Muhammadiyah dan Pendidikan Pesantren

Muhammadiyah dan Pendidikan Pesantren

Pesantren merupakan lembaga keagamaan sekaligus lembaga pendidikan Islam khas Indonesia. Eksistensinya jauh mendahului NKRI, karena merupakan  lembaga pendidikan Islam tertua di Nusantara. Pesantren mulai berdiri sekitar abad ke-15 lalu sebagai manifestasi sinergi akulturasi “Islam dan kearifan lokal”. Lahirnya pesantren merupakan bentuk akomodasi nilai-nilai Islam dan budaya bangsa yang multikultural.

Menurut Bagian Data, Sistem Informasi, dan Hubungan Masyarakat Sekretariat Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama, pada 2016 terdapat 28.194 pesantren yang tersebar di wilayah kota maupun pedesaan dengan 4,290,626 santri, dan semuanya berstatus swasta. Pertumbuhan dan perkembangan pesantren di Indonesia yang tergolong sangat pesat itu menunjukkan tingkat keragaman sistem, orientasi pimpinan pesantren dan independensi kiai. Angka tersebut juga membuktikan bahwa pesantren merupakan lembaga pendidikan swasta yang hebat, sangat mandiri, bermodal sosial dan berbasis kearifan lokal.

Aset Umat dan Bangsa

Oleh karena itu, pesantren merupakan aset umat yang sangat strategis sekaligus masa depan bangsa. Dalam sejarah bangsa, pesantren memiliki andil dan kontribusi sangat besar dan penting dalam pengusiran penjajah dari bumi pertiwi tercinta, hingga perjuangan untuk merebut dan mengisi kemerdekaan RI. Setelah kemerdekaan, pesantren menjadi garda terdepan dalam mempertahankan, mengawal NKRI, dan memaknai pembangunan bangsa. Pendiri bangsa ini (founding fathers), misalnya saja Ki Bagus Hadikusumo dan KH. A. Wahid Hasyim, adalah santri sejati. Jenderal Besar Sudirman, pemimpin perang gerilya adalah juga santri nasionalis yang telah diwakafkan Muhammadiyah untuk umat dan Indonesia.

Sayangnya, pesantren –mungkin pesantren tertentu dan bersifat kasuistik— terkadang dikesankan pusat persemaian Islam “radikal” atau Islam garis keras. Stigmatisasi ini tentu sangat tendensius dan politis, karena di balik itu dipastikan ada agenda terselubung untuk mendiskreditkan dan menista Islam. Yang berhaluan keras atau radikal itu boleh jadi hanyalah sebagian “oknum”, bukan institusi pesantrennya. Karena, pendirian dan pengembangan pesantren itu harus legal, mengikuti aturan main yang diberlakukan oleh Kementerian Agama RI. Syarat rukunnya pun harus dipenuhi, seperti: adanya kyai, santri, asrama, masjid, kitab kuning atau studi Islam. Disahkannya Undang-undang No. 18 Tahun 2019 tentang pesantren dinilai dapat membawa pesantren ke arah yang lebih jelas, sekaligus merupakan bentuk intervensi terlalu dalam terhadap rumah tangga pesantren. Kehadiran UU Pesantren dapat memberikan efek positif dan negatif untuk pengembangan pesantren sebagai local genius di Negara Indonesia (Maulana Arif Setyawan, 2019: 19).

Terlepas dari “politisasi dan intervensi” pemerintah, fakta sejarah menunjukkan bahwa pesantren memainkan peran sangat strategis, tidak hanya dalam transmisi keilmuan dan pelestarian nilai-nilai keislaman dan kebangsaan, tetapi juga berfungsi sebagai pusat tafaqquh fi ad-din (pengkajian, pendalaman, dan penguasaan ajaran Islam) dan kaderisasi ulama. Peran pesantren, para ulama, dan santri juga tidak kalah penting dalam membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan Belanda dan Jepang. Banyak laskar jihad melawan penjajahan berlatar belakang santri yang memiliki militansi dan etos jihad yang tinggi. Jadi, pesantren itu hadir, antara lain, untuk mengawal dan memandu kiblat masa depan umat dan Indonesia hebat.  Tanpa pesantren, boleh jadi kiblat bangsa ini sudah melenceng dan keluar dari ideologi bangsa, Pancasila. Bahkan, munyeruaknya RUU tentang HIP (Haluan Ideologi Pancasila) yang banyak ditentang oleh mayoritas umat Islam, termasuk PP Muhammadiyah dan PBNU, merupakan salah satu “pintu masuk” pembelokan kiblat bangsa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pembangunan umat dan bangsa yang berkemajuan, adil makmur, sejahtera dan bermartabat, mustahil tanpa ditopang sistem pendidikan yang maju dan inovatif, termasuk pesantren yang berkarakter kuat dalam pengembangan mental spiritual dan moral para santri. Jika lagu Indonesia Raya menegaskan pentingnya pembangunan jiwa terlebih dahulu baru pembangunan fisik: “Bangunlah jiwanya… bangunlah badannya untuk Indonesia Raya”, maka pembangunan jiwa merupakan misi utama dan agenda mulia dari pendidikan pesantren. Mentalitas, spiritualitas, moralitas, dan nasionalitas warga pesantren telah teruji dan terbukti hebat dalam perjalanan sejarah bangsa. Masyarakat pesantren selalu setia dan memiliki loyalitas yang tinggi dalam merawat rumah besar Indonesia. Hanya PKI, antek-antek komunis dan sparatis yang selalu menyimpan agenda terselubung untuk mengkhianati NKRI.

