Muhammadiyah dan Pendidikan Guru Peradaban

Muhammadiyah dan Pendidikan Guru Peradaban

Tanggal 25 November diperingati sebagai hari guru nasional. Sampai saat ini, profesi guru di negeri tercinta masih banyak diminati oleh para calon mahasiswa. Setiap tahun, jumlah calon mahasiswa yang meminati fakultas Tarbiyah (Pendidikan dan keguruan). Tidak kurang dari 1.000 mahasiswa baru diterima, sekadar contoh, oleh Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dari sekitar 5.000-an pelamar yang memilih fakultas yang diharapkan dapat menyiapkan calon tenaga pendidik.

Namun demikian, dalam kenyataannya, nasib guru, terutama guru honorer, masih memperihatinkan. Kesejahteraan mereka rendah, jauh di bawah UMR (Upah Minimun Regional). Bahkan tidak jarang, honor guru juga tidak diberikan tepat waktu, terkadang malah dibayarkan setelah sekian lama keringatnya kering. Jeritan para guru untuk peningkatan kesejahteraan hidupnya kadang bagai “angin surga”. Padahal, banyak wakil rakyat atau anggota dewan yang terhormat yang dahulu menjadi “peserta didik” dari para gurunya, setelah berkantor di Senayan, seolah tidak peduli lagi dengan masa depan guru. Adanya kebijakan sertifikasi guru dan Pendidikan profesi guru ditengarai masih belum mampu meningkatkan kompetensi (professional, pedagogik, kepribadian, dan sosial) dan performansi guru profesioal.

Pertanyaannya kemudian adalah bagaimana profesi guru didesain dan dikembangkan tidak hanya untuk mendidik dan menyiapkan lulusan lembaga pendidikan sesuai dengan kebutuhan masa depan umat dan bangsa? Dalam konteks ini, Muhammadiyah dinilai memiliki kisah sukses dalam penembangan sistem Pendidikan Islam holistik-integratif dalam menyiapkan kader pemimpin umat dan bangsa. Bagaimana Muhammadiyah menunjukkan kiprah dan kontribusi mencerahkan masa depan bangsa melalui sistem dan institusi pendidikannya, khususnya dalam menyiapkan guru peradaban, bukan sekadar guru kelas, guru mapel (mata pelajaran), guru bimbingan dan penyuluhan (BP), guru bangsa, dan guru kemanusiaan?

Profesi Mulia

Profesi guru sebagai pendidik merupakan profesi paling mulia,  karena dapat mengantarkan manusia mencapai keutamaan (al-fadhilah) dan dapat mendekatkan diri kepada Allah (at-taqarrub ila Allah) sebagai tujuan utama pendidikan. Pendapat al-Ghazali (1059-1111) yang dikutip oleh Ibrahim Nashir ini mengandung pesan bahwa profesi mulia ini memang sangat penting bagi kehidupan individu dan masyarakat sekaligus, dan harus dikembangkan dengan sistem pembinaan yang jelas dan profesional. Profesi guru sangat diperlukan karena warisan budaya (at-turats as-tsaqafi) dan peradaban umat hanya bisa ditransmisikan kepada generasi muda melalui proses pendidikan, terutama Pendidikan guru profesional (Ibrahim Nashir, 2010: 10-15). Penanaman nilai, pembentukan sikap, perilaku, karakter, akhlak mulia, dan kepribadian manusia yang bermartabat hanya dapat dilakukan melalui aktualisasi fungsi pendidikan dan profesi guru.

Penting ditegaskan bahwa fungsi utama guru bukan sekadar menyampaikan materi pelajaran, menuntaskan bab demi bab pembahasan dalam buku pelajaran, dan mengevaluasi kemampuan dan kompetensi peserta didiknya melalui ulangan (ujian). Guru adalah mitra peserta didik, pendamping strategis dalam proses pembelajaran peserta didik, dan mengaktualisasikan dirinya, sekaligus fasilitator, motivator, dan inspirator bagi peserta didik dalam membangun kepribadiannya, sehingga motivasi dan inspirasinya itu dapat merubah mindset dan orientasi mereka dalam membangun bangsa dan peradaban umat manusia.

