Mungkinkah Negara Mengatur Penentuan Nama?
Prof Sulistyo Basuki PhD, Guru Besar Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah
Berbagai media massa memberitakan tentang Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 73 Tahun 2022 tentang pemberian nama seseorang. Peraturan tentang nama tersebut bukan merupakan peraturan yang pertama, tetapi juga kemungkinan besar juga bukan peraturan terakhir. Dalam sejarah Indonesia, peraturan tentang nama sudah dikenal sejak zaman Kediri, Singosari, Majapahit, Mataram, dan juga di berbagai kesultanan di luar Jawa.
Pemberian nama pada seseorang oleh raja lazim dilakukan bila orang tersebut naik pangkat atau menduduki jabatan tertentu. Hal serupa masih dilakukan oleh Kerajaan Yogyakarta, Surakarta, dan Paku Alaman, serta beberapa kesultanan lainnya. Namun, hal itu hanya berlaku untuk pejabat kerajaan dan tidak berlaku untuk orang awam. Sebagai contoh semasa Kesultanan Banten, Sultan Haji (1682-1687) mengeluarkan perintah yang melarang lelaki dan wanita Banten berpakaian Jawa, tetapi harus berpakaian Arab. Menyangkut nama, Sultan memerintahkan semua orang Banten harus pakai nama Arab. (Widagdo Notorodjo, 1968).
Pemerintah Hindia Belanda pada 1864 mengatur pendaftaran nama untuk orang-orang Alfuru (Sulawesi Utara) mendaftarkan nama mereka yang beragama Kristen dalam dua nama (Wilken, 1875). Adapun orang Alfuru yang tidak beragama Krsiten, nama depan mereka diperlakukan sebagai nama keluarga. Pada zaman pemerintahan Hindia Belanda pada 1872 keluar peraturan yang mengatur pencantuman nama kecil dalam permohonan pemilikan tanah. Peraturan tersebut dilanjutkan dengan peraturan yang keluar pada Januari 1926 (Lie, Oen Hock, 1961).
Peraturan lain yang mengatur nama dikeluarkan pada 1933 khusus berlaku untuk orang Indonesia yang beragama Nasrani. Pada zaman Jepang pemerintah pendudukan Jepang mengeluarkan aturan yang mewajibkan nama tua ditambahkan pada nama kecil, sehingga setiap orang Jawa punya nama kecil dan nama tua. Tujuannya ialah untuk kepentingan administrasi pemerintahan (Kahar Rony, 1968). Pada awal Orde Baru, dalam Pedoman Kabinet Ampera (1967) keluar peraturan ganti nama bagi warga negara Indonesia yang memakai nama Tjina. Lalu terkini adalah Permendagri No 73 tahun 2022. Berikut ini ulasan tentang Permendagri tersebut.
Pasal 4 menyatakan bahwa pada jumlah kata paling sedikit dua kata atau dapat disebut nama ganda. Ketentuan ini sebenarnya menafikan kebiasaan yang ada di berbagai etnik Indonesia karena hanya mengenal nama tunggal. Sebagai contoh di Waropen (Held, 1947) mengenal nama tunggal seperti Akai, Aubini, Korai, dan Mereni untuk wanita. Sementara untuk laki-laki dikenal nama seperti Bawai (besar), Fafai (tunggul), Ghafai (bulan), Nafai (pantai), dan lain-lain. Di Aceh ada nama untuk laki-laki bebas seperti Boento, Poeteh, Gadeng, Bata Paneu, dan lain-lain (Snouck Hurgronje, 1893). Untuk nama wanita bebas adalah Hajau (besar), Borleun (bulan), Inong (wanita), dan lain-lain. Etnik Gayo mengenal nama tunggal, seperti Itom, Kuntung, Bidin, dan Kasim untuk pria. Sementara untuk wanita ada nama seperti Merul, Rami, dan Saidah (Kreemer, 1923).
Bagi etnik Alas dikenal nama tunggal seperti Djemawa, Djohor, Dekah untuk pria. Sementara untuk wanita ada nama seperti Djale, Tjerno, Sangoet, dan lain-lain (Kreemer, 1923). Di Bali ada nama tunggal seperti Sukreni, Sasih, dan Raka. Untuk etnik Jawa dikenal nama tunggal untuk pria, seperti Respati, Tumpak, Gludug, Doegel, Djagiman, dan Kasiman. Sementara untuk nama wanita ada Bawon, Demirah, Desimah, Karinah, Masriah, dan seterusnya (Poensen, 1870). Bahkan sebelum 1950an nama etnik Jawa yang berakhiran dengan ‘~ah, ~yem, ~jah, ~min, ~nem, ~man, ~ran’ menunjukkan strata sosial yang rendah. Hal tersebut sudah tidak berlaku lagi walaupun dalam percakapan seharihari masih ada yang menggunakannya.
Mencabut Akar
Dengan adanya nama tunggal pada berbagai etnik, bisa dikatakan Permendagri 2022 melanggar hak asasi. Itu karena nama merupakan bagian pribadi seseorang dan sedikit banyak meniru rezim yang memaksa warganya mengubah nama. Seperti ketika semasa Stalin saat suku Tartar dibuang ke Georgia. Atau di Kamboja tatkala rezim Pol Pot memaksa rakyat Kampuchae mengubah nama agar mereka tidak bersatu melawan rezim. Bahkan ada pemaksaan nama yang mirip suku Han bagi etnik Uighur di Xinjiang. Bisa juga kita sebut rezim Orde Baru memaksa penduduk dengan Tiongkok menjadi nama Indonesia.
