Muhammadiyah dan Moderasi Beragama, Perspektif Islam Berkemajuan

Muhammadiyah dan Moderasi Beragama, Perspektif Islam Berkemajuan

Muhammadiyah dan moderasi beragama—kalimat yang nampaknya redundant. Sebagai organisasi dengan distingsi ‘Islam berkemajuan’, salah satu dari subyek kajian tentang Islam Indonesia yang paling banyak dikaji baik oleh sarjana dan peneliti dalam dan luar negeri, Muhammadiyah sejak kelahirannya sudah menampilkan moderasi beragama.

Jelas moderasi beragama adalah salah satu karakter utama, yang membuat Muhammadiyah tidak hanya mampu bertahan, tetapi terus melangkah maju di tengah berbagai perubahan zaman yang menghadirkan beragam tantangan. Memang ada segelintir warga Muhammadiyah yang cenderung ketat atau konservatif pada satu pihak atau sebaliknya cenderung longgar pada pihak lain, tetapi mayoritas Muhammadiyun tetap berada ‘di tengah’, memegang dan mengamalkan moderasi beragama.

Menjadi Muhammadiyah

Perkembangan Muhammadiyah dalam tiga dasawarsa terakhir menampilkan berbagai dinamika kontemporer yang tidak pernah terbayangkan dan terantisipasi di masa sebelumnya. Dinamika itu bisa tidak sinkron satu sama lain atau bahkan kontradiktif. Fenomena ini sekaligus mengindikasikan lingkungan luar Muhammadiyah yang berubah baik pada tingkatan nasional maupun internasional.

Pada level nasional, perubahan politik sejak 1998 dengan penerapan demokrasi liberal multi-partai kompetitif menimbulkan banyak ekses yang tidak diharapkan. Demokrasi itu sendiri sudah kompatibel dengan paradigma dan praksis politik Muhammadiyah sejak waktu sangat lama, tetapi ekses seperti merosotnya budaya kewargaan (civic culture) dan keadaban  (civility); kian meluasnya korupsi; berlanjutnya politik kekuatan massa (mobocracy), dinasti dan otokrasi; dan kini juga meningkatkan pembatasan kebebasan sipil membuat Muhammadiyah harus memberikan respon berupa pemikiran dan juga program aksi.

Dalam perubahan lingkungan, Muhammadiyah masih terlibat sedikit banyak pergumulan dalam dirinya, misalnya dalam kaitan dengan budaya lokal semacam budaya Jawa. Dengan pretensi permurnian Islam dari ‘TBC’ yang cukup lazim dalam kepercayaan dan praktek keagamaan serta budaya lokal, Muhammadiyah  cenderung tidak akrab. Karya Najib Burhani, Muhammadiyah Jawa (2016), misalnya, secara analitik dan komprehensif menggambarkan masih berlanjutnya pergulatan Muhammadiyah dengan budaya lokal Jawa.

Menyorot kritis pergulatan ormas ini, Najib berkesimpulan, Muhammadiyah ambigu terhadap budaya Jawa: “Muhammadiyah …punya agenda memperbaharui adat-istiadat sinkretik dan menyerang struktur sosil feudal-aristoratik yang mendominasi masyarakat Jawa dan keraton menjadi porosnya”

Ambigu itu seperti diungkapkan Najib, terlihat misalnya dalam kenyataan bahwa Ahmad Dahlan, sang pendiri…menjadi abdi dalem yang patuh pada Keraton Yogyakarta hingga akhir hayatnya. “Meskipun ia pemimpin organisasi moderen, ia tetap mengamalkan nilai-nilai Jawa seperti menunjukkan kerendahan hati dan takzim kepada orang berstatus lebih tinggi, terutama Sultan”, tulisnya.

Secara nasional Muhammadiyah kontemporer menyaksikan  peningkatan arus pemahaman dan praksis keislaman yang cenderung kian literal, defensif dan reaksioner, dengan kiprah ‘tanpa kompromi’, dan radikal. Pemahaman dan kiprah seperti ini mengakibatkan pergumulan di dalam Muhammadiyah sendiri, berupa peningkatan upaya meminggirkan kalangan yang dianggap ‘terlalu’ moderen dan progresif, dan bahkan ‘liberal’. Tarik menarik dan pergumulan ini tidak hanya terjadi di dalam tubuh organisasi induk Muhammadiyah, juga merambah ke dalam institusi milik Perserikatan seperti sekolah, perguruan tinggi dan sebagainya.

