abdul Wahab, Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah
Pesantren merupakan lembaga Pendidikan Islam tertua di Indonesia, mendahului madrasah dan sekaloh. Sejak abad ke-15, pesantren hadir sebagai manifestasi perjumpaan sinergis antara ajaran “Islam dan kearifan nasional”. Dari segi peran dan fungsinya, pesantren merupakan lembaga keagamaan sekaligus lembaga pendidikan yang sangat khas Indonesia dan kaya budaya (tradisi keislaman). Oleh sebab itu, salah satu peran pesantren dalam kehidupan keagamaan adalah pemelihara tradisi keislaman dengan kutub at-turâts (buku-buku klasik berbahasa Arab) sebagai ikonnya.
Pesantren mampu bertahan melintasi zaman hingga sekarang, dan bahkan semakin berkembang pesat, karena sistem pendidikan pesantren jauh lebih mengutamakan pendidikan spiritualitas, mentalitas, moralitas, dan karakter mulia pada diri santri, daripada sekadar pendidikan model sekolah yang lebih berorientasi pada penguasaan aspek kognitif. Dalam pendidikan pesantren, ”adab lebih utama daripada ilmu” menjadi doktrin yang ditanamkan dengan sangat kuat, sehingga para santri sejak awal nyantri langsung belajar berkhlak mulia: ikhlas, rendah hati, jujur, hormat dan taat kepada kiai, sederhana, mandiri, dan sebagainya.
Pendidikan di pesantren berlangsung selama santri tinggal di asrama dan lingkungan pesantren bersama kiai, para asatidz (pendidik), dan musyrif (pembina, pengasuh). Kurikulum yang diberlakukan di pesantren bukan ”kejar paket” buku atau modul yang akan diujikan, tetapi internalisasi ”kurikulum kehidupan” melalui interaksi sivitas akademika pesantren dan lingkungan sosialnya. Di pesantren para santri belajar makna hidup, belajar hidup bersama, belajar disiplin, belajar hidup sederhana, belajar bersosialisasi diri dan bersaudara, mandiri, menghormati kiai dan keluarganya, sabar dan tekun dalam mencari dan menguasai ilmu, dan sebagainya. Singkatnya, pesantren merupakan lembaga pendidikan yang sangat ideal untuk melahirkan calon ulama, ustadz, dan pemimpin umat dan bangsa.
Pada awalnya, dalam pengembangan amal usahanya, Muhammadiyah juga memiliki orientasi pendidikan pesantren dengan sistem asrama (boarding). Lembaga pendidikan yang pertama didirikan KH. Ahmad Dahlan, al-Qism al-Arqa, pada tahun 1918 merupakan model pendidikan pesantren. Bahkan pada 1921, al-Qism al-Arqa diubah menjadi Pondok Muhammadiyah. Lalu pada tahun 1923 al-Qism al-Arqa untuk para santriwan dan santriwati (Mu’allimin dan Mu’allimaat) diubah menjadi Kweekschool Moehammadijah dan pada tahun 1924 siswa Kweekschool Islam dipisah antara laki-laki dan perempuan.
Dalam perkembangannya, Kweekschool Muhammadiyah untuk putra dan Kweekschool Istri untuk perempuan. Pada tahun 1932 Kweekschool Muhammadiyah menjadi Madrasah Mu’allimin Muhammadiyah dan Kweekschool putri berubah menjadi Madrasah Mu’allimaat Muhammadiyah Yogyakarta. Sejak itu, sistem Pendidikan mengalami pergeseran, dari sistem boarding (berasrama) menjadi perpaduan boarding dan non-boarding.
Namun demikian, pendidikan Muhammadiyah (dan ‘Aisyiyah) berbasis sistem pendidikan holistik integratif: menyeluruh dan terpadu antara pengembangan ranah kognitif, afektif, psikomotorik; sekaligus menyinergikan orientasi spiritualitas, moralitas, intelektualitas, individualitas, dan sosialitas. Pendidikan Muhammadiyah, termasuk pendidikan pesantren, bukan hanya menyiapkan calon lulusannya sukses dan bahagia di dunia dan akhirat, tetapi juga membangun peradaban Islam berkemajuan.