Mengapa pendidikan pesantren Muhammadiyah hadir mencerahkan para santri, menjadi pusat kaderisasi ulama Muhammadiyah sekaligus menjadi pusat persemaian Islam berkemajuan? Pertanyaan ini mungkin tidak semua dapat dapat dijawab melalui tulisan ini. Akan tetapi, dinamika pesantren Muhammadiyah dalam lima tahun terakhir dengan lebih dari 356 buah di seluruh Nusantara menunjukkan bahwa pesantren Muhammadiyah memiliki harapan masa depan yang menjanjikan, apabila dikelola dengan manajemen modern, terbuka, mandiri, dengan kurikulum berwawasan Islam berkemajuan, disiplin, dan taat asas terhadap regulasi Pendidikan yang diberlakukan persyarikatan.

Pesantren Muhammadiyah 

Di antara kritik yang kerap dialamatkan kepada pesantren adalah persoalan kurikulumnya yang cenderung statis, tidak dinamis dan kontekstual. Dari dulu hingga sekarang standar isi kurikulum pesantren cenderung tidak mengalami perubahan signifikan, padahal dunia berubah dan perkembangan sains dan teknologi sangat pesat dan cepat. Jika kurikulum pesantren tidak ditinjau kembali dan dimutakhirkan, dikhawatirkan para santri kurang mampu beradaptasi dengan perkembangan literasi milenial dan global.

Selain itu, muatan dan struktur kurikulum pendidikan pesantren juga lebih bernuansa turāts (warisan khazanah masa lalu), daripada wacana hadātsah (modernitas. Oleh karena itu, tensi muhāfazhah ala al-qadīm as-shālih (mempertahankan tradisi lama yang baik) lebih dominan daripada al-akhdzu bi al-jadīd al-ashlah (mengembangkan kreativitas baru yang lebih relevan). Oleh sebab itu, review, reorientasi, dan reaktualisasi kurikulum pesantren menjadi kebutuhan mendesak, sehingga  pesantren menjadi lebih adaptif, responsif, dan solutif terhadap berbagai persoalan umat dan bangsa.

Salah satu hasil Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar (2015) adalah pembentukan lembaga pengembangan pesantren di bawah Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Belakangan ini, ada kesadaran kuat untuk kaderisasi ulama dan penguatan modal keagamaan moderat dan progresif berbasis pesantren, sehingga Muhammadiyah dalam empat tahun terakhir sangat intens mengembangan pendidikan pesantren berkemajuan dan berkemandirian, baik secara ekonomi maupun sosial budaya.

Dalam konteks ini, Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah memelopori desain kurikulum pesantrenMu, kemudian menyusun buku ajar pesantrenMu berbahasa Arab. Buku-buku ajar dengan kertas putih –tidak kuning lagi— dan berwarna-warni sudah diterbitkan dan digunakan di sejumlah pesantrenMu. Kurikulum, silabus, dan buku ajar pesantren, tentu saja, didesain berwawasan Islam berkemajuan dan pengembangan keterampilan berbahasa Arab. Ke depan, melalui kurikulumnya yang bersifat holistik-integratif, pesantren Muhammadiyah sangat diharapkan lebih  berkontribusi positif  dan proaktif dalam pembangunan mental spiritual dan moral bangsa menuju khaira ummah dan Indonesia berperadaban maju.

Salah satu model pesantren Muhammadiyah adalah pesantren sains. Ada dua trensains di Indonesia, yaitu Trensains Darul Ihsan Muhammadiyah Sragen dan Trensains Tebuireng Jombang. Keduanya digagas oleh seorang saintis, Dr. Agus Purwanto. Trensains belakangan ini menjadi ngetren karena standar kompetensi lulusannya tidak hanya menguasai dan lancar berbahasa asing (Arab dan Inggris), tetapi juga piawai sains (matematika, fisika, kimia, biologi), dan memahami interaksi antara agama dan sains. Target utama lulusannya dapat diterima sebagai mahasiswa di kampus terbaik seperti: UI, UGM, ITB, dan universitas di luar negeri.

