NKRI Bukan Khilafah?
Prof. Dr. Sukron Kamil MA
Di antara berita belum lama ini yang menghentak adalah berita konvoi pengampanyean kebangkitan khilafah di sejumlah daerah, terutama di Jakarta, yang dilakukan Khilafatul Muslimin. Kini pimpinannya, Abdul Qadir Baraja, sudah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka. Ia terancam hukuman 20 tahun penjara karena tindakannya bertentangan dengan Pancasila.
Di antara bunyi poster yang dibawa oleh mereka yang ikut konvoi itu: ”Jadilah Pelopor Penegak Khilafah ‘ala Minhajin Nubuwwah (Sesuai Sistem Nabi)” dan ”Khilafah itu Ibadah, Khilafah itu Miliknya Umat Islam”.
Pertanyaannnya, jika dikaji secara akademik, apakah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan Pancasila-nya bertentangan dengan khilafah sehingga harus diganti atau tidak? Jawabannya, tentu saja, tidak.
NKRI: Khilafah bentuk baru
Secara umum, bisa dikatakan, NKRI dengan Pancasila-nya bisa disebut sebagai khilafah bentuk baru, hasil ijtihad para pendiri bangsa yang sesuai ajaran Islam. NKRI secara substansi sesuai khilafah, apalagi NKRI adalah anggota OKI (Organisasi Koferensi Islam) yang tak perlu diubah sesuai pandangan kaum Muslimin mainstream (Muhammadiyah dan NU).
Selama ini, khilafah dan NKRI oleh kalangan Islam fundamentalis politis dan jihadis dipertentangkan. Lihat saja konsep khilafah yang diusung Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) sebagai kaum fundamentalis Islam politis. Konsepnya agak mirip dengan daulah Islamiyah (Islamic state) ala NII (Negara Islam Indonesia), kaum fundamentalis Islam jihadis. Namun, jika HTI menyebut Indonesia sebagai negara kafir yang harus didakwahi, tidak harus diperangi, maka bagi NII/JI (Jama’ah Islamiyah), NKRI adalah negara kafir yang harus diperangi.
Yang dimaksud konsep khilafah HTI itu sebagaimana diuraikan pendirinya, Taqiyuddin an-Nabhani. Bagi Nabhani, mempersatukan umat Islam di seluruh dunia di bawah kekhalifahan Islam dan pemberlakuan syariah Islam secara menyeluruh adalah wajib dilakukan umat Islam.
Adapun yang dimaksud dengan sistem khilafah adalah khilafah dalam versi tradisionalnya—yang sebenarnya sudah terdistorsi, yaitu sistem pemerintah yang menganut sistem kesatuan, bukan federal; bersifat desentralistik; meski kekuasaan di tangan umat, kedaulatan milik syariah (tidak ada hukum kecuali hukum Allah), yang karena itu, demokrasi bertentangan dengan Islam; non-Muslim dalam sistem khilafah memiliki kebebasan dalam keyakinan, ibadah, makanan, minuman, pakaian, dan pernikahan, sementara di luar itu berlaku hukum Islam; dikenakan hukum Islam (mati) bagi yang murtad; kritik dalam sistem khilifah adalah hak kaum Muslimin, dan seorang khalifah musti laki-laki dan Muslim.
Tidak sesuai
Namun, berdasarkan praktik sejarah Islam klasik dan pertengahan (abad ke-7-17), konsepsi khilafah HTI itu hampir seluruhnya tidak sesuai. Soal khilafah sebagai sistem yang mempersatukan umat Islam di bawah kepemimpinan tertinggi (khalifah), secara de facto dan de jure hanya berlaku dari abad ke-7 hingga abad ke-10.
Sejak pertengahan abad ke-10, khalifah hanya sebagai simbol pemersatu yang tugasnya mengesahkan para penguasa lokal, yang secara de facto berkuasa. Sejak itu, khilafah tidak mempersatukan umat Islam lagi secara de facto. Masa ini ditandai dengan berdirinya Dinasti Buwaih (932-1055) yang menganut madzhab Syi’ah, dan sejak 945 dinasti ini bahkan menguasai Bagdad, ibu kota khilafah Abbasyiah. Khalifah pun bahkan sempat hilang sebentar sejak hancurnya Bagdad 1258 dan sejak dijabat Sultan Salim I (1512-1520), hanya berkuasa di wilayah Usmani.
Menjelang pembubarannya (1924), khilafah bahkan dipahami al-Afgani (w 1897) lebih sebagai asosiasi politik, seperti OKI, di mana eksistensi negara-negara Muslim harus diakui. Paling tidak, konsepsinya telah diperbarui. Pendapat Isma’il al-Faruqi (1921-1986) menunjukkan asumsi ini. Meski dalam soal mempersatukan umat Islam bersifat tradisional, dalam konsepsi khilafah versinya, negara-negara Islam merupakan provinsi federal dan non-Muslim memiliki kewajiban bela negara, mengatur mereka dengan sistem hukum yang mereka inginkan, di mana peradilan agama mereka bebas menyelesaikan perkaranya.
Sebagaimana kebebasan mengkritik pada masa Khulafa Rasyidin, poin terakhir yang disebut al-Faruqi di atas juga sudah dipraktikkan dalam sejarah khilafah sejak abad ke-7-17. Dan ini lagi-lagi agak berbeda dengan konsepsi khilafah HTI. Nabi bahkan mendirikan negara Madinah pada awalnya bersifat multi-etnis dan agama.