Profesi guru adalah profesi kenabian (profetik) yang lekat dengan misi pembebasan dan pemanusiaan. Oleh karena itu, Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa “Aku diutus oleh Allah sebagai guru (Innama bu’itstu mu’alliman) (HR. Ibn Majah). Tentu saja, Nabi SAW adalah guru teladan dalam membangun peradaban umat dan bangsa sepanjang masa. Legasi utamanya adalah nilai-nilai moral dan teladan inspirasi kehidupan yang selayaknya diguru dan ditiru oleh guru-guru masa kini dan mendatang.

Meneladani profesionalitas keguruan Nabi Muhammad SAW mengharuskan kita  belajar  berdialog dari hati ke hati, dan cerdas dalam memberi solusi persoalan hidup para sahabat Nabi. Sirah Nabi SAW tidak hanya sarat dengan kisah perjalanan hidupnya, melainkan juga kaya akan sumber inspirasi yang  layak dijadikan sebagai referensi edukasi bagi guru peradaban dalam mengemban tugas profesionalnya.

Sebagai best practice, ketika mencermati dan mengenali pemuda potensial seperti Mush’ab bin ‘Umair misalnya, Nabi SAW memotivasi dan memberinya kepercayaan untuk menjadi pendidik pertama di kota Madinah (saat itu masih bernama Yatsrib) setelah terjadinya bai’ah aqabah pertama. Kepercayaan yang diberikan oleh Nabi itu tidak disia-siakan. Dengan penuh percaya diri dan keberanian, Mush’ab berangkat dari Mekkah menuju Madinah untuk menjadi da’i dan guru pendidik umat. Dalam waktu kurang lebih setahun, Mush’ab berhasil “mengislamkan” sekitar 80 orang penduduk Madinah. Prestasi pendidikan dan dakwah Mush’ab ini luar biasa berkat keuletan, kelemahlembutan, kesabaran, dan kepercayaan dirinya yang tinggi untuk membangun insan kamil dan peradaban umat.

Visi dan misi utama pendidikan guru yang dikembangkan Nabi SAW adalah mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil 'alamin. Dalam mewujudkan rahmat (kasih sayang bagi semua itu),  Nabi SAW memerankan diri dan menjalankan fungsi profetik sebagai pemimpin dengan kompetensi sebagai: (1) syahidan (saksi dan bukti nyata atas kebenaran Islam), (2) mubasysyiran (pembawa kabar gemberi, motivator), (3) nadziran (pemberi peringatan), (4) da’iyan ila Allah (penyeru kepada agama Allah) dan (5) sirajan muniran (cahaya yang memberikan pencerahan, inspirator) (QS al-Ahzab/33:45-46) Beliau juga seorang mu’alliman (pendidik) sekaligus penyempurna akhlak mulia (HR. Malik). Selain itu, Nabi SAW juga  pernah menyatakan “Aku tidak diutus sebagai pelaknat, tetapi diutus untuk membawa ajaran kasih sayang.” (HR. Muslim)

Oleh karena itu, misi profetik edukatif Nabi SAW memang bukan sekadar menyampaikan (tabligh) ayat-ayat Allah, melainkan juga menjadi teladan moral paling baik (uswah hasanah) bagi seluruh umat manusia. Dengan sunahnya, Nabi tampil sebagai penjelas ayat-ayat dalam bentuk amalan nyata. Karena itu, wujud Islam sebagai rahmatan lil alamin itu termanifestasi pada kepribadian beliau. “Sungguh pada diri Rasulullah itu terdapat keteladanan yang baik bagi orang yang mengharapkan pertemuan dengan Allah dan hari akhir.” (QS al-Ahzab/33: 21). Oleh karena itu, Aisyah RA melukiskan keluhuran akhlak Nabi dengan menyatakan: “Akhlak Nabi SAW adalah al-Qur’an“ (HR Muslim).

