NU dan Pendidikan Islam ”Wasathiyah”

NU dan Pendidikan Islam ”Wasathiyah”

Asep Saepudin Jahar

 

Nahdlatul Ulama atau NU merupakan salah satu organisasi massa Islam terbesar di Indonesia, bahkan dunia. Banyaknya kader menunjukkan organisasi ini dipercaya masyarakat sebagai katalisator penting pembangun peradaban manusia lintas sektor.

Pemahaman keagamaan memang menjadi dasar dari pergerakan organisasi ini. Namun, yang perlu diperhatikan pula ialah bagaimana varian transformasi yang digagasnya senantiasa relevan dengan perkembangan zaman.

Hidup dan matinya organisasi terletak pada pengelolanya. Kader NU menampilkan diri sebagai manusia lengkap yang siap menjawab tantangan peradaban. Pada masa awal pendiriannya, mereka banyak berkecimpung dalam kerja fisik berupa perang panjang melawan pasukan Belanda dan Jepang. Memasuki Orde Lama, para kader NU menampilkan diri sebagai negarawan.

Bahkan, di era sulit saat Orde Baru berkuasa, para kader NU pun aktif mengisi ruang-ruang sosial lewat gerakan prodemokrasi dan lain-lain. Memasuki periode Reformasi, saat keran demokrasi dibuka, banyak kader NU yang mengisi ruang politik. Keberhasilan Gus Dur menduduki kursi presiden RI adalah salah satu puncak gunung es dari usaha tersebut.

Melihat peran panjang para kader NU di pentas nasional, rasanya memang penting mendudukkan NU sebagai aktor penting pembuat sejarah Indonesia. Organisasi ini hadir dengan pemikiran yang segar dalam merawat persatuan bangsa melalui serangkaian kampanye Islam wasathiyah, moderasi beragama, sebagaimana yang digaungkan belakangan.

Wacana ini menjadi penting sebagai tolok ukur keterbukaan yang memberikan peluang besar untuk menampilkan nuansa sinergi pada lintas sektoral, salah satunya pendidikan.

 

Pendidikan ”wasathiyah”

Sebagaimana diketahui, Indonesia merupakan negeri yang terbuka pada aneka kebaruan, termasuk gagasan-gagasan transnasional. Publik kekinian tentu sudah sangat lumrah dengan meluapnya suatu fenomena yang disebut islamisme. Wacana ini hadir tatkala Islam dianggap bukan lagi sebagai agama, melainkan gaya hidup. Aneka ajaran Islam mulai dikaji dan dipraktikkan dalam kehidupan nyata. Dalam perniagaan dan perbankan, misalnya, ajaran Islam mulai banyak diwacanakan. Tingginya animo masyarakat pada aneka produk ekonomi Islam menjadi penanda penting suksesnya paham ini di tengah masyarakat.

Menguatnya peran Islam membuka peluang bagi munculnya gerakan Islam fanatik. Secara umum, pemahaman mereka lahir akibat kecenderungan monolitik saat membaca dan menafsirkan korpus keagamaan. Misalnya, saat memaknai Surat Al-Maidah Ayat 44, yang artinya: ”Barang siapa yang tidak berhukum pada ketentuan yang ditetapkan Allah, maka mereka adalah orang kafir”.

Jika ini disintesiskan pada fondasi kenegaraan Indonesia yang sama sekali tidak menyebut Al Quran, negeri ini termasuk negeri yang kafir. Nah, pemahaman semacam ini yang perlahan mulai merebak, dan menjadi ancaman bagi stabilitas negara.

Dampak lain dari menguatnya fanatisme Islam adalah ancaman bagi keberagaman. Berbekal pada bacaan Al Quran secara langsung (tekstual), kaum fanatis Islam menganggap para pengamal Islam lainnya—yang tidak sejalan dengan pemahamannya—telah salah arah dalam memahami agama.

Mereka mempunyai kewajiban untuk menertibkan kesalahan itu lewat jalan apa pun, termasuk dengan mengumbar tuduhan kafir bagi yang tidak menjalankan ajaran agama secara penuh. Di sinilah letak arogansi beragama yang mereka tampilkan, di mana Islam tidak lagi dianggap sebagai suatu keramahan dalam mendekati suatu problem sosial, tetapi cenderung memilih jalur konfrontatif dengan kelompok lain.

Terhadap kenyataan di atas, harus ada semacam pemasyarakatan lebih luas dari gerakan Islam wasathiyah yang merupakan wajah lain dari moderasi beragama. Islam merupakan agama yang sudah malang melintang di lintas peradaban manusia. Keanekaragaman skema sosial dan budaya ikut memengaruhi perkembangan pemaknaan akan hukum Islam.

