Musibah dan Edukasi Lingkungan untuk Masa Depan Kemanusiaan

Musibah dan Edukasi Lingkungan untuk Masa Depan Kemanusiaan

Dr Muhbib Abdul Wahab MA

Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah

Bangsa Indonesia kembali berduka. Awal tahun baru 2021, bangsa ini mengalami musibah bertubi-tubi, mulai dari jatuhnya pesawat Sriwijaya Airline di kepulauan Seribu, gempa bumi di Mamuju Sulawesi Barat, tanah longsor di Sumedang, banjir besar di sejumlah daerah Kalimantan Selatan, dan sebagainya. Mayoritas musibah atau bencana alam itu menyebabkan korban jiwa, harta benda, dan kerusakan lingkungan. Pada saat yang sama, Covid-19 belum menunjukkan tanda melandai dan mereda.

Musibah, khususnya bencana alam, merupakan fenomena alam yang tidak diharapkan terjadi, namun manusia harus menerima “takdir bencana”. Bencana yang terjadi boleh jadi disebabkan oleh perilaku manusia yang eksploitatif dan destruktif terhadap lingkungan hidup. Jadi, bencana alam tersebut merupakan akibat perbuatan manusia. Dalam konteks ini, al-Qur’an menegaskan: ““Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. ar-Rum [30]: 41).

Pertanyaan yang menarik didiskusikan dan dijawab adalah “Mengapa bencana demi bencana datang silih berganti menimpa manusia, terlepas apapun agama, bahasa, budaya, suku bangsa, status sosial, dan etnisnya?” “Mengapa manusia seolah tidak mengambil pelajaran dari peristiwa musibah yang kurang lebih sama, seperti: banjir, tanah longsor, kebakaran hutan, dan sebagainya?” “Bagaimana Islam memberikan solusi terhadap berbagai musibah dan bencana alam melalui pendidikan (edukasi) lingkungan?” “Bagaimana pula orientasi dan strategi pengembangan pendidikan lingkungan untuk kemaslahatan dan masa depan kemanusiaan?”

Hakikat dan Penyebab Musibah

Musibah itu berasal dari kata (أَصَابَ يُصِيْبُ إِصَابَة ومُصِيْبَة) yang makna dasarnya adalah mengena (benar, tepat) dan menimpa. Kata ini mulanya terbentuk dari kata (صَابَ يَصُوْبُ الْمَطَرُ) yang artinya turun hujan. Menurut ar-Raghib al-Ashfahani, dalam al-Mufradat fi Gharib al-Qur’an, asal makna musibah adalah lemparan (ar-ramyah). Dari makna dasar ini, musibah kemudian digunakan dalam pengertian: bahaya, celaka, bencana, dan bala.

Menurut al-Qurthubi, musibah adalah apa saja yang menyakiti dan menimpa diri orang Mukmin, atau sesuatu yang berbahaya dan menyusahkan manusia meskipun kecil atau sepele. Dalam konteks ini, al-Qurthubi mengemukakan hadits Nabi SAW yang diriwayatkan dari Ikrimah bahwa lampu Nabi SAW pada suatu malam pernah padam, lalu beliau membaca: Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Para sahabat bertanya: “Apakah ini termasuk musibah ya Rasulullah? Nabi menjawab: “Ya, apa saja yang menyakiti orang Mukmin itu disebut musibah”.

Hidup manusia memang tidak pernah luput dari musibah, dalam pengertian ujian dan bala. Karena hakikat kehidupan dan kematian ini merupakan ujian dalam rangka verifikasi (pembuktian) siapa di antara kita yang paling baik kinerja, amal perbuatan dan prestasinya. “Dan Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, dan 'Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya. Jika engkau berkata (kepada penduduk Mekah), sesungguhnya kamu akan dibangkitkan setelah mati," niscaya orang kafir itu akan berkata, "Ini hanyalah sihir yang nyata." (QS. Hud [11]: 7)

Dalam firman-Nya yang lain dinyatakan: "Yang menciptakan mati dan hidup, untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya. Dan Dia Mahaperkasa, Maha Pengampun." (QS. al-Mulk [67]: 2). Hidup  tanpa ujian, cobaan, dan musibah adalah sebuah kemustahilan. Namun, yang menjadi persoalan adalah bagaimana menyikapi musibah atau ujian itu menjadi sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah, sekaligus kita tetap bisa tersenyum dan mensyukuri hidup ini dengan berpikir positif (husnu az-zhann) kepada-Nya.

