Mudik Virtual dan Edukasi Nilai Silaturrahmi

Mudik Virtual dan Edukasi Nilai Silaturrahmi

Dr Muhbib Abdul Wahab MA, Dosen Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah

Setelah menjalani puasa Ramadhan sebulan penuh, umat Islam di seluruh dunia merayakan Idul Fitri. Perayaan Idul Fitri, pada 1 Syawwal, sejatinya merupakan ekspresi rasa bahagia atas kemenangan melawan hawa nafsu, godaan setan, dan aneka yang membatalkan puasa. Takbir, tahmid, tasbih, dan tahlil (membaca la ilaha illa Allah) yang membahana di malam dan pagi hari Idul Fitri juga merupakan ungkapan rasa syukur kepada Allah SWT atas nikmat, rahmat, dan petunjuk-Nya, terutama nikmat sukses beribadah Ramadhan (QS al-Baqarah [2]: 185).

Ekspresi rasa syukur itu kemudian dimanifestasikan dalam bentuk silaturrahmi dan saling bermaaf-maafan. Demi silaturrahmi, halal bihalal, dan saling bermaaf-maafan, warga masyarakat biasanya melakukan mudik fisikal dari perantauan (kota) ke kampung halaman. Karena alasan pandemi Covid-19 yang masih membahayakan, pulang kampung atau mudik pun dilarang lantaran bisa menjadi mata rantai penyebaran dan transmisi penularan Covid-19, meskipun pusat-pusat perbelanjaan, pesta perkawinan, dan sejumlah acara yang berpotensi menimbulkan kerumunan tetap “ditoleransi”, bahkan dilakukan oleh beberapa pejabat publik.

Pelarangan mudik fisikal tentu tidak harus menghalangi “mudik virtual”, sehingga silaturrahmi atau halal bihalal virtual melalui media sosial (medsos) dan jaringan internet tetap menjadi pilihan bijak dan multifungsi. Bukankah silaturrahmi itu merupakan kebutuhan sosial dan spiritual yang tidak bisa “dilarang”, apapun alasan dan kepentingannya, terutama bersamaan dengan momentum Idul Fitri?

Mudik Virtual sebagai Budaya

Mudik dalam rangka silaturrahmi, temu kangen dengan sanak famili, dan mobilitas sosial ekonomi bukan hanya merupakan bagian integral dari implementasi perintah agama untuk bersilaturrahmi, tetapi juga merupakan fenomena budaya yang unik dan khas Indonesia. Oleh karena itu, mudik virtual di era digital ini menjadi solusi alternatif, pengganti mudik fisikal. Sebagai budaya bangsa yang mengutamakan rasa kekeluargaan dan keindonesiaan, mudik virtual dapat dijadikan strategi kebudayaan dalam rangka membingkai tali persaudaraan dan persatuan bangsa.

Dengan kata lain, mudik virtual merupakan aktualisasi silaturrahmi lintas batas, dengan beberapa argumen. Pertama, silaturrahmi virtual menjadi momentum nasional untuk merajut dan merekatkan tali kekerabatan dan persaudaraan dengan keluarga, sanak famili, dan persahabatan yang berbiaya relatif murah meriah, tanpa harus mengeluarkan dana untuk transportasi, akamodasi, konsumsi, dan sebagainya, meskipun silaturrahmi “luring” lebih afdal dan lebih membahagiakan.

Kedua, mudik virtual dan silaturrahmi berfungsi menjadi instrumen perekat sosial kultural. Warga bangsa dapat meneguhkan rekonsiliasi dan unifikasi sebagai keluarga bangsa. Nuansa lebaran memberikan aura keceriaan, kedamaian, dan kehangatan umat dan bangsa. Dalam suasana Idul Fitri dan silaturrahmi, tensi ketegangan dan perbedaan pandangan dapat diturunkan, bahkan dilupakan.

Oleh karena itu, nilai kesucian momentum Idul Fitri dan silaturrahmi virtual idealnya dapat menumbuhkan kesadaran kekeluargaan, kebersamaan, dan kebangsaan untuk merekatkan persatuan dan kesatuan bangsa dalam bingkai kebinekaan. Terlebih lagi, kita semua sedang “berjihad” menghadapi dan mengatasi pandemi menuju tatanan hidup baru (the new normal), yang mustahil dapat diaktualisasikan tanpa kesadaran publik, disiplin positif, dan kesabaran kolektif untuk mengamalkan protokol kesehatan, terutama jika para pemimpin bangsa ini mampu menunjukkan keteladanan sosial dan moral yang benar-benar terintegrasi antara “kata-kata dan bukti nyata”.