Dalam sektor lain terdapat ungkapan yang menyebutkan bahwa Islam adalah kebaikan bagi setiap zaman dan tempat. Hal ini yang mendasari mengapa paham dan ekspresi keislaman berbeda di satu tempat dan tempat lain. Terdapat nilai lokal yang ikut memengaruhi pemahaman Islam.

Di Indonesia sendiri, pemaknaan akan Islam cenderung beragam. Pemahaman dan ritual Islam yang ada di Aceh, umpamanya, mempunyai perbedaan dengan yang ditemukan di Jawa atau di tengah suku Bugis di Sulawesi. Ini keniscayaan karena memang aransemen kebudayaan masyarakat tempatan yang juga berbeda.

Realitas ini sama sekali bukan berarti menundukkan hukum Islam di bawah sistem nilai dan budaya tempatan, melainkan hasil dari pola kompromistis, agar masyarakat lebih memahami dan mengamalkan ajaran Islam secara paripurna.

Sayangnya, pemahaman seperti di atas belum tersiar secara luas di tengah masyarakat. Terdapat kampanye intelektual yang dilakukan kaum fanatis Islam, yang juga banyak mengandalkan aneka platform media sosial untuk memberikan pemahamannya kepada masyarakat.

Namun, publik tak perlu cemas mengingat para pendakwah NU juga telah sigap mengantisipasi gerakan mereka, salah satunya dengan pendidikan Islam wasathiyah yang diwacanakan di berbagai forum, baik langsung di tengah masyarakat maupun di platform digital.

Jika ditanyakan dari mana para kader NU belajar dan menekuni pandangan Islam wasathiyah, jawabannya adalah berdasarkan pengalaman hidupnya. Banyak dari kader NU yang berlatar belakang santri yang menuntut aneka ilmu agama selama puluhan tahun di pesantren. Di sini, mereka banyak menekuni aneka pemahaman Islam secara spesifik berbekal pembacaan pada rujukan literasi klasik yang ditulis para ulama kenamaan Islam.

Kontinuitas dalam belajar diimbangi dengan pemahaman bermasyarakat melalui serangkaian kegiatan sosial, seperti kerja bakti di lingkungan pesantren, santunan anak yatim, dan kegiatan pengajian dari rumah ke rumah penduduk sekitar. Kegiatan ini ikut memperkaya khazanah para santri tentang pentingnya membina masyarakat yang teratur dan berperadaban, jauh dari nuansa menyebarkan kebencian kepada pemahaman beragama masyarakat lainnya.

 

Penghargaan

Dalam beberapa tahun terakhir, NU menjadi mitra penting Pemerintah RI dalam mewujudkan negara yang berkeadaban dan senantiasa menampilkan Islam yang santun.

Terbaru, dalam forum R20, NU menjadi bintang panggung yang memberikan pemahaman Islam keindonesiaan di hadapan para pemimpin dan tokoh agama dan kepercayaan dari seluruh dunia. Forum ini menjadi penting karena publik global dapat bersinggungan secara langsung dengan ajaran Islam yang mengedepankan budi pekerti yang adiluhung, jauh dari pemberitaan sejumlah media yang menampilkan wajah Islam yang negatif.

Kepercayaan yang diberikan kepada NU tentu bukan datang dengan sendirinya. Pendidikan wasathiyah yang dikembangkan NU di pesantren dan berlanjut di lembaga-lembaga pengaderan NU menjadi fondasi penting dalam mencetak para kiai, guru, dosen, peneliti, dan aneka profesi lain yang mempunyai komitmen untuk mengampanyekan Islam wasathiyah dan moderasi beragama di setiap lapangan aktivitasnya.

Di perguruan tinggi agama Islam (PTAI), misalnya, seperti juga yang diterapkan di UIN Syarif Hidayatullah, materi Islam wasathiyah dan moderasi beragama telah diperkenalkan kepada mahasiswa. Tidak bisa dimungkiri, kegiatan ini terinspirasi dengan kerja serupa yang lebih dulu dilakukan NU.

Akhirnya, publik tentu masih akan menunggu kejutan gagasan yang dicanangkan NU. Setelah sukses dengan penyadaran sejarah lewat pewartaan Islam Nusantara di era Kiai Said Aqil Siroj, maka layak untuk disaksikan bagaimana kepemimpinan Gus Yahya Cholil Staquf menjadi peneguh wacana Islam wasathiyah pada kesempatan dan skema yang lebih luas. Melihat pengalaman di bidang pendidikan NU di atas, publik tentu saja optimistis terhadap kinerja NU di masa mendatang. (zm)

 

Penulis adalah Direktur Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta, dan Pembina LAZIZ NU dan LWP PC NU Tangerang Selatan. Artikelnya dimuat Koran KOMPAS, Senin 6 Februari 2023.