NU dan Kepemimpinan Gagasan
Rumadi Ahmad
Artikel Ahmad Zainul Hamdi yang berjudul ”Transnasionalisasi Islam Indonesia” (Kompas, 11/6/2022) menarik untuk dilanjutkan. Artikel itu secara garis besar menjelaskan salah satu misi Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Tsaquf (Gus Yahya) tentang pentingnya mencari terobosan baru membangun peradaban Islam agar bisa keluar dari berbagai ketegangan dan konflik yang sulit dicari penyelesaiannya. Dalam berbagai kesempatan, Gus Yahya menyampaikan, jika tidak ada terobosan baru, dunia dan kita semua akan hancur bersama-sama.
Saya sepenuhnya memahami substansi dan konsen Ahmad Zainul Hamdi, tetapi saya kurang nyaman dengan istilah yang dia gunakan, transnasionalisasi Islam Indonesia. Istilah transnasionalisasi mempunyai cacat dalam dirinya yang justru bisa menjadi bumerang bagi gagasan-gagasan Gus Yahya.
Istilah transnasionalisasi mengandaikan segala sesuatunya sudah baku dan selesai. Padahal, Islam Indonesia pada dasarnya akan terus bergumul dengan hal-hal baru meski kita sudah mempunyai platform dasar. Istilah ini juga cenderung memandang rendah terhadap elemen-elemen di luar dirinya. Dirinya sendiri dipandang sebagai subyek dan yang lain obyek.
Karena itu, sebagaimana karakter ideologi transnasional, selalu ingin menundukkan yang lain, bukan membangun dialog dan kerja sama. Padahal, yang menjadi konsen dari Gus Yahya adalah pentingnya membangun dialog dan sharing nilai-nilai kebaikan, bukan saling menundukkan.
Dalam kaitan ini, saya ingin mengembangkan lebih lanjut tulisan Ahmad Zainul Hamdi, bukan dengan semangat transnasionalisasi Islam Indonesia, melainkan mendorong adanya sharing nilai-nilai yang bisa dijadikan sebagai platform untuk membangun peradaban. Di sinilah pentingnya NU mengambil peran kepemimpinan gagasan.
Modal Sosial
Mengapa Islam Indonesia melalui NU penting mengambil peran kepemimpinan gagasan? Dalam kaitan ini, Islam Indonesia mempunyai modal sosial yang kuat untuk menjalankan misi besar tersebut.
Pertama, Islam Indonesia tidak pernah terlibat dalam berbagai konflik politik identitas keagamaan yang terjadi di berbagai belahan dunia. Sejarah Islam di Indonesia adalah sejarah perdamaian, bukan sejarah konflik dan peperangan.
Islam Indonesia juga tidak pernah melakukan ekspansi penjajahan, mengirim pasukan dan terlibat peperangan dengan kelompok lain yang menimbulkan luka sejarah. Islam Indonesia tidak menjadi bagian dari aliansi kekuatan politik Islam masa lalu yang menaklukkan beberapa kawasan di Eropa. Karena itu, Islam Indonesia tidak punya memori kebencian akibat dari konflik masa lalu.
Jika di beberapa kawasan Timur Tengah ada konflik politik Sunni dan Syiah, NU tidak mau terjebak dalam pusaran konflik tersebut meski NU Sunni. Simpul-simpul kekuatan politik Sunni dan Syiah berupaya untuk menanamkan pengaruhnya di Indonesia, bahkan sempat terjadi letupan konflik beberapa waktu lalu, tetapi NU dan arus besar Islam Indonesia sejauh ini mampu menjaga keseimbangan agar Indonesia tidak dijadikan ladang konflik ideologi politik keagamaan yang nyata-nyata destruktif.
Modal sosial ini sangat penting untuk memudahkan NU bersikap karena tidak terjebak dalam persoalan politik masa lalu. Dalam berbagai kesempatan, Gus Yahya menyampaikan, NU tidak harus mengikuti negara-negara di Timur Tengah seperti Mesir, Uni Emirat Arab, Yaman, dan sebagainya yang terbukti gagal menjawab persoalan mereka dalam menyelesaikan konflik. NU harus mandiri dalam wawasan keagamaan. Setiap bangsa mempunyai cara dan pengalaman dalam menghayati keislamannya.
Kedua, NU dan Islam Indonesia merupakan negara yang relatif berhasil mengatasi pertentangan ideologis, termasuk ideologi keagamaan. Dengan keberhasilan meletakkan dasar-dasar konsensus kebangsaan, umat Islam Indonesia mempunyai pegangan kuat dari berbagai pengaruh konflik ideologi.
Indonesia berkali-kali bisa melewati masa-masa sulit konflik ideologi, termasuk konflik ideologi keagamaan. Hal ini membuka ruang bagi Indonesia menjadi salah satu negara demokrasi terbesar di dunia.
Dalam studi yang dilakukan Ahmet T Kuru (2019) berjudul Islam, Authoritarianism and Underdevelopment, tidak memasukkan Indonesia dalam arus negara-negara Islam yang sebagian besar masih terjebak pada otoritarianisme dan keterbelakangan. Meskipun Ahmet T Kuru tidak menulis chapter khusus mengenai Indonesia, dia melihat Indonesia sebagai pengecualian yang tidak bisa disamakan dengan negara-negara Muslim pada umumnya.
