NU, dan Misi Kemanusiaan Agama-Agama

NU, dan Misi Kemanusiaan Agama-Agama

Achmad Ubaedillah

 

RELIGION 20 (R-20) baru saja usai, sebagai bagian penting G-20. R-20 ialah forum pimpinan agamawan dunia, yang diinisiasi oleh Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf atau Gus Yahya. Selama dua hari, 2-3 November 2022, PBNU bersama dengan Muslim World League (MWL) menjadi chair dan co-chair pelaksanaan Forum R-20 di Bali dan Yogyakarta.

Tujuan utama Forum R-20 tidak sekadar perhelatan rutin pimpinan agama-agama. Namun, sebuah gerakan global menjadikan agama sebagai sumber solusi global bagi persoalan kemanusiaan. Bukan sebaliknya agama sebagai problem dunia. Di akhir pertemuan internasional ini lahirnya Komunike R-20 Bali, yang harus segera direalisasikan dalam bentuk program-program strategis dan realistis.

 

Kata Mereka 

Perhelatan ini dinilai sukses oleh berbagai pihak. Apresiasi atas terlaksananya R-20 banyak diungkapkan oleh hampir semua delegasi. Bahkan, R-20 telah melahirkan kesan positif dunia terhadap pesantren. Selain paparan berbobot dari sejumlah pemateri yang mewakili beragam komunitas agama dan akademisi, decak kagum mereka tak bisa disembunyikan, saat menyaksikan pagelaran seni modern oleh ribuan santri Pondok Pesantren Pandanaran, Yogyakarta pada malam Perpisahan R-20.

Gambaran negatif terhadap dunia pesantren seketika sirna, saat delegasi disuguhi alunan merdu lagu-lagu yang pernah hit di dunia. Lantunan Imagine John Lennon, dan We Are The World Michael Jackson, hingga Killil ‘Asyikiin Muhammad Abduh, penyanyi asal Arab Saudi bergema indah. Tak ketinggalan lagu legendaris asal Timur Tengah Ghanni li Shwayya-Shwayya ikut menyemarakkan. Kedua lagu yang sangat terkenal di dunia pesantren tersebut, dinyanyikan dengan apik oleh santri dan mengundang delegasi ikut bernyanyi dan berjoget bersama. Untuk delegasi India suguhan hit India Kuch Kuch Hota Hai yang syairnya digubah dengan shalawat Ya Rasulullah Salaam ‘Alaika memberi kesan spesial bagi mereka yang akan menjadi tuan rumah R-20 tahun 2023.

Tanpa sekat teologis dan asal usul, semua yang hadir hanyut dalam alunan musik dan lagu mancanegara yang dibawakan oleh santri pesantren NU tersebut. Kesan mendalam terhadap pesantren diungkapkan secara spontan oleh Profesor Greg Barton, Indonesianis asal Australia. Dirinya dan rekan-rekan asing, menyaksikan betapa indah NU dan dunia pesantren. "Ini menjadi inspirasi bagi kami," tukas Barton spontan.

Hal senada diungkapkan pula oleh Syeikh Kabir Helminski, pendiri The International Thresholds Society, Amerika. “Anda sekalian (para santri) adalah harapan,” tegasnya saat memberikan kata sambutan.

Kekaguman spiritual, terjadi ketika para delegasi mengunjungi sejumlah tempat dan situs religi, antara lain candi Prambanan dan Borobudur. Kunjungan delegasi ke kompleks kampus Universitas Islam Indonesia (UII) dimana situs candi berada tengah kemegahan kampus Islam ternama tersebut, semakin menambah kekaguman delegasi R-20. Di UII, mereka belajar keharmonisan yang otentik ala Indonesia. Dalam konteks NU, perhelatan R-20 adalah kado istimewa NU, bagi peradaban dunia menjelang satu abad hari kelahirannya.

 

Keterbatasan Sekularisme

Tak bisa dimungkiri bahwa kemunculan sekularisasi di Barat melahirkan kebijakan peminggiran peran agama dari kehidupan manusia modern. Sekularisme memandang agama sebagai residu peradaban modern. Sekularisme yang memisahkan agama dan negara (state), berujung pada privatisasi agama. Agama adalah urusan individual warga negara. Urusan publik sepenuhnya diatur, dijaga dan difasilitasi oleh negara.

