Negara, Manusia, dan Teologi Tanah
Abdul Moqsith Gazali
Salah satu materi bahstul masail di Muktamar Nahdlatul Ulama di Lampung, 23-25 Desember 2021, adalah kedaulatan rakyat atas tanah. Materi ini elaborasi lebih lanjut dari materi Munas Alim Ulama NU di NTB, 24-26 November 2017, yaitu redistribusi lahan.
Dalam dua forum besar itu, NU membahas tentang tanah dan lahan. Ini menunjukkan tanah adalah soal pokok. Karena itu, dibutuhkan satu konsep Islam tentang tanah yang disebut—meminjam bahasa Hassan Hanafi (1935-2021) dari Mesir—teologi tanah (lahut al-ardhi). Kita bisa menyebutnya fikih tanah (fiqh al-ardhi).
Hak asasi manusia
Bagi NU, tanah merupakan wasilah bagi terpenuhinya hak asasi manusia (huquq al-insan). Tanah atau lahan punya arti strategis bagi kehidupan manusia di bumi karena hampir seluruh sektor kehidupan manusia tergantung dan bersumber pada tanah; untuk lahan pertanian, permukiman, tempat usaha, tempat peribadatan, sarana perhubungan, dan lain-lain.
Di atas tanah, manusia bukan hanya bisa meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraannya, melainkan juga bisa menjalankan aktivitas ibadahnya. Tanah dinilai memiliki beberapa fungsi. Pertama, fungsi ekonomi, karena tanah merupakan sumber kehidupan dan penghidupan.
Kedua, fungsi politik, karena tanah jadi pembatas wilayah kekuasaan. Ketiga, fungsi sosial, karena di atas tanah, manusia dengan berbagai tradisi dan kebudayaannya berkumpul, membangun relasi. Keempat, fungsi yuridis. Karena tanah bisa dimiliki, maka kepemilikannya harus dibuktikan secara yuridis.
Kelima, fungsi psikologis, karena kita punya ikatan batin dan kesejarahan dengan penghuni tanah. Keenam, fungsi religius karena tanah tempat ibadah. Di atas tanah telah dibangun ribuan bahkan jutaan rumah ibadah lintas agama di dunia.
Singkatnya, dari tanah manusia diciptakan dan ke dalam tanah manusia akan dimasukkan. Di atas tanah manusia lahir dan di atasnya ia akan mati. Di atas tanah manusia bekerja, bersosialisasi dan beribadah. Demikian besar keterkaitan tanah dan manusia, bukan hanya karena manusia tercipta dari tanah, melainkan karena manusia juga membutuhkan tanah.
Masalahnya, tanah cenderung statis tak bertambah, sementara jumlah manusia yang butuh tanah terus bertambah. Di situ sengketa tanah terjadi.
Pertama, dalam skala lebih luas, satu negara bisa berperang dengan negara lain karena berebut tanah. Kedua, satu komunitas agama berkonflik dengan komunitas agama lain soal pendirian rumah ibadah di atas sebidang tanah. Ketiga, satu kelompok adat bersitegang dengan kelompok adat lain karena tanah. Keempat, satu individu berkonflik dengan individu lain karena tanah. Begitu seterusnya hingga bumi penuh konflik akibat ulah manusia.
Menghindari perebutan sumber daya tanah yang berakibat pada kerusakan bumi, penguasaan dan kepemilikan tanah perlu diatur. Tak boleh dibiarkan segelintir manusia menguasai dan memiliki ribuan bahkan jutaan hektar tanah, sementara yang lain tak menguasai bahkan tak memiliki sama sekali.
Dalam konteks negara modern, negara perlu mengatur penguasaan dan kepemilikan tanah. Untuk menghindari kepemilikan tanah oleh segelintir manusia, negara atas nama rakyat bisa memiliki tanah yang peruntukan dan kegunaannya untuk sebesar-besar kemakmuran dan kemaslahatan rakyat.
