NGENDONG NIKAH

NGENDONG NIKAH

KATAGORI BUDAYA DAN BAHASA

  Oleh: Syamsul Yakin Dosen KPI Magister UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Penulis Buku “MILIR 2”

Tradisi ngendong nikah saya hanya temukan di masyarakat Betawi. Nama lain ngendong nikah itu adalah ngendong tiga hari. Alasan tradisi ini terus dipelihara hingga kini, saya belum sepenuhnya pahami. Namun yang pasti, sebagai pesan orangtua, saya menjungjung tinggi. Maksudnya, saya melakukan tradisi ngendong nikah, kendati tidak secara sempurna. Sebab ngendong nikah melibatkan besan kedua belah pihak. Sementara saya hanya berdua saja bersama bini.

Ngendong nikah sebenarnya rangkaian terakhir kegiatan besan dari mempelai laki-laki ke mempelai perempuan. Maksudnya, setelah tiga hari pengantin laki-laki tinggal di rumah orangtua pengantin perempuan, maka malam berikutnya giliran pengantin perempuan diajak menginap di rumah orangtua pengantin laki-laki. Turut mengantar ngendong nikah ini, kedua orangtua pengantin perempuan dan keluarga inti lainnya. Biasanya mereka berangkat usai maghrib.

Pada masyarakat Betawi Depok, prosesi ngendong nikah hari-hari ini sayup-sayup saja terdengar. Padahal istilah ini, pada tiga dekade terakhir masih santer. Seorang suami membawa istrinya menginap di rumah orangtuanya. Sementara orangtua perempuan menyambut kedatangan mereka dengan masak nasi lauk pauk dan sayur terubuk. Sayur inilah yang sering disebut sayur besan. Disajikan untuk menyambut besan, kendati bukan saat besan.

Sayur besan jadi kaprah sebagai ikon rumah makan Betawi. Orang Sawangan dengan mudah mendapati sayur besan di Warung Makan Betawi Bang Udin, Parung. Di Bojongsari ada Rumah Betawi Betawi Cabe Lima, disediakan juga sayur besan lengkap dengan gabus pucung. Di Mampang Kota Depok, ada Warung Betawi spesial Gabus Pucung milik Haji Acep. Sayur besan dan gabus pucung memang selalu meninggalkan rasa di lidah.

Inti ngendong nikah sebenarnya silaturahim para besan dan keluarga inti. Kayak mamang, ence, mak gede, pak gede, uwak dan engkong. Usai makan, biasanya di antara mereka berbincang soal hajatan yang bakal diadakan di rumah orangtua besan laki-laki. Dalam masyarakat Betawi, adat hajatan atau "make kembang" diselenggarakan dua kali. Umumnya di rumah besan laki-laki belakangan. Hal itu berlaku sejak masa yang lampau.

"Make kembang" adalah istilah bagi kedua mempelai yang dihias dan dirias lengkap dengan aneka kembang. Make kembang identik dengan duduk di pelaminan. Zaman dulu, pengantin perempuan yang duduk di pelaminan didampingi oleh seorang wanita muda yang sudah menikah yang disebut dengan "penganter". Saat ini penganter sudah tidak ada lagi. Karena saat ini ayah dan ibu dari kedua mempelai ikut naik dan duduk juga di pelaminan.

Pada saat malam mulai kelam, orangtua perempuan dan rombongan minta izin kepada orangtua laki-laki untuk beranjak pulang. Sementara kedua pengantin baru tetap tinggal di rumah orangtua laki-laki. Mereka menginap semalam atau dua malam, sesuai kesepakatan. Besan dari pihak perempuan biasanya dikasih berekat atau buah tangableh oleh orangtua laki-laki, sehingga mereka pulang berendong petong. Tujuannya, untuk saling memuliakan.

Esok paginya, mantu perempuan getap-getap sudah bangun. Dia mencuci piring, bikin sarapan, dan bebenah. Inilah kesempatan ibu mertua mengukur dan menilai kerajinan sang menantu. Pada saat ini juga awal kedekatan menantu dan mertua dimulai. Sudah barang tentu sensitivitas keduanya sangat kuat. Namun mertua perempuan yang baik biasanya memberi pelajaran soal berumah tangga dengan telaten.

Setelah dirasa cukup ngendong nikah, kedua pengantin baru pulang lagi ke rumah orangtua perempuan. Ibu pengantin laki-laki memberi modal buat berumah tangga sebagai simbol. Seperti piring, gelas, tesi, ringkok, baskom. Kalau zaman dulu, bakul, centong nasi, dandang, dan kukusan. Inilah sepenggal cerita soal ngendong nikah yang tampaknya mulai tergerus oleh keadaan yang memaksa orang melakukan apa saja secara simpel. Saya tanya, Anda pernah ngendong nikah? (sam)