Piagam politik Madinah—yang dinilai sebagian ahli sebagai piagam Hak Asasi Manusia pertama dalam sejarah dunia—ini bukan saja menjamin kebebasan memeluk dan mengamalkan agama, melainkan juga hak-hak politik bagi non-Muslim. Nabi bahkan menghukum bangsa Yahudi Qainuka dan Nadhir yang berkomplot bersama musuh sewaktu Nabi terjepit dalam berbagai peperangan berdasarkan konvensi hukum mereka, yaitu diusir dari Madinah.
Pada masa Khilafah ‘Abbasyiah (750-1258), non-Muslim terutama keluarga Barmakiyah yang berasal dari sebuah keluarga Buddha di Balkh Persia, bukan hanya banyak yang menjadi jendral dan gubernur, melainkan juga perdana menteri. Bahkan, sebagian lebih berkuasa ketimbang khalifah.
Demikian pula kelompok Kristen yang banyak diberi peran dalam pengembangan sains, dan kelompok Yahudi dalam bidang keuangan. Praktik pluralis ini juga bisa dilihat praktik khilafah di Spanyol yang menciptakan Spanyol untuk tiga agama (Yahudi, Kristiani, dan Islam). Masyarakat Yahudi pun, sebagaimana dikatakan Abraham S Halkin, mengalami zaman keemasannya di bawah khilafah Islam di Spanyol.
Lebih jauh, ‘Ali ‘Abd al-Raziq, ulama Mesir modern, menolak sistem khilafah berdasarkan QS 88: 21, dan memandangnya sebagai sebuah sistem yang tidak mempunyai landasan yang kokoh dari Al Quran, hadis, dan ijma’. Al Quran, katanya, tidak menyebut kekhalifahan seperti yang kita kenal dalam sejarah.
QS 6: 38 misalnya yang dianggap dalil pendukung kekhalifahan, dalam kenyataannya tidaklah demikian. Alasannya, kata ulî al-amri (para pemegang kekuasaan), yang wajib diikuti kaum Muslimin sesudah menaati Allah dan Rasul-Nya tidaklah disepakati ulama tafsir dalam arti khalifah.
Imam Baidhawi umpamanya, menafsirkan kata itu dengan kaum Muslimin yang sezaman dengan Nabi, dan Zamaksyari mengartikannya dengan ulama. Rasa-rasanya hanya ijma’lah yang menjadi alat legitimasi, dan itu pun, menurut Raziq, bukan ijma’ shahih. Hal ini kerena kekhalifahan terbentuk oleh ijmâ’ sukûtî (kesepatan diam), yang tidak semua masyarakat menyepakatinya.
Kontroversi keharusan mendirikan khilafah atau tidak juga bukan saja terjadi pada periode modern, tetapi sejak masa klasik. Meskipun jumhur (mayoritas) ulama berpendapat bahwa hukum mengangkat khalifah bagi umat Islam adalah wajib, kalangan Muktazilah dan Khawarij berpendapat bahwa pengangkatan khalifah tidak wajib, baik menurut penilaian akal maupun syara’ (hukum Islam). Yang wajib bagi mereka adalah menegakkan ajaran Islam. Kalau umat Islam sudah berjalan di atas keadilan dan hukum-hukum Allah telah dilaksanakan, tidak perlu dan tidak wajib lagi ada khilafah.
Secara praktik juga, selain pernah ada kepala negara perempuan di Mesir priode Mamalik, dalam sejarah khilafah sejak masa abad ke-7 hingga pertengahan juga terdapat sisi praktik negara sekular moderat. Paling tidak, dalam arti negara yang di dalamnya terdapat dualisme kepemimpinan yang berbeda, yaitu kepemimpinan politik dan moral tidak di tangan satu orang.
Sejak khilafah Umayyah (660-750 M) berdiri, kepemimpinan politik di bawah khalifah, sedangkan kepemimpinan moral (agama) dan intelektual di bawah para ulama atau belakangan para sufi. Dalam sistem pemikiran politik Sunni juga, pemerintah yang boleh dilawan dengan mengangkat senjata hanyalah pemerintah yang melarang kaum Muslimin untuk meyakini ketauhidan Allah, salat Jumat, dan salat wajib lima waktu.
Secara hadis, pandangan ini sesuai hadis sahih riwayat Muslim dan Ahmad. Apalagi, di NKRI, semua hukum Islam sudah dipraktikkan, baik hukum keluarga, ibadah, maupun ekonomi. Hanya hukum pidana saja yang tak dipraktikkan secara harfiah dan itu dibolehkan oleh Imam Ibn Rusyd, sebagaimana orang yang murtad, bagi sebagian ulama, tidak harus dihukum mati.
Lagi pula, pasca-khulafa rasyidun, khilafah digerogoti bukan hanya kuantitas di atas, melainkan juga kualitas yang tidak ideal. Sejak itu, khilafah bersifat patrimonial (negara sebagai milik khalifah—kas negara misalnya dikuasai penuh olehnya, tanpa kontrol—dan bisa diwariskan). Khilafah juga mengalami sekularisasi (tercerabut, kendati tidak semua, dari nilai-nilai Islam), di mana kekuasaan misalnya didirikan di atas penumpahan darah. (foto Kompas/zm)
Penulis adalah Guru Besar UIN Jakarta. Artikel dimuat dalam kolom opini Kompas, 22 Juni 2022.