Meski Indonesia bukan negara yang sepenuhnya bebas, dan demokrasi Indonesia juga masih cacat dalam beberapa hal, perkembangan demokrasi di Indonesia cukup baik. Perkembangan ekonomi Indonesia juga cukup baik, bahkan pada masa pandemi Covid-19 Indonesia termasuk negara yang mampu menjaga keseimbangan ekonomi dan berhasil mengendalikan Covid-19. Ketika Covid-19 mulai reda, Indonesia juga termasuk negara yang cepat bangkit.
Ketiga, NU dan Islam Indonesia mempunyai fundamen nilai-nilai yang kokoh yang bisa di-share ke berbagai penjuru dunia. Salah satu upaya untuk sharing nilai-nilai tersebut, NU menggagas Summit of Moderate Islamic Leaders (ISOMIL) pada 9-11 Mei 2016.
Konferensi bertema ”Islam Nusantara Inspirasi untuk Perdamaian Dunia” yang dihadiri sekitar 400 peserta dari sejumlah negara tersebut menghasilkan Deklarasi Nahdlatul Ulama. Dalam deklarasi yang menjadi ”Manifesto Islam Nusantara” tersebut, NU menawarkan wawasan dan pengalaman Islam Indonesia kepada dunia sebagai paradigma Islam yang layak diteladani, bahwa agama menyumbang pada peradaban dengan menghargai budaya yang telah ada serta mengedepankan harmoni dan perdamaian.
Deklarasi tersebut juga menyebutkan cara pandang Islam yang tidak mempertentangan antara agama dan nilai-nilai kemajuan, seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan keadilan jender. Dalam cara pandang ini, Islam tidak menggalang pemeluk-pemeluknya untuk menaklukkan dunia, tetapi mendorong untuk terus-menerus berupaya menyempurnakan ahlaqul karimah karena hanya dengan cara itulah Islam dapat sungguh-sungguh mewujud sebagai rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin).
Deklarasi tersebut juga menyebutkan cara pandang Islam yang tidak mempertentangan antara agama dan nilai-nilai kemajuan, seperti demokrasi, hak asasi manusia, dan keadilan jender.
NU dan Islam Indonesia secara teguh mengikuti dan menghidupkan ajaran serta nilai-nilai Islam yang mendasar, seperti tawassuth (jalan tengah, yaitu jalan moderat), tawaazun (keseimbangan; harmoni), tasaamuh (kelemah-lembutan dan kasih sayang, bukan kekerasan dan pemaksaan) serta i‘tidaal (keadilan).
Dalam deklarasi tersebut juga menyoroti gejala merajalelanya ekstremisme agama, teror, konflik di Timur Tengah, dan gelombang pasang Islamofobia di Barat. Selama beberapa dekade, sejumlah negara di Timur Tengah mengeksploitasi perbedaan-perbedaan keagamaan dan sejarah permusuhan di antara aliran-aliran keagamaan.
Propaganda-propaganda sektarian tersebut dengan sengaja memupuk ekstremisme agama dan mendorong penyebaran terorisme ke seluruh dunia. Hal tersebut secara langsung berperan menciptakan gelombang pasang Islamofobia di kalangan non-Muslim. Ancaman ekstremisme agama dan teror dapat diatasi hanya jika seluruh kekuatan agama di dunia bersedia membuka diri, berdialog dengan jujur, termasuk kesiapan melihat persoalan dalam dirinya sendiri.
Konsen dalam ISOMIL tersebut diperkuat dengan adanya penandatanganan Piagam Persaudaraan Kemanusiaan (Watsiqat al-Ikhwah al-Insaniyah) yang dilakukan oleh As-Syekh al-Akbar Jami’ah al-Azhar As-Syekh Ahmad Al-Thayyib dan Paus Fransiskus di Abu Dhabi (4/2/2019). Piagam persaudaraan yang tersebut searah dengan nilai-nilai dasar dan arah yang ingin diperjuangkan NU. Deklarasi itu memiliki otoritas yang kokoh di hadapan para pemeluk agama dan bisa dipandang sebagai perwujudan dari kesepakatan umat bergama untuk menghentikan permusuhan antar-agama dan membatalkan semua pembenaran konflik atas nama agama di mana saja.
Inilah salah satu arah besar yang ingin ditempuh Gus Yahya dalam menggerakkan kepemimpinan gagasan NU untuk membangun peradaban yang diarahkan untuk mencegah konflik global di satu sisi dan menawarkan terobosan-terobosan untuk mencari penyelesaikan berbagai konflik, terutama konflik di Timur Tengah. NU akan membayar berapapun harganya untuk mewujudkan perdamaian dunia.
Dalam pidato di “Forum on Common Values among Religious Followers” di Riyadh (11/5/2022), beberapa waktu lalu, Gus Yahya menyampaikan, masih banyak kalangan umat beragama yang memandang hubungan antaragama sebagai kompetisi politik sehingga agama diperalat sebagai senjata politik untuk memperebutkan kekuasaan. Pola pikir ini harus diubah karena akan merusak harmoni sosial di antara kelompok agama yang berbeda-beda dan memustahilkan kelompok-kelompok yang berbeda itu hidup berdampingan secara damai.
Dalam konteks inilah, kepemimpinan gagasan NU menjadi hal yang sangat penting. Rencana PBNU menyelenggarakan R-20 (Religion Twenty)—sebagaimana disampaikan Gus Yahya dalam berbagai kesempatan—dengan menggalang kekuatan agama di dunia, termasuk mengundang Paus Fransiskus, merupakan langkah strategis yang sangat penting. (foto Kompas/zm)
Rumadi Ahmad, Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden; Dosen FSH UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Anggota Badan Khusus Pengembangan Inovasi Strategis PBNU. Artikel dimuat dalam kolom opini Kompas, 25 Juni 2022.