Beriman kepada Allah SAW sejatinya harus bersiap-siap menerima ujian, karena orang beriman itu tidak akan dibiarkan tanpa diuji keimanannya. “Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan, "Kami telah beriman," dan mereka tidak diuji?  (QS. Al-Ankabut [29]: 2) Ujian hidup seperti adanya rasa takut, krisis harta,  krisis jiwa (galau, stress, depresi, dst), krisis pangan, dan seterusnya merupakan salah satu janji Allah  yang pasti dipenuhi. ”Dan Kami pasti akan menguji kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar.” (QS. al-Baqarah [2]: 155)

Melalui ujian dan musibah, Allah dapat menilai dan mengelompokkan siapa di antara umat manusia ini yang benar-benar memiliki etos jihad (spirit dan kinerja perjuangan yang pantang menyerah) dengan yang bersantai-santai. Dan sungguh, Kami benar-benar akan menguji kamu sehingga Kami mengetahui orang-orang yang benar-benar berjihad dan bersabar di antara kamu; dan akan Kami uji perihal kamu. (QS. Muhammad [47]: 31)

Persoalan berikutnya adalah “Apakah musibah itu merupakan kehendak dan ketentuan Allah atau karena ulah salah tangan-tangan jahil dan jahat manusia?” Pertama, semua musibah yang terjadi dan menimpa makhluk Allah, termasuk manusia itu sudah diketahui (menjadi pengetahuan Allah) sejak azali dan sudah ditulis dalam Lauh Mahfuzh (Superserver, Pusat Data Allah). “Setiap bencana yang menimpa di bumi dan yang menimpa dirimu sendiri, semuanya telah tertulis dalam Kitab (Lauḥ Maḥfuzh) sebelum Kami mewujudkannya. Sungguh, yang demikian itu mudah bagi Allah. (QS. al-Hadid [57]: 22) Ayat ini menjelaskan bahwa ilmu Allah itu bersifat futuristik; Allah Maha Tahu apa yang akan terjadi pada makhluknya, termasuk musibah. Namun, ayat ini tidak berarti bahwa Allah itu penyebab terjadinya musibah.

Kedua, sebagian besar penyebab aneka musibah adalah perbuatan manusia itu sendiri yang serakah, melampaui batas, berlaku eksploitatif, dan tidak ramah terhadap alam.Hal ini sesuai dengan firman Allah: “Dan musibah apa pun yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (dari kesalahan-kesalahanmu).” (QS. asy-Syura: 30) Musibah, bencana, dan kerusakan alam seperti yang terjadi saat ini merupakan dampak (akibat) dari sikap dan perlakuan manusia yang destruktif terhadap alam. “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia; Allah menghendaki agar mereka merasakan sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar).” (QS. ar-Rum [30]: 41)

Ketiga, meskipun sebagian besar musibah itu disebabkan oleh perbuatan manusia, namun proses terjadinya tetap tidak terlepas dari “izin Allah” sebagai pengatur/pengelola alam raya ini (Rabbul al-’alamin). “Tidak ada sesuatu musibah yang menimpa (seseorang), kecuali dengan izin Allah; dan barangsiapa beriman kepada Allah, niscaya Allah akan memberi petunjuk kepada hatinya. Dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. at-Taghabun [64]: 11)

Keempat, belajar dari kisah umat terdahulu yang banyak dikisahkan al-Qur’an, bencana alam itu pada umumnya disebabkan oleh perbuatan maksiat kepada Allah. Misalnya saja, kaum Nabi Nuh yang menentang ajaran tauhid ditimpakan “banjir internasional”. Kaum Nabi Luth yang memilih gaya hidup LGBT diazab Allah dengan hujan batu, gempa bumi dasyat, dan lukuifaksi (dibenamkan dalam tanah). Demikian pula, konglomerat hitam seperti Qarun dan berkoalisi jahat dengan diktator Fir’aun dan para pembesar sekaligus para tukang sihir (dan para buzzernya) dibenamkan dalam perut bumi dan ditenggelamkan di laut Merah.

Orientasi Edukasi Lingkungan

Oleh karena musibah dan bencana itu pada umumnya merupakan akibat (dampak) dari perbuatan manusia, maka untuk mencegah, mengantisipasi, dan memitagasinya, diperlukan pendidikan lingkungan. Esensi pendidikan lingkungan (at-tarbiyah al-bi’iyyah) adalah pengenalan, penyadaran, dan pengamalan nilai-nilai ekologis dalam merawat dan menjaga (korservasi), melestarikan, dan mengoptimalkan fungsi lingkungan yang sehat dan bersih untuk kehidupan manusia.

Edukasi lingkungan sangat penting untuk masa depan kemanusiaan karena pada dasarnya manusia diberikan kecerdasan lingukungan (environmental intelligence). Hidup di dunia ini bagi Muslim merupakan amanah (kepercayaan) untuk memakmurkan bumi, menjaga dan melestarikan lingkungan hidup. Edukasi lingkungan juga penting dimaknai dalam konteks pembangunan berwawasan dan ramah lingkungan: tidak merusak, tidak bertindak destruktif dan eksploitatif terhadap lingkungan alam (hidup), tidak mencemari (membuat polusi), menggunduli hutan, membuang sampah sembarangan, dan sebagainya.