Sebuah kaidah menyatakan, ”Kebijakan negara dibuat untuk menarik kemaslahatan dan menolak kemafsadatan sekalipun wahyu tak menjelaskan dan Nabi SAW tak mencontohkan.”
Republik surga di bumi
Tanah dalam Islam disebut al-ardh, yang diartikan sebagai bumi. Di Al Quran, tanah disebut sebagai mustaqar, tempat hidup manusia, tumbuh-tumbuhan, dan hewan. Tanah di Al Quran juga disebut sebagai mata’, tempat yang memberikan kenyamanan bagi manusia.
Manusia tak ikut menciptakan bumi, tetapi Allah memberikan mandat kepada manusia sebagai pewaris bumi dengan tugas memakmurkannya.
Dalam salah satu pidato pembukaan Muktamar NU, Rais Aam PBNU KH Abdul Wahab Chasbullah (1888-1971) menegaskan: mewarisi ”bumi” ini artinya membangunnya agar menjadi suatu dunia yang sejahtera, aman, dan makmur, yang di dalamnya berisi keadilan dan kebenaran yang tinggi.
Jika setiap manusia memerankan diri sebagai pewaris bumi yang baik, ini akan terwujud. Dengan perkataan lain, jika setiap orang sukses membangun harmoni dengan tanah dengan cara memakmurkannya dan sukses juga merajut perdamaian dengan para penghuni tanah yang lain, membangun republik surga di bumi bukan sebuah impian, melainkan kenyataan.
Dengan demikian, surga bukan ruang kenikmatan yang diperjanjikan di akhirat semata, melainkan ruang kebahagiaan yang rasanya bisa dicicil mulai sekarang. Itulah baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur, gemah ripah loh jinawi.
Namun, manusia tidak selalu punya kesanggupan memakmurkan bumi. Alih-alih berhasil dimakmurkan, bumi ini mengalami kerusakan parah, seperti kerusakan lingkungan akibat perang beruntun yang tak berkesudahan. Agama yang seharusnya mendamaikan justru dijadikan alasan untuk menghancurkan.
Tak jarang agama dihadirkan sebagai basis legitimasi bahwa perang adalah tindakan benar sehingga perang yang menggerogoti nilai-nilai kemanusiaan itu disebut perang suci (holy war). Dengan mengutip tafsir agama, satu komunitas agama memerangi komunitas agama lain. Padahal, jelas bahwa perbedaan adalah sunnatullah. Karena itu, perbedaan agama tak boleh dijadikan sebagai alasan untuk saling membasmi satu sama lain. Semua umat beragama adalah makhluk Allah.
Dengan demikian, benar jika melalui Munas Alim Ulama NU di Banjar, 27 Pebruari-1 Maret 2019, NU memutuskan bahwa dalam konteks Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), nomenklatur dzimmi, mu’ahad, musta’man dan harbi dalam studi fikih tak bisa diterapkan kepada non-Muslim di Indonesia. Bagi NU, non-Muslim di Indonesia adalah warga negara (muwathin) yang memiliki hak dan kewajiban setara dengan warga negara Indonesia lain.
Bagi saya, apa yang dilakukan NU itu bagian dari jihad, yaitu jihad kemanusiaan. Sebab, demikian Jamal al-Banna (1920- 2013), adik kandung Hasan al-Banna (1906-1949), anna al- jihad al-yaum laysa an-namuta fi sabilillah walakin an-nahya fi sabilillah. Jihad hari ini bukan untuk mati di jalan Allah, melainkan untuk hidup di jalan Allah dengan cara membangun peradaban di dunia, memakmurkan bumi, dan membangun harmoni dengan semua penghuni tanah-bumi ini. (zm)
Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta dan Katib Syuriyah PBNU Periode 2022-2027. Artikel dimuat kolom opini Kompas, 30 Juni 2022.