Di negara-negara demokrasi maju, negara harus menjaga ruang publik (public sphere) steril dari anasir-anasir agama. Tapi, dalam tingkatan tertentu, ruang publik banyak dipenuhi narasi keagamaan. Bahkan agama muncul sebagai determinan politik dalam sistem demokrasi yang sekular. Demokrasi telah dibajak oleh kelompok agamis tertentu, untuk kepentingan eksklusif mereka melalui penguasaan ruang publik dengan narasi agama yang diyakininya.

Fakta di atas dialami oleh hampir semua kawasan dunia. Tak terkecuali dunia muslim, termasuk Indonesia. Konflik politik bernuansa agamis di kawasan Timur Tengah ialah contoh paling mencolok. Kegagalan demokratisasi (Arab spring) di kawasan asal agama-agama besar itu menjadi bukti empiris, bagaimana umat Islam (islamis) memandang demokrasi yang lahir dari rahim peradaban Barat.

Bagi kelompok ini, demokrasi tidak sejalan dengan Islam. Tidak mulusnya transisi demokrasi di Mesir, dan munculnya rezim populis otoriter di Turki tercatat di antara fakta suramnya nasib demokrasi di negeri muslim dewasa ini. Dunia membutuhkan peran substantif-humanis agama-agama, dalam rangka mencegah penyalahgunaan agama, sebagai komoditas politis yang banyak digandrungi akhir-akhir ini, dalam bentuk gerakan politik, maupun gerakan populis keagamaan.

Berbeda dengan realitas demokrasi di sejumlah negara-negara muslim, Indonesia dinilai sukses dalam memadukan demokrasi dan agama (Islam). Tumbangnya rezim militer Orde Baru pada 1998, telah menghantarkan Indonesia sebagai negara demokrasi baru. Keberhasilan ini, tidak lepas dari peran besar organisasi Islam, antara lain NU, yang menjadikan proses transisi demokrasi di negara muslim terbesar ini berjalan damai. Keberhasilan transisi demokrasi ini, tentu tidak bisa dipisahkan dari pandangan positif ulama NU atas demokrasi.

Gagasan Gus Yahya tentang R-20, tidak lepas dari realitas demokrasi Indonesia yang akhir-akhir ini mengalami penurunan kualitas. Demokrasi Indonesia masih stagnan, sebatas prosedural politik yang sudah menjadi rutinitas terjadwal. Ia masih jauh dari cita ideal demokrasi sebagai sebuah mekanisme politik yang berkelindan dengan keadaban publik.

Tentu saja, ini bukan realitas khas Indonesia. Fenomena serupa banyak terjadi di kawasan lain, ketika agama menjadi unsur penunjang utama politik identitas yang paling akut, India satu di antaranya.

Dalam pandangan Gus Yahya, agama harus dihentikan sebagai bahan bakar politik identitas. Praktik kapitalisasi agama dalam ranah politik telah berlangsung lama, dan menelan korban yang tak terperihkan dalam sejarah kemanusiaan. Saat agama dihadirkan sebagai legitimasi politik, maka akan menjadi pembenar bagi tindakan kekerasan terhadap kelompok lain yang berbeda. Nasib agama sebagai stempel kekerasan, dialami oleh hampir semua agama di dunia. Konflik Serbia-Bosnia di masa lalu, kasus Rohingya di Myanmar, persekusi atas warga minoritas di Tanah Air, India, dan China adalah contoh tragedi kemanusiaan dengan basis legitimasi agama yang harus segera dihentikan, karena bertentangan dengan misi suci agama itu sendiri. Jika demikian, agama tidak lebih hanya sebagai beban bagi kemanusiaan.

Tokoh agama mempunyai kewajiban mengubah peran agama menjadi solusi, bukan problem kemanusiaan. Melalui R-20 ini, Gus Yahya ingin menyadarkan semua pimpinan agama-agama akan bahaya politisasi agama bagi kemanusiaan. Diharapkan, R-20 menjadi platform baru bagi tokoh agama dunia untuk berbagi pengalaman dan berdialog secara jujur penuh persahabatan kaum beriman tentang problem-problem yang dimiliki internal agama (telling the truth) dan antaragama.

 

Agama Kemanusiaan

Gagasan Gus Yahya tentang peran agama sebagai solusi bagi persoalan dunia menjanjikan harapan baru bagi posisi agama dalam kehidupan manusia. Dengan kata lain, agama harus dapat memengaruhi kebijakan sosial, politik dan ekonomi, dimana nilai-nilai keadilan dan persamaan pada setiap agama dapat mempengaruhi kebijakan pemerintah manapun.