Signifikansi dan orientasi edukasi lingkungan dalam al-Qur’an disederajatkan dengan  pentingnya menjaga keseimbangan, kesuksesan, dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Qashash [28]: 77). “Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya…” (QS. al-A’raf [7]:56)

Menurut Dr Shalah Abdus Sami’ Abdur Razzaq, tujuan dan orientasi edukasi lingkungan adalah untuk: (1) mengembangkan kesadaran lingkungan Muslim dengan memberinya visi yang benar tentang lingkungan dan komponennya untuk mencapai peran yang diinginkannya di muka bumi sebagai khalifatullah; (2) pengembangan dan pembentukan nilai-nilai Islam, orientasi dan keterampilan lingkungan manusia Muslim, sehingga dapat menghadapi berbagai kesulitannya dengan kemauan yang kuat, dan kemudian memanfaatkannya dengan cara yang bermanfaat untuk mencapai tujuan Islami; (3) pengembangan kemampuan umat Islam untuk mengevaluasi prosedur dan program pendidikan lingkungan untuk mencapai pendidikan lingkungan yang lebih baik; (4) menemukan dan memperkuat keseimbangan antara unsur-unsur sosial, ekonomi dan biologi yang berinteraksi dengan lingkungan untuk kepentingan umat Islam; dan (5) Memahami sistem sosial, ekonomi, teknologi dan alam berikut hubungan manusia Muslim dengan isu-isu lingkungan dan pemanfaatannya (Shalah, at-Tarbiyah al-bi’iyyah fi al-Islam, 2020)

Dengan kata lain, edukasi lingkungan itu idealnya membuahkan kesadaran dan kesalehan lingkungan, sehingga alam raya sebagai amanah Ilahi tetap lestari, memberi nilai tambah bagi kelangsungan dan masa depan kemanusiaan; tidak sebaliknya memicu terjadinya bencana, karena salah kebijakan, eksploitatif perlakukan, dan destruktuf pemanfaatannya. Islam mengedukasi umatnya dalam masalah fiqkih dimulai dengan pembahasan tentang thaharah (bersuci) dengan memanfaatkan air yang suci dan mensucikan. Visi lingkungan dalam fikih sangat jelas dan fungsional. Sebagai contoh, dalam berwudhu saja, umat Islam harus mengenali kategori air suci dan mensucikan, mendayagunakannya dengan hemat (Nabi SAW sekali berwudhu dengan menggunakan air kurang dari satu liter), tidak boleh memboroskan penggunaan air. Saat terjadi peperangan, umat Islam dilarang membuang kotoran atau mencemari air sungai, membuang kotoran di bawah pohon yang biasa digunakan tempat berteduh, menebang pohon dan merusak lingkungan, dan sebagainya.

Ketika menunaikan ibadah haji, ada sejumlah larangan berorientasi edukasi lingkungan. Misalnya, jamaah haji yang sedang mengenakan pakaian ihram dilarang berburu (konservasi alam), mencabut tanaman, dan memotong pohon (pelestarian sumber daya alam). Hal ini menunjukkan bahwa ibadah itu tidak sekadar memenuhi syarat dan rukunnya semata, tetapi juga berorientasi edukasi lingkungan: membentuk kesalehan lingkungan dan mewujudkan kemasalahatan kemanusiaan. Dengan kata lain, integrasi nilai ubudiyyah dan edukasi lingkungan merupakan aktualisasi dari pentingnya merawat nilai-nilai kemanusiaan universal.

Selain itu, Islam juga mengajarkan aktualisasi nilai-nilai kesalehan ekologis dengan mewajibkan umat Islam, misalnya: menyingkarkan duri (segala bentuk gangguan, termasuk membersihkan sanitasi dan drainase aliran air dan sungai) agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi kemanusiaan. Pembiasaan pola hidup bersih, sehat, dan hemat, dalam memanfaatkan air, mengonsumsi makanan dan minuman (dilarang berlebih-lebihan, melakukan perbuatan tabdzir), dan sederhana dalam berbagai gaya hidup, merupakan manifestasi konkret edukasi lingkungan demi masa depan kemanusiaan.

Dalam mengadapi dan mencari solusi terhadap aneka musibah dan bencana, Islam juga memberikan panduan moral, baik untuk strategi antisipasi bencana, penanganan bencana, rekonstruksi dan rehabilitasi pascabencana. Dalam konteks ini, edukasi mitigasi untuk mengurangi risiko bencana, Islam menyerukan kepada umatnya untuk mempelajari dan memahami fenomena dan perilaku alam, termasuk perubahan cuaca, kondisi geografis rawan bencana (tanah longsor, banjir bandang, daerah aliran sungai, kawasan rawan bencana letusan gunung berapi, tsunami, banjir rob, dan sebagainya). Dengan memahami fenomena dan perilaku alam sekitar, manusia bisa mengarifi dan bersikap harmoni terhadap lingkungan hidupnya.