Ketiga, mudik dan silaturrahmi virtual sejatinya merupakan kebutuhan kemanusiaan universal yang perlu dikanalisasi, diberikan saluran komunikasi dan ekspresinya. Karena menurut fitrahnya, manusia memerlukan saluran kebersamaan, keakraban, dan kehangatan untuk saling mengekspresikan diri dan menyayangi sesama. Forum keumatan dan kebangsaan berupa silaturrahmi atau halal bihalal virtual harus menjadi ruang digital terbuka untuk menyegarkan etos kekeluargaan, spirit berbagi, bertoleransi, dan bersinergi bagi semua komponen umat dan bangsa.

Apabila warga bangsa mampu menjaga dan mengembangkan budaya “mudik virtual” dengan spirit keagamaan, kebangsaan, dan kemanusiaan, niscaya umat dan bangsa ini tidak akan mudah kalah dalam melawan arus deras egoisitas, bahaya laten komunisme, materialisme, sekularisme, liberalisme, dan permisivisme. Memaknai dan mengaktualisasikan nilai silaturrahmi dalam konteks mudik virtual menjadi sangat penting dan relevan untuk menjaga marwah kekeluargaan, kebangsaan, dan keumatan yang berbudaya luhur dan mulia.

Edukasi Nilai Silaturrahmi

Salah satu bukti ketakwaan sebagai luaran (outcome)  pendidikan Ramadhan adalah kesalehan autentik. Kesalehan ini meniscayakan terbentuknya sikap mental yang tangguh berupa pengendalian diri dalam menjaga lisan (perkataan), perbuatan, atau kekuasaan untuk tidak menyakiti, menzalimi, menebar hoaks, ujaran kebencian, dan memfitnah orang lain.  Kesalehan autentik setelah Ramadhan yang perlu dipertahankan dan ditingkatkan adalah kesantunan, keakraban, kohesi sosial, dan keberadaban, sebagai satu keluarga besar Indonesia. Dalam konteks ini, Nabi Muhammad SAW menegaskan bahwa "Muslim sejati adalah orang yang lisan dan tangannya (perbutan dan kekuasaannya) dapat membuat orang lain hidup aman, nyaman, selamat, dan sejahtera" (HR. Muslim).

Ajaran silaturrahmi dan saling bermaaf-maafan dalam Islam itu luar biasa indah dan sarat dengan edukasi nilai. Karena silaturrahmi menyadarkan jatidiri kemanusiaan paling asasi, yaitu: hidup damai, harmoni, bersaudara, dan bersatu padu. Edukasi nilai silaturrahmi dapat berfungsi sebagai perekat dan penguat kohesivitas sosial, kerukunan, dan kesatuan bangsa. Karena melalui silaturrahmi, semua warga bangsa belajar mengakui kesalahan dan berjiwa besar untuk saling memaafkan saudaranya. Silaturrahmi bukan sekadar temu-kangen, sambung rasa, dan saling mengunjungi sesama, meskipun dilakukan secara daring. Akan tetapi, yang lebih penting dari semua itu adalah komitmen bersama untuk berjabat tangan, berjabat hati dan pikiran dalam spirit kekeluargaan, kedamaian dan kesatuan sebagai warga bangsa dan umat manusia di dalam rumah besar NKRI.

Edukasi nilai silaturrahmi bertujuan tidak hanya untuk mengembangkan budaya memaafkan dan merekatkan tali kohesivitas sosial, tetapi juga aktualisasi nilai-nilai al-Asma’ al-Husna (nama-nama terbaik Allah) dalam kehidupan sosial. Permohonan maaf kepada Allah yang Maha Pemaaf dan Maha Pengampun selama Ramadhan itu idealnya melahirkan pribadi pemaaf, dermawan, santun, sabar, syukur, dan sebagainya. Karena memberi maaf, berderma, berlaku santun, bersabar, dan bersyukur itu merupakan aktualisasi peneladanan sifat dan nama terbaik Allah SWT.