Dalam konteks Islam, gagasan agama bagi kemanusiaan (al-Din lilinsaaniyah) adalah bagaimana Islam sebagai agama kasih sayang (rahmah) universal dapat ditransformasikan dalam kenyataan hidup, dan bisa dirasakan oleh semua lapisan sosial tanpa terkecuali.

Sebagai tokoh Islam moderat dan pimpinan organisasi Islam moderat terbesar di Indonesia, gagasan Gus Yahya tidak bisa dilepaskan dari prinsip dan gerak NU dalam rentang sejarah Indonesia. Moderasi yang hendak digulirkan oleh Gus Yahya tidaklah sebatas wacana yang bersifat elitis di kalangan ahli-ahli agama pada forum-forum dialog antariman. Moderasi beragama, di antara sekian banyak isu-isu keagamaan, harus dibicarakan secara jujur dan terbuka oleh para pimpinan agama.

Persoalan internal agama yang cenderung menjadi sumber masalah akut, antara lain teks atau tafsir agama yang tidak sejalan dengan kebutuhan umat manusia. Dalam khasanah Islam misalnya, masih banyak tafsir Islam produk era abad pertengahan (era kekhalifahan) yang masih menjadi patokan atau rujukan ulama dalam menyelesaikan persoalan saat ini, dimana banyak negeri-negeri Muslim telah berkembang menjadi negara bangsa.

Dampak globalisasi dan migrasi manusia yang terjadi secara global, mau tidak mau menuntut kontekstualisasi ulang atas tafsir-tafsir agama tersebut. Identitas keagamaan yang di masa silam menjadi variabel penting bagi kewarganegaraan seseorang, kini semakin kehilangan relevansinya. Pemaksaan, atau penggunaan tafsir (agama) lama, untuk realitas saat ini yang banyak berubah telah menempatkan agama sebagai beban sejarah kemanusiaan.

Praktik ahistoris tersebut, mendistorsi peran agung agama sebagai suluh peradaban, yang semakin menjauh dari misi ilahiyah-nya sebagai pemberi solusi. Persoalan yang terjadi, agama banyak digunakan oleh pemeluknya sebagai legitimasi kekerasan dan kebencian kepada liyan, yang berada di luar, maupun di dalam lingkungan agama tersebut.

Forum R-20 telah menjadi platfrom baru bagi kalangan agamawan untuk merealisasikan misi kemanusiaan agama-agama di tengah kehidupan. Forum R-20 berhasil mempertemukan tokoh berbagai agama dan latar belakang untuk bertemu pada satu titik, yakni kemanusiaan dan etika luhur sebagai fondasi kehidupan. Demikian disimpulkan oleh delegasi dari Amerika, Zainab Zuwaij.

Mengampanyekan pentingnya pembicaraan yang jujur dan realistis intra maupun antarumat beragama, seyogianya harus segera dilakukan sebagai bagian dari implementasi Komunike Bersama R-20 Bali. Pengalaman langsung para delegasi di Bali dan Yogyakarta, semoga dapat menjadi inspirasi dan spirit baru kalangan umat beragama, dan mendorong para pimpinan agama, sosial, politik, dan ekonomi di berbagai kawasan untuk memastikan, bahwa agama dapat berkontribusi sebagai solusi bagi persoalan kemanusiaan, dan inspirasi bagi pentingnya hidup damai berdampingan dalam perbedaan.

Pengalaman langsung para delegasi di Bali dan Yogyakarta, semoga dapat menjadi inspirasi dan spirit baru kalangan umat beragama, dan mendorong para pimpinan agama, sosial, politik, dan ekonomi di berbagai kawasan untuk memastikan, bahwa agama dapat berkontribusi sebagai solusi bagi persoalan kemanusiaan, dan inspirasi bagi pentingnya hidup damai berdampingan dalam perbedaan. (zm)

 

Penulis adalah Sekretaris Panitia R-20, Anggota Badan Pengembangan Jaringan Internasional PBNU, dan Dosen UIN Jakarta. Artikel dimuat kolom opini Media Indonesia, Sabtu 12 November 2022, dan bisa diakses di https://mediaindonesia.com/opini/536817/r-20-nu-dan-misi-kemanusiaan-agama-agama