Pesantren ’Aisyiyah dan Investasi SDM
Menurut data Kementerian Agama RI (2022), pondok pesantren di Indonesia saat ini (Juli 2022) berjumlah 37.626 buah, dengan jumlah santri mencapai 4.766.394 orang dan jumlah pendidik dan tenaga kependidikan mencapai 385.941 orang. Angka ini menunjukkan bahwa pesantren merupakan wajah pendidikan Islam di Indonesia, karena pesantren menjadi pusat pendidikan Islam yang berkontribusi sangat besar terhadap kehidupan bangsa.
Pesantren juga merupakan aset dan kekayaan bangsa yang perlu diberikan perhatian, pembinaan, dan pengembangan, baik sistem pendidikannya maupun tata kelola atau manajemennya. Jumlah pesantren, santri, pendidik, dan tendik pesantren yang demikian besar menunjukkan peluang besar yang menjanjikan harapan di masa depan. Karena itu, terbitnya UU No. 18 Tahun 2019 tentang Pesantren, paling tidak, memberikan angin segar bahwa eksistensi pesantren memiliki payung hukum (landasan yuridis) yang memperkuat posisi tawar dan fungsi pesantren.
Pesantren tidak identik dengan organisasi sosial keagamaan tertentu. Pesantren itu menjadi lahan pendidikan dan dakwah umat Islam. Dalam konteks amal usaha Muhammadiyah, pada tahun 2015, data Dikdasmen PPM menunjukkan bahwa pesantren Muhammadiyah hanya berjumlah 178 buah. Pada September 2022, jumlah pesantrenMu bertambah menjadi 440 buah. Artinya, dalam 6 tahun terakhir, pesantrenMu mengalami kenaikan yang sangat signifikan, mencapai 247%, dengan rata-rata kenaikan pertumbuhan (pertambahan) sebanyak 37,4 buah pesantren setiap tahun atau 3,1 pesantren setiap bulan.
Dari 440 pesantrenMu, ternyata hanya ada 8 buah pesantren yang dikelola oleh ‘Aisyiyah, yaitu: (1) Pondok Pesantren Tahfizh Al-Qur'an Putri ‘Aisyiyah Pekajangan PCA Pekajangan; (2) KMI Pondok Modern 'Aisyiyah Islamic Boarding School (PM-AIBS) PCA Sumberrejo; (3) SMP 'Aisyiyah Boarding School Pinrang PDA Kab. Pinrang; (4) Ma'had Universitas 'Aisyiyah Surakarta PDA Kota Surakarta / Universitas 'Aisyiyah Surakarta; (5) Pesantren Tahfizhul Qur'an 'Aisyiyah Ponorogo PDA Ponorogo; (6) Aisyiyah Boarding School Bandung PW 'Aisyiyah Jawa Barat; (7) Pondok Pesantren Puteri Ummul Mukminin Aisyiyah Wilayah Sulawesi Selatan PWA Sulawesi Selatan; (8) ‘Aisyiyah Boarding School (ABS) Malang. Karena sudah berubah nomenklatur, Mu’allimat Yogyakarta tidak lagi memakai nama “pesantren”, tetapi berubah menjadi madrasah, meskipun para siswinya tinggal di asrama.
Data tersebut menunjukkan bahwa ‘Aisyiyah belum banyak berperan dalam mengelola dan mengembangkan pesantren. Investasi Sumber Daya Manusia (SDM di bidang pendidikan pesantren tampaknya belum menjadi lahan subur untuk dikembangkan. Padahal secara struktural keorganisasian, ‘Aisyiyah telah memiliki jaringan kelembagaan yang tersebar di seluruh penjuru tanah air. Hal ini berarti bahwa potensi dan peran ‘Aisyah dalam berinvestasi SDM di bidang pendidikan pesantren sangat besar, jika pendidikan pesantren dalam Muktamar ke-48 di Surakarta nanti menjadi agenda dan prioritas program kerjanya.