Ketika musibah terjadi dan menimpa siapapun tanpa bisa dihindari, Islam mengedukasi mentalitas para korban untuk menerima “takdir ujian kehidupan” dengan pentingnya bersikap positif, bersabar, dan terus belajar untuk dapat memetik aneka hikmah di balik musibah. Islam mengajak manusia untuk memiliki kesadaran eksistensial berupa “sangkan paraning dumadi”. Dalam bahasa Jawa, sangkan  berarti asal muasal, paran adalah tujuan, dan dumadi artinya menjadi, yang menjadikan atau pencipta.  Jadi, yang dimaksud kesadaran eksistensial “Sangkan Paraning Dumadi  adalah pengetahuan tentang "Dari mana manusia berasal dan akan ke mana ia akan kembali." Kesadaran eksistensial ini diisyaratkan al-Qur’an dengan menyatakan: “Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang sabar,(yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka berkata "Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un" (sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nyalah kami kembali). (QS. al-Baqarah [2]: 155-156)

Dalam menyikapi, meresponi, dan mengatasi bencana, kesadaran eksistensial dan sikap sabar memang sangat diperlukan, karena manusia pada dasarnya bagian dari sistem makrokosmos yang terintegrasi dengan kepemilikan dan kekuasaan Allah. Oleh karena itu, edukasi lingkungan dalam Islam diharapkan dapat membuahkan mental dan karakter sabar. Karena kesabaran dalam menghadapi musibah merupakan modal mental spiritual yang memudahkan solusi terhadap berbagai persoalan ikutan atau dampak lanjutan dari musibah itu. Dalam konteks ini, Allah SWT menjanjikan ampunan, kasih sayang, dan solusi (petunjuk penyelesaian masalah) bagi orang yang sabar. “Mereka itulah yang memperoleh ampunan dan rahmat dari Tuhannya, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS al-Baqarah [2]: 157).

Akhirul Kalam

Musibah demi musibah yang menimpa bangsa ini semestinya membuka “ruang kesadaran dan keinsafan” bersama,  seraya dibarengi introspeksi diri (muhasabah). Kita perlu bertanya kepada diri sendiri: “Apakah perilaku dan interaksi kita dengan alam selama ini sudah harmoni dan memberi kontribusi positif (nilai tambah) bagi masa depan kemanusiaan atau sebaliknya, kebijakan dan perlakuan kita terhadap alam cenderung serakah, ekspolitatif, dan destruktif?” Karena itu, edukasi lingkungan sangat dibutuhkan agar setiap warga bangsa memiliki kesadaran dan kesalehan ekologis.

Kesadaran dan kesalehan ekologis tidak tumbuh, bersemi, dan berkembang tanpa adanya sentuhan edukasi nilai-nilai ekologis bagi semua, dimulai dari lingkungan rumah tangga (misalnya dengan penyemaian budaya zero waste, bebas dan nihil sampah di rumah). Kurikulum pendidikan pesantren, madrasah, sekolah, dan perguruan tinggi sudah saatnya diintegrasikan dengan orientasi edukasi lingkungan agar pembiasaan dan pembudayaan gaya hidup bersih, sehat, hemat, dan produktif itu menjadi living values.

Pengembangan kesalehan ekologis dengan sikap peduli, orientasi go green rumah ibadah dan institusi pendidikan dalam merawat, melestarikan, dan memanfaatkan lingkungan hidup secara produktif, tanpa kebijakan (pemegang kekuasaan politik) dan perilaku eksploitatif dan destruktif, idealnya menjadi komitmen kemanusiaan bersama. Bumi dan isinya, termasuk manusia, itu dari, milik, dan akan kembali kepada Allah. Manusia sebagai khalifah-Nya diberikan amanah untuk membangun (bukan merusak) dan memakmurkan lingkungan hidup dan alam raya demi terwujudkan kemaslahatan masa depan kemanusiaan. Dalam edukasi lingkungan, semestinya tidak boleh ada “perselingkuhan kebijakan” (misalnya pemberian izin membuka lahan pertambangan dan perkebunan bagi pengusaha nakal) dengan mengkhianati dan mengorbankan kepentingan dan kemaslahatan rakyat banyak. Jadi, para pemimpin bangsa ini harus bisa memberikan teladan kebaikan dalam edukasi lingkungan demi terwujudnya masa depan kemanusiaan yang adil dan beradab. Wallahu a’lam bi ash-shawab!

Sumber: Majalah Tabligh Edisi No. 2/XIX Jumadil Akhir 1442 H/Februari 2021 M. (mf)