Hasil riset tentang kekuatan memberi maaf yang diulas dalam buku Forgiveness: The Greatest Healer for All (2006), Gerald G. Jampolsky menunjukkan bahwa kekuatan memaafkan (the power of forgiveness) itu sangat dahsyat. Memaafkan orang lain itu merupakan langkah pertama untuk memaafkan diri sendiri. Ketika memaafkan, iman dan imun pemaaf itu semakin kuat dan semakin sehat. Sebaliknya, ketika tidak memaafkan, apalagi tetap menyimpan rasa dendam, dengki, dan benci, seseorang menyimpan dan membebani kinerja psikologis dengan kebencian, dendam, amarah, dan tekanan jiwa. Memaafkan dapat membebaskan penyakit masa lalu manusia. Dengan kata lain, edukasi nilai silaturrahmi berfungsi liberasi: memerdedakan sang pemaaf dari sifat buruk dan karakter negatif untuk kemudian ditransformasi menjadi sifat baik dan karakter positif.

Oleh karena semua manusia memiliki masa lalu yang perlu dinetralisir, dibersihkan, dan dizerokan dengan kelapangan hati untuk memaafkan atau saling memaafkan, maka silaturrahmi seperti disinyalir Nabi SAW dapat memanjangkan umur (kualitatif) dan memudahkan akses dan terbukanya pintu dan jejaring rezeki (HR Muslim). Memaafkan itu merupakan tanda bahagia karena pribadi pemaaf mempunyai kemurahan hati untuk tetap tersenyum dan berdamai dengan saudaranya yang barangkali pernah menyakitinya. Sedangkan pribadi pemarah, pendendam, dan tidak mau memaafkan itu cenderung menderita, tidak bahagia, dan tidak sejahtera.

Spirit edukasi nilai silaturrahmi tersebut dilandasi pesan mulia Alquran bahwa memaafkan orang lain, menahan diri, tidak meluapkan amarah, dan selalu berbagi kisah kasih, ceria, dan bahagia merupakan ciri sejati hamba bertakwa, produk pendidikan Ramadhan (QS Ali Imran [3]: 133-134). Ciri-ciri kesalehan autentik pribadi bertakwa tersebut diharapkan dapat menggelorakan spirit ihsan (berbuat kebajikan), etos fastabiqul khairat (berkompetisi dalam beraksi kebajikan), dan budaya kesalehan sosial, termasuk kesalehan merajut dan merekatkan kohesivitas sosial umat dan bangsa. Nilai silaturrahmi berupa saling memaafkan itu merupakan penabur benih kasih sayang, perajut hidup harmoni, damai, dan pemerkaya kemurahan hati yang menembus batas dan sekat-sekat kekerdilan jiwa.

Edukasi nilai silaturrahmi pada gilirannya diharapkan dapat menumbuhkan kesadaran kolektif bahwa kekitaan itu harus diutamakan daripada kekamian, apabila keakuan, karena kekamian dan keakuan itu justeru dapat menyebabkan sekat-sekat sosial semakin gawat dan  tidak mencairkan suasana keakraban dan kebersamaan. Padahal, meski berbineka, berbeda-beda, bersuku bangsa, sejatinya kita semua itu bersaudara, bersatu, bersahabat, bersinergi, dan harus berkontribusi dalam menjaga persatuan, membangun peradaban bangsa, dan memajukan negara tercinta, NKRI. Sebagai muslim yang menyadari nilai silaturrahmi, perbedaan dan pluralitas kemanusiaan itu tidaklah menjadi hambatan dan penghalang, tetapi semua itu harus menjadi sarana untuk berkompetisi menjadi hamba-Nya yang paling bertakwa dengan kesalehan autentik tersebut sesuai dengan spirit ayat 13 surat al-Hujurat [49].

Edukasi nilai yang efektif dapat memposisikan silaturrahmi sebagai modal sosial untuk pengembangan shilatul qalbi, sambung rasa dan peneguhan komitmen hati untuk menindaklanjuti silaturrahmi dalam bentuk aksi-aksi kemanusiaan dan keumatan yang bermanfaat. Berbasis kesamaan suara hati, silaturrahmi dapat dikembangkan menjadi shilatul fikri (peneguhan relasi dan ekspresi gagasan, pemikiran, dan ide-ide inovasi) dengan menyatukan visi, memikirkan agenda masa depan umat dan bangsa agar menjadi lebih unggul dan berkemajuan, saling berkolaborasi dan mengisi satu sama lain sesuai kapasitas dan peran masing-masing. Indonesia sebagai Darul Ahdi wa asy-Syahadah (Negeri hasil kesepatan atau penjanjian bersama dan pembuktian/kesaksian kontribusi) harus dijaga dan dimajukan dengan modal sosial tersebut.