Investasi SDM di bidang pendidikan pesantren tentu menghendaki perencanaan yang matang dan konsep yang jelas, agar tidak asal mendirikan pesantren tanpa visi, misi, tujuan, dan strategi pencapaian visi, misi, dan tujuannya. Oleh karena itu, sangat diharapkan PP ‘Aisyiyah mempunyai program unggulan dalam investasi SDM, salah satunya adalah berfastabiqul khairat dalam pengembangan pesantren berkemajuan dan berdaya saing unggul. Data pesantren ‘Aisyiyah tersebut dapat dijadikan sebagai “modal awal” untuk memompa spirit perjuangan mewujudkan pesantren ‘Aisyiyah percontohan (pesantren model) yang kelak dapat ditularkan sistemnya seperti MBS (Muhammadiyah Boarding School).
Investasi SDM unggul, calon ulama perempuan berkemajuan, melalui pesantren ‘Aisyiyah tentu memiliki target jangka panjang yang sangat strategis. Seiring dengan semakin langkanya ulama perempuan Muhammadiyah, terutama yang menguasai literasi keislaman berbasis bahasa Arab, literasi jender, dan literasi digital, eksistensi pesantren ‘Aisyiyah menjadi kebutuhan mendesak. Para lulusan Madrasah Ibtidaiyah atau SD Muhammadiyah dapat didorong untuk menjadi calon santri pesantren ‘Aisyiyah secara terprogram. Misalnya, setiap PWA di seluruh Indonesia wajib memiliki amal usaha berupa pesantren ‘Aisyiyah. Dan setiap PDA/PCA harus mengirim calon santrinya untuk mendapat layanan pendidikan di pesantren ‘Aisyiyah yang ditunjuk.
Investasi SDM melalui pesantren ‘Aisyiyah pasti akan berbuah manis di masa depan, karena dapat menopang pilar pengembangan sistem pendidikan yang dikelola dan dikembangkan ‘Aisyiyah, termasuk Perguruan Tinggi ‘Asyiyah (PTA). Oleh karena investasi SDM santri itu berorientasi jangka Panjang, maka rencana strategis, master plan, dan blue print (cetak biru) pesantren ‘Aisyah perlu didasarkan pada pengkajian dan penelitian (naskah akademik) yang matang. Beberapa regulasi (pedoman, panduang, SOP) dan model pengembangan kurikulum pesantrenMu yang telah dibuat dan diimplementasikan Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah dapat dijadikan sebagai salah satu referensi. Selain itu, pengembangan sistem dan model pesantrenMu yang sudah mapan, seperti: MBS, Trensains, pesantren tahfizh, dan lainnya penting juga dikaji ulang dan dikembangkan dengan sentuhan kreatif dan inovatif menjadi model baru yang khas ‘Aisyiyah.
Optimalisasi Peran ‘Aisyiyah
Sebagai organisasi modern dan mandiri, ‘Aisyiyah tentu mempunyai peran strategis dalam pengembangan pesantren ke depan. Peran yang dimainkan ‘Aisyiyah tentu tidak dapat dipisahkan dari posisi dan fungsinya dalam mencerdaskan dan mencerahkan kehidupan bangsa, khususnya kaum wanita. Tidak diragukan lagi, bahwa ‘Aisyiyah telah sukses dalam mengelola dan mengembangkan TK ABA, MI/SD, MTs/SMP, MA/SMA, bahkan Perguruan Tinggi ‘Aisyiyah. Kesuksesan edukasional ini pasti ditentukan oleh banyak faktor. Di antaranya adalah tata kelola dan tata pamong, manajemen modern yang akuntabel, transparan, kredibel, dan Amanah, di samping digerakkan oleh spirit keikhlasan, ketekunan, kesabaran, budaya mutu dan kepemimpin pendidikan yang efektif.