Pendidikan Guru di Lembaga Pendidikan Muhammadiyah

Idealnya, Muhammadiyah dapat lebih berperan penting dalam menyiapkan guru peradaban dalam berbagai bidang profesional. Krisis kepemimpinan nasional tercermin dari melorot indeks kepuasan publik terhadap kepemimpinan nasional dalam setahun terakhir, Oktober 2019 hingga 2020 (di bawah 50%), karena cenderung represif, otoriter, dan antidemokrasi, mengisyaratkan ada yang salah dalam proses penyiapan pemimpin nasional melalui lembaga pendidikan. Proses penyiapan pemimpin bangsa dicenderung “dibajak“ oleh oligarki para pemodal dan kekuatan penindas rakyat, sehingga pemimpin yang terpilih bukan yang terbaik, tetapi yang bisa “dikendalikan dan melayani“ kepentingan mereka. Hal ini berarti bahwa sistem dan lembaga pendidikan kita belum sukses melahirkan guru peradaban yang berkompetensi menjadi pemimpin bangsa yang melindungi segenap tumpah darah Indonesia dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

Guru peradaban yang diharapkan dapat dipersiapkan oleh lembaga pendidikan Muhammadiyah adalah guru yang berkepribadian teladan, memiliki modal iman yang kuat, ilmu yang bermanfaat, amal shalih atau karya (ilmiah, teknologi, institusi pendidikan dan lainnya) yang bermaslahat bagi bangsa dan umat. Eksistensinya dapat memberikan nilai tambah (added value) kemasalahatan bagi kemanusiaan. Guru peradaban tidak hanya mengispirasi para peserta didiknya, tetapi juga harus menjadi teladan moral, spiritual, dan sosial bagi bangsanya. Para pemimpin politik, pemimpin pemerintahan, pemimpin partai dan organisasi sosial, idealnya, juga harus memerankan diri sebagai guru peradaban dengan teladan akhlak mulia yang agung.

Menyiapkan guru pembangun peradaban tentu tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, prototipe guru peradaban dapat dipelajari dan diteladani dari kisah para Nabi dan Rasul. Kisah-kisah para Nabi dan Rasul yang dinarasikan al-Qur’an itu sejatinya  merupakan modal intelektual, mental spiritual, dan moral untuk membangun peradaban yang humanis, bukan peradaban materialis, kapitalistik, sekular dan liberal seperti peradaban Barat dewasa ini. Guru peradaban  itu harus memahami “denyut nadi” dan masa depan bangsa, sehingga mampu mengenali problematika sekaligus memberikan solusi cerdasnya untuk kemaslahatan umat dan bangsa.

 Lembaga pendidikan yang dibangun oleh Muhammadiyah sudah cukup banyak, tersebar di hampir seluruh pelosok negeri, mulai dari TK hingga Perguruan Tinggi (PT). Lebih dari 166 PTM yang sebagiannya memiliki fakultas Pendidikan dan keguruan. Beberapa PTM mantan IKIPM dipastikan beramal usaha di bidang penyiapan guru profesional di bidang masing-masing. Apakah lulusan Fakultas Pendidikan dan keguruan PTM sudah berorientasi kepada penyiapan guru professional yang berwawasan peradaban Islam masa depan?

Tampaknya, dalam konteks ini, kajian dan penelitian masih perlu dilakukan. Yang pasti, belum banyak guru lulusan PTM berkiprah dan berperan sebagai guru peradaban, guru profesional yang menginspirasi umat dan bangsa dalam membangun peradaban agung di masa depan. Wawasan Islam hadhari tampaknya masih perlu dikembangkan dan diinternalisasikan dalam proses pendidikan Muhammadiyah yang mengusung ikon holistik integratif. Al-Islam, Kemuhammadiyahan, dan Bahasa Arab, menurut pengamatan sementara, baru menjadi mata kuliah identitas PTM, belum dikembangkan menjadi MK penciri dan pembeda (yang betul-betul distingtif) antara kurikulum PTM dan PT lainnya.

Jika dikritisi lebih jauh, MK AIK pada PTM tampaknya belum mampu “memuhammadiyahkan” para mahasiswa PTM yang notabene mayoritas bukan dari warga persyarikatan. Ada sejumlah faktor yang dapat menjelaskan, mengapa AIK baru menjadi MK identitas, belum menjadi MK penciri dan pemberi warna ideologi, bahkan penggerak kemajuan. Di antaranya adalah kecilnya bobot satuan kredit semester, masing-masing MK berbobot sekitar 2-4 sks. Tidak semua dosen pengampu AIK memiliki “gen biologis maupun ideologis Muhammadiyah”. Model perkuliahan dan pembelajaran AIK belum mencerahkan dan mencerdaskan, masih cenderung monoton dan membosankan. Selain itu, silabus dan bahan ajar AIK perlu distandardisasi, agar visi, misi, dan orientasinya mengarah kepada kaderisasi dan pengembangan kepribadian Muhammadiyah.