Perubahan nama menyebabkan penduduk terserabut dari akarnya. Sebenarnya pemerintah dapat meniru negara lain yang memperlakukan penduduk yang bernama tunggal dengan cara menambah nama tunggal pada bagian akhir nama. Contoh Sutaryo ketika kuliah di SS mendapat tanda pengenal dengan tulisan Sutaryo Sutaryo atau Sutaryo Only atau Sutaryo FNU (front name unknown). Beruntung Pemendagri ini keluar semasa Orde Reformasi. Tidak terbayang kalau aturan ini muncul saat presiden bernama tunggal (Soekarno, Soeharto). Apakah berani Kementerian Dalam Negeri memaksa presiden menggunakan dua nama?
Maka bila toleran, bagi penduduk Indonesia yang bersikeras menggunakan nama tunggal, dokumen kependudukan tetap menulis nama yang sama dua kali satu. Bagian nama pertama satunya lagi bagian nama kedua, contoh Tuminah Tuminah, Paijo Paijo. Mengenai ketentuan sedikitdikitnya dua kata maka ada beberapa penafsiran.
Bila sedikit-dikitnya dua kata, sistem temu kembali informasi (information retrieval system) dapat mengakses bagian pertama atau bagian kedua. Bila mengakses bagian pertama nama maka kemungkinan besar akan diperoleh recall (perolehan) yang tinggi namun kurang presisinya. Contoh sistem basis data kependudukan ingin mencari nama Muhamad Ali, Muhamad Afif, Muhamad Abdurahim, Muhamad Nawai, Muhamad Marzuki, Muhamad Hisyam, Muhamad Husnil, Muhamad Radjab, Muhammad Hatta, dan lain-lain.
Bila sistem ingin mencari nama Muhammad Hatta, kemudian sistem mencari pada bagian nama pertama akan ditemukan banyak nama Muhammad namun hanya satu ketemu Muhammad Hata. Maka hal itu dikenal sebagai perolehan yang tinggi namun presisi rendah. Bila sistem mencari pada bagian nama kedua, akan ketemu bagian nama kedua yang tak banyak dan dengan mudah menemukan nama Muhammad Hatta. Maka presisinya tinggi dan inilah yang diharapkan pada sistem temu balik informasi.
Kemungkinan dua bagian nama atau mungkin tiga bagian nama dengan adanya nama depan, nama tengah, dan nama akhir maka kita bergerak ke penentuan nama keluarga. Namun, keluarga atau nama famili atau nama marga sudah lumrah pada penduduk Indonesi seperti di kalangan etnik Batak, Manado, Maluku, Nusa Tenggara, Papua, atau Gorontalo. Juga ada kecenderungan warga untuk menggunakan nama ayahnya sebagai nama keluarga yann diteruskan oleh keturunannya, seperti nama Alisjahbana, Djojohadikusumo, Djiwandono, dan lain-lain.
Ada pun ketentuan nama yang tidak melanggar norma agama, kesopanan, dan norma kesusilaan dibuat dengan tidak mengulang sejarah. Dalam sejarah, kewajiban pemilihan nama keluarga pernah dilakukan Napoleon ketika Prancis menduduki Belanda pada 1810. Karena Napoleon mewajibkan semua warga Belanda memiliki nama keluarga sementara penduduk Belanda menganggap bahwa kekuasaan Napoleon tidak lama, mereka memilih nama yang mencerminkan ketidaksenangan pada kebijakan tersebut.
Jangan heran kalau kemudian muncul nama keluarga seperti Naakgeboren (lahir telanjang), Poeppes (tinja), Piest (buang air kecil), van den Berg (dari gunung), Paardebek (mulut kuda), Uitenbroek (tanpa celana), dan lain-lain. Ternyata kekuasaan Napoleon tak berlangsung lama, namun kebiasaan menggunakan nama keluarga yang aneh-aneh tetap berlangsung sampai sekarang. Keturunan mereka menggunakan nama tersebut walau mungkin ada perasaan tak enak.
Ketentuan nama tidak boleh lebih dari 60 huruf memang sudah banyak dilakukan di banyak negara. Maka nama seperti Puti Pramathana Puspa Seruni Paundrianagari Guntur Soekarno Putri yang melebihi 60 aksara, cukup ditulis Puti Guntur Soekarno. Ketentuan nama yang maksimum 60 huruf seyogyanya di sebarluaskan dan berlaku bagi semua instansi. Semanya wajib mengisi ruas data (data field) pada formulir atau borang baik cetak maupun elektronik sebanyak 60 huruf, tidak lebih dan tidak kurang.
Dengan adanya uniformitas maksimum 60 huruf akan akan memudahkan pertukaran data untuk berbagai keperluan seperti pariwisata, pendidikan, kepolisian, intelijen, dan lain-lain. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa negara mampu mengatur nama diri. Maka saran menyangkut penentuan nama ialah; 1. Penyeragaman ruas data pada borang (formulir) sebanyakbanyaknya 60 huruf yang berlaku nasional. 2. Mulai penggunaan dua nama, di mana nama bagian belakang merupakan titik akses dalam sistem temu balik informasi. 3. Bagi penduduk Indonesia yang tetap mempertahankan nama tunggal, dapat ditulis ulang dalam dokumen kependudukannya, dan sistem dapat mengidentifi kasi menemu balik (retrive) nama yang bersangkutan walau hanya memiliki nama tunggal. 4. Akses pada bagian nama kedua bagian akhir nama sehingga sistem dapat menekan perolehan serta mendapatkan presisi/ketepatan yang tinggi. 5. Adanya regulasi nama menyangkut kewajiban memiliki keluarga sebagaimana pernah diusulkan Ikatan Pustakawan Indonesia dalam kongres 1973.
Sumber: mediaindonesia.com, 16 Juni 2022. (sam/mf)