Oleh karena itu, pesantren ‘Aisyiyah sejak awal harus dirancang atau didesain menjadi pesantren berkemajuan. Pesantren berkemajuan itu digerakkan oleh budaya mutu dan spirit pesantren Muhammadiyah: keikhlasan, kesederhanaan, ukhuwah Islamiyah, kemandirian, kebabasan berpikir kritis dan kreatif, etos tafaqquh fi ad-din al-Islami, wasathiyyat al-Islam sebagai rahmatan li al-’Alamin, dan Ihya’ at-Turats al-Ilmi wa ats-Tsaqafi al-Islami (revitalisasi legasi Islam di bidang ilmiah dan kultural).
Optimalisasi peran ‘Aisyiyah dalam membangun dan mengembangkan pesantren di periode kepemimpinan mendatang semakin penting, karena tagihan aktualisasi Islam berkemajuan itu akan sulit dipenuhi tanpa tersedia sistem pendidikan pesantren yang menopangnya sebagai pusat penyemaian kader ulama dan calon pemimpin bangsa. Pesantren berkemajuan yang diharapkan dapat diwujudkan ‘Aisyiyah ke depan adalah pesantren dengan karakteristik sebagai berikut.
Pertama, pesantren yang bermanhaj Islam berkemajuan: Berislam sesuai paham Muhammadiyah, berorientasi pengembangan tajdid dan ijtihad, di bidang pemikiran inovatif dan pendidikan yang bervisi Islam rahmatan li al-‘alamin. Kedua, unggul: status akreditasinya unggul, mutu layanan pendidikan dan SDM-nya unggul, daya saingnya unggul, lulusannya unggul dan kompetetif. Ketiga, Modern: manajemen dan tata kelolanya profesional, kepemimpinan kolektif kolegial, sarpras, dan budayanya modern, bukan primitif dan tradisional, juga tidak kumuh dan tidak berbudaya sehat dan bersih.
Keempat, pesantren yang mandiri: pembiayaannya mandiri, memiliki amal usaha yang menjadi sumber pendanaan, memiliki kemitraan strategis yang dapat menghidupkan ekonomi pesantren. Sivitas akademikanya sejahtera dan “selesai dengan urusan pribadinya”, sehingga jiwa raganya diwakafkan untuk kemajuan pesantren ‘Aisyiyah. Kelima, visioner. Pesantren ‘Aisyiyah harus memiliki “mimpi indah” cita-cita mulian, dan pandangan yang jauh ke masa depan, berpikir inovatif, kreatif, progresif, dan mencerahkan.
Keenam, pesantren ‘Aisyiyah harus dapat dipercaya, baik oleh warga persyarikatan Muhammadiyah, masyarakat, lembaga pendidikan tinggi, dan lembaga mitra, Kepercayaan publik itu sangat penting, karena kepercayaan merupakan modal institusional untuk bisa berkembang dan berkemajuan. Ketujuh, rekognisi: pesantren ‘Aisyiyah harus mendapat pengakuan nasional dan internasional (baik institusi dan lulusannya); banyak memiliki capaian prestasi nasional dan internasional yang membanggakan.
Optimalisasi peran ‘Aisyiyah dalam pembangunan dan pengembangan pesanten ke depan sangat ditentukan oleh dikembangkan atau tidaknya budaya fundamental dan instrument dalam menekuni amal usahanya, termasuk pesantren. Budaya fundamental ini, menurut Prof. Dr. A. Syafiq Mughni, MA tercemin dalam: (1) Bersumber kepada Al-Qur’an dan Sunnah; (2) Mewujudkan masyarakat Islam yang sebenar-benarnya; (3) Gerakan Dakwah Amar Makruf Nahi Munkar; (4) Ijtihad, tajdid, modernitas, puritanisme (anti syirik, takhayul, bid’ah, khurafat, jumud, dan taklid); (5) Islam berkemajuan; (6) Tidak bermazhab; (7) Gerakan pencerahan; (8) Keikhlasan: Hidup-hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari hidup di Muhammadiyah; dan (9) Spirit Al-Ma’un dan Wal ‘Ashri.