Selain itu, dinamika internal dan eksternal menimbulkan riak-riak di kalangan Muhammadiyah sendiri, khususnya para pemikir dan aktivis muda atau sudah lewat usia muda. Riak-riak itu mendorong terjadinya semacam ‘soul searching’—pencarian identitas Muhammadiyah atau dalam bahasa judul buku, Becoming Muhammadiyah.

Proses ‘menjadi Muhammadiyah’ secara teoritis tidak bakal pernah selesai karena perubahan yang terus terjadi di lingkungan dalam dan luar Muhammadiyah, baik domestik maupun internasional. Hajriyanto Y. Thohari dalam Muhammadiyah dan Pergulatan Islam Modernis (2016) menegaskan Muhammadiyah telah ‘menjadi legasi emblematik gerakan massa yang mencatat sukses. Tidak saja secara sosial-keagamaan; legasi itu mewujud dalam jangkar sejarah dan laku politik nasional semenjak sebelum kemerdekaan hingga sekarang ini’.

Dalam perjalanannya, generasi demi generasi, lapisan tokoh dan akitivis Muhammadiyah ‘masing-masing memiliki karakter dan pesona’. Generasi Muhammadiyah kontemporer memiliki alasan masing-masing ‘mengapa mereka terpesona, bergabung, dan menjadi penggerak Perserikatan Muhammadiyah.

Maka, seperti dicatat Hajriyanto, “Menjadi Muhammadiyah/Becoming Muhammadiyah menandai sebuah proses panjang dan kadang berliku. Ia merupakan ‘kata kerja’ yang selalu bergerak melalui ‘jeram’ dan ‘zaman’, ‘saat’, dan ‘tempat’, ‘puak’ dan ‘lapak’. Karena itulah, proses ‘menjadi’ tidak bisa dihukumi secara final sebagai sebuah ‘benda mati’ atau hasil akhir”.

Islam Berkemajuan: Moderasi Keagamaan-cum-Islam Wasathiyah

Dengan kian meningkatnya atau masih bertahannya wacana, pemahaman dan praksis Salafi literal, keras dan radikal di Indonesia sampai sekarang ini, bisa tercipta semacam kontestasi internal di dalam tubuh pergerakan. Seperti diisyaratkan di atas, fenomena itu sedikit banyak mempengaruhi paradigma, pemahaman dan kiprah Muhammadiyah secara keseluruhan.

Menghadapi fenomena itu, tidak jarang Muhammadiyah terlihat ‘kagok’ (awkward). Muhammadiyah bukan tidak terlihat amigu menyikapi pemahaman dan gerakan Islam radikal yang berakar pada Kharijisme, Salafisme atau Wahabisme yang kemudian berkecambah dengan segala ramifikasinya.

Karena itu, Muhammadiyah—bersama NU—sering menjadi sasaran kritik lembaga dan aktivis kebhinnekaan, toleransi dan perdamaian yang mereka anggap tidak memberi respon memadai terhadap gejala radikalisme dan intoleransi. Seolah mendengar kritik itu, Muhammadiyah—dan juga NU—belakangan ini bersikap dan bersuara lebih tegas dan jelas (loudly and clearly) terhadap radikalisme dan terorisme semacam ISIS.

Berhadapan dengan dinamika domestik dan internasional yang tidak kondusif, berkembang wacana di dalam Muhammadiyah tentang corak dan karakter dasar ormas ini. Pertama-tama Muhammadiyah jelas merupakan pengikut Ahlus-Sunnah wal Jama’ah dengan pemahaman dan praksis ummatan wasathan atau Islam wasathiyah (al-Qur’an Surah al-Baqarah 2:143).