Di samping itu, Trensains juga mengembangkan kajian tentang Alquran dan tafsir, tafsir ilmi, sejarah sains dan biografi para ilmuwan, filsafat sains, sains dan persoalan ketuhanan (sains lama dan sains baru), agama dan sains, Islamisasi sains, saintifikasi Islam, sains Islam, dan mathematic Wolfram. Santri trensains juga dilatih dan dibudayakan menghafal Alquran, utamanya ayat-ayat semesta (ayat kauniyyah), membaca, berdiskusi, public speaking, dan mahir presentasi.

Trensains memang dirancang menjadi pilot project yang diharapkan menjadi pesantren milenial berkemajuan dan bertaraf internasional. Selain itu, pesantren dengan genre milenial ini juga diharapkan  menjadi basis pembangunan peradaban bangsa yang hebat dan bermartabat. Dengan kata lain, umat dan bangsa Indonesia di masa depan tidak mungkin sukses tanpa sentuhan nilai dan celupan budaya pesantrenMu yang mengedepankan kemerdekaan berpikir, ukhuwah islamiyyah, kemandirian, kesederhanaan,  kreativitas, dan produktivitas.

Di era digital yang penuh kompetisi regional dan global ini, pengembangan pendidikan pesantren Muhammadiyah yang kini berjumlah lebih dari 356 buah merupakan sebuah keniscayaan. Karena sistem pendidikan Islam ke depan yang sangat dibutuhkan oleh umat dan bangsa adalah model pendidikan holistik integratif, inovatif, dan interkonektif, bukan pendidikan dikotomik dan tidak autentik. Kompetensi lulusan pesantren yang diharapkan dapat memenuhi tantangan masa depan adalah kompetensi yang memadukan antara kualitas iman-ilmu-amal-akhlak mulia.

Pesantren bergenre milenial tersebut telah menginisiasi integrasi pembelajaran dan pemahaman ayat-ayat Quraniyyah dan ayat-ayat kauniyyah sebagai “kurikulum kehidupan” santri,  di samping menghadirkan keseimbangan antara dimensi mental spiritual, kognitif, afektif, psikomotorik, sosial kemanusiaan, dan wawasan kebangsaan. Karena pendidikan pesantren Muhammadiyah sejatinya merupakan cikal-bakal dan modal sosial pendidikan kepanduan, patriotisme, heroisme, dan kebangsaan, seperti pada diri Jenderal Soedirman.

Dalam trensains Muhammadiyah, MBS (Muhammadiyah Boarding School), Pesantren Darul Arqam Garut, Pondok Modern Muhammadiyah Paciran Lamongan, dan pesantrenMu lainnya, budaya literasi, penguasaan keterampilan berbahasa asing, dan riset dikembangkan. Diskusi dan nalar ayat-ayat semesta, kebebasan berpendapat dan berekspresi, toleransi dalam menyikapi keberbedaan, toleransi, harmoni, dan persaudaraan sangat diutamakan. Bahasa pengantar pembelajaran (bahasa Arab dan Inggris) merupakan modal intelektual dan sosio-kultural milenial untuk menumbuh-kembangkan tradisi riset, inovasi dan temuan-temuan baru di bidang sains dan teknologi yang disemai dan bersemi di pesantren.

Pendidikan pesantren Muhammadiyah berkemajuan diharapkan fasih dalam merespon tantangan zamannya, sehingga pesantren Muhammadiyah menjadi lebih unggul, mandiri, kompetitif, dan berkemajuan untuk kemajuan umat dan Indonesia berkemajuan, adil makmur, hebat, dan bermartabat. Yang pasti, seperti pesantren yang dirintis KH. Ahmad Dahlan, al-Qism al-Arqa, yang kemudian menjelma menjadi Mu’allimin dan Mu’allimat di Yogyakarta, perlu dikembangkan menjadi pesantren pencetak kader ulama, pemimpin, dan pendidik umat dan bangsa yang berkepribadian Muhammadiyah dan berkontribusi untuk kemajuan umat dan bangsa.

Dr Muhbib Abdul Wahab MA, Ketua Program Studi Magistern Pendidikan Bahasa Arab FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah. Sumber: MAJALAH TABLIGH EDISI NO. 10/XVIII OKTOBER 2020 M/SHAFAR 1442 M. (mf)