Sedangkan budaya instrumental dalam pengembangan Pesantren ‘Asyiyah yang perlu diteguhkan dalam kepemimpinan dan kinerja ‘Asyiyah meliputi: (1) etos Fastabiq al-khairat, (2) tidak menjadikan amal usaha Muhammadiyah (AUM) seperti milik pribadi atau milik keluarga, (3) tidak mengejar jabatan, tetapi tidak menghindar jika diberi jabatan, (4) dakwah yang menggembirakan, menyejukkan, mencerahkan, dan mencerdaskan, (5) berpikir luas dan bersikap luwes, (6) sedikit bicara, banyak bekerja; sedikit berwacana, kaya karya nyata dan prestasi tinggi; (7) budaya pesantren dalam belajar dan mengembangkan pemikiran Islam yang luas dan luwes; dan (8) kemandirian (otonomi), pola hidup damai dan mendamaikan.
Dengan demikian, ‘Aisyiyah dapat mewujudkan optimalisasi perannya sebagai (1) penggerak (dinamisator) pesantren berkemajuan melalui jejaring kelembagaannya (institutional networking) dari pusat hingga akar rumput (2) regulator dalam pengelolaan pesantren yang berbudaya unggul, profesional, kompetetif, dan produktif; (3) supplier (penyuplai) ide-ide dan gagasan-gagasan inovatif untuk pemajuan pesantren; dan (4) supervisor dan evaluator dalam pembinaan, pengawasan, dan penilaian agar pesantren ‘Aisyiyah berkinerja unggul dan berkemajuan. Dalam konteks ini, ‘Aisyiyah dapat merancang dan mengembangkan sistem akreditasi pesantren yang kelak dapat dijadikan sebagai sarana penialan dan pemeringkatan status akreditasi pesantren.
Optimalisasi peran tersebut diharapkan dapat mengatasi dan memberi solusi terhadap berbagai persoalan yang kerap dihadapi pesantren. Pertama, kekurangan kader ulama perempuan yang bersedia menekuni dan mengembangkan pendidikan pesantren. Umumnya, sangat sulit mencari dan menemukan bu Nyai yang mau mewakafkan dirinya untuk mengabdi dan memajukan pesantren. Kedua, perhatian PCM/PCA, PDM/PDA, dan PWM/PWA terhadap perintisan dan pengembangan pesantren ‘Aisyiyah masih sangat terbatas dan minim. Ketiga, pendanaan pesantren ‘Aisyiyah boleh jadi masih sangat terbatas; mengandalkan dana masyarakat dan walisantri. Ketiga, manajemen pesantren terkadang masih belum efektif dan fungsional karena minimnya literasi manajerial, literasi finansial, dan literasi digital. Keempat, kerjasama dan kemitraan strategis pesantren, baik dengan AUM maupun dengan instansi lain belum terbangun dan dikembangkan secara optimal.
Oleh karena itu, dalam rangka memasok kecukupan SDM (kiai dan bu nyai, ustadz dan ustadzah) untuk pengembangan pesantren, ‘Aisyiyah perlu menjalin dan membangun kerjasama nasional dan internasional, terutama dengan PCIM di Timur Tengah seperti: PCIM Mesir, Arab Saudi, Sudan, Marokko, Yaman, dan sebagainya. Selain itu, pesantren ‘Aisyiyah juga harus memiliki jaringan kolaboratif dengan PTM/PTA. Idealnya, sebagian pesantren ‘Aisyiyah diotimalisasikan fungsinya sebagai pesantren laboratorium PTM/PTA dan lulusan pesantren ‘Aisyiyah diberdayakan sebagai pemasok SDM (calon mahasiswa PTM/PTA). Sudah saatnya, setelah lebih dari satu abad mengabdi untuk negeri, Muhammadiyah dan ‘Aisyiah bergandeng tangan, berkolaborasi, dan bersinergi memajukan pesantren sebagai pusat kaderisasi ulama dan zu’ama (pemimpin) masa depan bangsa. Semoga!