Walau terminologi dan konsep ini tidak sering dibicarakan di kalangan para pimpinan dan aktivis Muhammadiyah sendiri, jelas Muhammadiyah menganut pemahaman dan praksis Islam wasathiyah—yang dalam literatur kajian Islam internasional disebut ‘justly-balanced Islam’. Dengan pertanda sama, ‘Muhammadiyun’ adalah ‘ummatan wasathan’—umat dengan moderasi keagamaan yang selalu menekankan sikap atau karakter semacam ‘tawasuthtawazunta’adultasamuh dan beberapa lainnya.

Islam wasathiyah yang menjadi arus utama di Indonesia mencakup dua arus utama: pertama, ‘Islam bermajuan’ Muhammadiyah, dan kedua, ‘Islam Nusantara’ Tetapi jelas, Muhammadiyah enggan mengunakan istilah ‘Islam Nusantara’ karena dalam kenyataannya ‘Islam Nusantara’ lebih terasosiasi dengan NU, apalagi jika ditulis dengan Islam NUsantara (N dan U ditulis dengan huruf besar dan bold).

Fenomena ini menggambarkan masih berlanjutnya ‘kontestasi’ antara Muhammadiyah dengan NU. Kontestasi itu dalam soal ‘Islam Nusantara’ itu terkait distingsi yang melekat pada entitas Islam Nusantara itu yang tidak sepenuhnya sesuai dengan paradigma dan praksis Islam Muhammadiyah. Distingsi Islam Nusantara itu memang lebih memiliki banyak afinitas dengan NU daripada Muhammadiyah.

Tetapi penting dicatat, ‘kontestasi’ dan ‘persaingan antara Muhammadiyah dan NU—khususnya dalam pemahaman dan praksis keIslaman—sebenarnya kian terbatas terutama karena terjadinya ‘konvergensi keagamaan’. Perkembangan ini, sejak 1980an menghasilkan terjadinya ‘pertukaran’ dan ‘pertemuan’ di antara pemahaman dan praksis keislaman berbeda yang sebelumnya sangat mewarnai hubungan antara Muhammadiyah dan NU. Kini ‘kontestasi’ lebih banyak terkait soal hisab dan rukyah atau posisi politik dalam pemerintahan—menteri kabinet, direktur jenderal atau direktur di kementerian tertentu.

Di luar itu, dalam isu dan hal politik, Muhammadiyah dan NU berkonvergensi sebagai Islamic-based civil society. Muhammadiyah sebagai CS dalam dasawarsa terakhir, cenderung bernada lebih kritis terhadap pemerintahan SBY-Boediono dan dalam kadar lebih rendah juga kepada pemerintahan Jokowi-JK.

Menghindari istilah ‘Islam wasathiyah’ dan ‘Islam Nusantara’, Muhammadiyah sebaliknya mempopulerkan istilah dan paradigma ‘Islam Berkemajuan’—yang dalam bahasa Inggris dapat disebut sebagai ‘progressive Islam’. Seperti dijelaskan Najib Burhani (Muhammadiyah Berkemajuan, 2016), istilah ini masih belum terlalu memasyarakat bahkan di kalangan Muhammadiyah sendiri. Ia baru diperkenalkan kembali, setelah cukup lama terpendam, dengan terbitnya buku Islam Berkemajuan: Kiai Ahmad Dahlan dalam Catatan Pribadi Kiai Syuja’ (2009).  Istilah ini mulai digunakan dalam Muktamar Muhammadiyah di Yogyakarta (2010) untuk menegaskan karakter Muhammadiyah.

Apakah ‘Islam berkemajuan’ itu? Najib mengungkapkan, Kiai Ahmad Dahlan sering menegaskan pentingnya ‘berkemajuan’; ‘jika ingin menjadi kiai, maka jadilah kiai yang maju’. Selanjutnya, makna berkemajuan adalah dekat dengan ‘selalu berfikir ke depan, visioner, selalu one step ahead (selangkah lebih depan) dari kondisi sekarang. Dalam literatur resmi Muhammadiyah, Indonesia Berkemajuan: Rekonstruksi Kehidupan Kebangsaan yang Bermakna (2014) dinyatakan, makna manusia berkemajuan adalah “manusia yang senantiasa mengikuti ajaran agama dan sejalan dengan kehendak zaman”.