Guru peradaban lulusan lembaga pendidikan Muhammadiyah dengan kompetensi keislaman, keilmuan, kemanusiaan, dan keindonesiaan idealnya perlu dikembangkan Bersama untuk mengantisipasi masa depan bangsa. Guru peradaban hasil didikan institusi pendidikan Muhammadiyah diharapkan dapat meluruskan “kiblat dan orientasi pembangunan” bangsa mulai terasa menyimpang, tidak memihak rakyat, tetapi cenderung memihak dan melayani para oligarki kekuasaan. Mereka membelokkan arah kiblat pembangunan bangsa demi kepentingan politik dan bisnis mereka, bukan untuk menyejahterakan rakyat.

Apabila guru peradaban ini dapat dihasilkan, niscaya ketika mereka dipercaya sebagai wakil rakyat atau pemimpin bangsa, maka agenda perjuangan legislasi dan eksekutif mereka adalah membangun peradaban bangsa, bukan mengeruk kekayaan bangsa dan menggadaikan secuil kekuasaan itu demi kepentingan asing dan aseng. Guru peradaban lulusan pendidikan Muhammadiyah idealnya juga memiliki wawasan kebangsaan dan kenegarawanan yang tinggi, sehingga selalu menampilkan karakter patriot sejati, membela kepentingan nusa dan bangsa, tidak mengkhianati dan membangkrutkan aset bangsa dan negara. Guru peradaban pasti memiliki panggilan jiwa yang tulus untuk berjuang dan rela berkorban demi masa depan bangsa, terutama dalam melawan neokolonialisme dan neokomunisme yang terbukti pernah nyaris merobohkan sendi persatuan NKRI.

Oleh karena itu, membangun dan mengembangkan peradaban memerlukan partisipasi semua pihak, khususnya guru peradaban. Spirit berkolaborasi atas dasar kebajikan dan takwa (ta’awun ‘ala al-birri wa at-taqwa) dan berkompetisi dalam beramal kebajikan (fastabiqul khairat) harus menjadi jiwa penggerak para guru peradaban yang dihasilkan oleh sistem dan institusi pendidikan Muhammadiayah.

Sekadar contoh nyata, KH. Ahmad Dahlan, pendiri Muhammadiyah, tampil sebagai guru peradaban yang inspiratif dan mencerahkan  ketika masyarakatnya berada dalam “belenggu kebodohan, kemiskinan, kemunduran, dan keterbelakangan”, dengan mengembangkan sistem dan model pendidikan berorientasi integrasi iman, ilmu dan amal shalih yang bermanfaat. Karena itu, ketika mengajarkan tafsir surat al-ma’un kepada murid-muridnya, beliau tidak hanya berhenti pada tataran kognitif (para murid bisa membaca dan menghafal surat tersebut), tetapi juga menginspirasi mereka untuk memiliki spirit gerakan pengamalan dari pesan moral al-ma’un dengan menyantuni anak yatim dan memberdayakan fakir miskin.

Sistem pendidikan yang mencerahkan dan menggerakkan yang diteladankan Dahlan terbukti mampu membuat persyarikatan Muhammadiyah menjadi besar dan mampu berkontribusi positif bagi pembangunan bangsa. Jadi, guru peradaban masa depan yang dihasilkan sistem dan pendidikan Muhammadiyah sangat diharapkan mampu mewariskan legasi amal nyata di bidang pendidikan, kesehatan, kesejahteraan umat yang berkontribusi positif bagi umat dan rakyat Indonesia, tanpa harus “mengklaim dirinya” sebagai paling Pancasila dan NKRI. Kita memang masih mengalami defisit guru peradaban, bukan guru mata pelajaran. Inilah tantangan kita semua, tidak hanya Muhammadiyah, tetapi juga komponen bangsa yang lain. Berbeda dengan guru mata pelajaran, menyiapkan guru peradaban itu tidak mudah.

Dr Muhbib Abdul Wahab MA, Kepala Prodi Magister PBA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Wakil Ketua Imla Indonesia. Sumber: Majalah Tabligh Edisi No. 11/XVIII Nov 2020. (mf)