Buku ini juga menyebutkan definisi ‘berkemajuan’ dalam kaitannya dengan negara bangsa Indonesia. Disebutkan “Indonesia Berkemajuan dapat dimaknai sebagai negara utama (al-madinah al-fadhilah), negara berkemakmuran dan berkeadaban (umran), dan negara yang sejahtera. Negara berkemajuan adalah negara yang mendorong terciptanya fungsi kerisalahan dan kerahmatan yang didukung sumber daya manusia cerdas, berkepribadian, dan berkeadaban mulia”

Semua penjelasan ini, tidak memberikan definisi, paradigma, distingsi dan karakter Islam Berkemajuan. Sudah saatnya perlu dirumuskan secara lebih jelas, sehingga dapat menjadi pegangan para pimpinan dan anggota Muhammadiyah.

Boleh jadi, tidak diperlukan definisi pasti, rigid dan kaku mengenai ‘Islam Berkemajuan’. Tanpa definisi pun pimpinan Muhammadiyah sejak dari tingkat nasional sampai lokal memahami apa yang dimaksud dengan ‘Islam berkemajuan.

Singkatnya ‘Islam berkemajuan’ adalah Islam Muhammadiyah—Islam tengahan dengan orientasi kembali kepada al-Qur’an dan hadits dengan menolak bid’ah, khurafat dan takhyul. Dengan paradigma dasar ini, Muhammadiyah menekankan moderasi keagamaan dan moderasi beragama ketika Muhammadiyah melakukan tajdid; dengan menggunakan dakwah, pendidikan, dan penyantunan sosial untuk membawa kaum Muslim kepada Islam yang bersih dari apa yang dulu disebut Muhammadiyah sebagai ‘TBC’.

Moderasi keagamaan dan keberagamaan itu semakin kuat dengan adupsi Muhammadiyah pada paradigma, pemahaman dan praksis modernitas. Bukan berangkat dari kelembagaan tradisional Islam dalam bidang pendidikan, dakwah dan penyantunan sosial, Muhammadiyah secara  berkemajuan atau progresif mengembangkan apa yang penulis sebut sebagai ‘Dutch-based Islamic schooling system and institutions’, ‘modern-based Islamic preaching approaches’ dan ‘modern-based social services’.

Ekspresi ‘Islam Berkemajuan’ dengan moderasi beragama itu juga mengembang ke dalam paradigma, konsep dan praksis pengelolaan amal usaha perserikatan yang terus membesar. Moderasi keberagamaan terlihat dalam perilaku dan gaya hidup para fungsionaris amal usaha Muhammadiyah yang umumnya sederhana—jauh daripada terseret ke dalam gaya hidup materialistik, apalagi hedonistik.

Penutup

Tantangan dan godaan bagi Muhammadiyah untuk bergeser dari ‘Islam berkemajuan’ dan ‘moderasi keagamaan’ itu telah meningkat dalam tiga dasawarsa terakhir. Bisa dipastikan tantangan dan godaan itu tetap terus ada hari ini dan ke depan.

Dinamika politik, ekonomi, sosial, budaya dan keagamaan nasional dan lokal Indonesia yang berkembang kurang atau tidak kondusif bisa membuat gejala sikap keras di kalangan elit Muhammadiyah semakin mengkristal. Boleh jadi pula, kritisisme—untuk tidak menyebut ‘oposisi’ semakin menguat pula.

Wacana dan gerakan Islam transnasional juga sedikit banyak dapat mempengaruhi elemen generasi muda Muhammadiyah. Gejolak-gejolak yang terjadi di negara-negara mayoritas Muslim di Dunia Arab, Timur Tengah, Asia Selatan juga bisa menggoda anak muda Muhammadiyah. Begitu pula aksi kalangan Muslim di Eropa dan Amerika Utara khususnya.

Meskipun demikian, orang tak perlu khawatir, cemas dan pesimis dengan Islam berkemajuan dan moderasi keagamaan Muhammadiyah. Dengan pengalamannya lebih dari satu abad, Muhammadiyah ‘is too big to change its tradition of moderation and progressivism’.

Bahan untuk Seminar Munas Majelis Tarjih, PP Muhammadiyah, 13 Desember 2020. Sumber: JIBPost.id, Ahad, 13 Desember 2020. (mf).