Edukasi nilai silaturrahmi idealnya tidak berhenti pada artikulasi gagasan, shilatul fikri, tetapi perlu dibarengi dan dikembangkan menjadi shilatul harakati wal amali (aktualisasi gerakan dan kerja kolektif) dalam rangka mewujudkan tujuan dan cita-cita mulia didirikannya negara bangsa ini. Dengan aktualisasi shilatul harakati wal amali, semua warga bangsa bersatu padu dalam berkontribusi, bukan mengkhianati bangsanya sendiri. Semua pihak tulus berkhidmah untuk memajukan banngsa. Semua tunduk dan patuh kepada kebenaran dan supremasi hukum dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Shilatul harakati wal amali membuat solid dan tegas dalam memberantas penyakit akut bangsa: korupsi, pornografi, pornoaksi, perjudian, peredaran miras, pembalakan hutan secara liar, dan sebagainya menuju pencerahan dan pencerdasan kehidupan bangsa yang unggul, bermartabat, berkemajuan, dan berkeadilan sosial.

Menuju Kohesivitas Sosial

Edukasi nilai silaturrahmi idealnya tidak terbatas pada momentum Idul Fitri. Sebagai modal sosial, nilai-nilai silaturrahmi harus dikembangkan dan diwujudkan terus-menerus dan dalam momentum apapun. Karena edukasi nilai itu tidak dapat dipisahkan dari sistem pendidikan agama maupun sistem pendidikan nasional. Peta jalan pendidikan nasional pun bisa kehilangan orientasi dan “arah kiblat” duniawi dan ukhrawi, jika tidak disinari dan dijiwai nilai-nilai agama. NKRI ini dimerdekakan oleh para pendiri bangsa yang semua beragama; dan menjadikan agama sebagai spirit perjuangan dan proklamasi kemerdekaan. “Berkat Rahmat Allah yang Maha Kuasa” dalam Pembukaan UUD 1945 dan Ketuhanan yang Maha Esa, sila pertama Pancasila menjiwai dan memandu peta jalan kehidupan berbangsa dan bernegara, termasuk peta jalan pendidikan nasional.

Muara edukasi nilai silaturrahmi keumatan dan kebangsaan adalah terwujudnya kohesivitas sosial yang kokoh, tidak rapuh, dan tidak mudah runtuh. Kohesivitas sosial berbasis silaturrahmi kebangsaan harus terus dirawat dan dikembangkan, baik melalui perayaan kebangsaan seperti HUT Kemerdekaan RI maupun momentum sosial keagamaan seperti Idul Fitri. Pesan utama Idul Fitri dapat dijadikan sebagai perekat kohesivitas sosial di tengah pluralitas kebangsaan dan kemanusiaan. Selain ditanamkan melalui proses pendidikan, pelajaran kohesivitas sosial keumatan dan kebangsaan perlu diteladankan oleh para tokoh dan pemimpin bangsa. Warga bangsa memerlukan teladan “kebaikan, keakraban, dan kehangatan”, autentik dari pemimpinnya, bukan pencitraan semu dan basa-basi yang “menyihir” publik.

Selama beribadah di bulan Ramadhan, nilai-nilai kejujuran, kesabaran, kesederhanaan, kedermawanan, kedisiplinan, kebersamaan, kekitaan, dan sebagainya telah diinternalisasi melalui proses menahan diri dari rasa lapar, haus, dahaga dan sebagainya. Spirit berjamaah (bersama, bersatu, berbagi, dan bersinergi): buka bersama/berjamaah, salat berjamah, tadarus berjamaah, iktikaf berjamaah, zakat-infak-sedekah untuk kaum fakir miskin dan mustad’afin, takbir-tahmid-tasbih-tahlil berjamaah, diakhiri dengan shalat Idul Fitri berjamaah dan silaturrahmi menunjukkan bahwa umat dan bangsa ini memiliki modal dan kohesivitas sosial yang kuat untuk terus bersaudara, bersama, dan bersatu dalam menyelesaikan aneka persoalan umat dan bangsa seperti: ketidakadilan sosial, korupsi, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, pandemi Covid-19, dan sebagainya.

Dengan keteladanan autentik para pemimpin bangsa dalam merajut tali silaturahmi, edukasi nilai berbasis agama dan Pancasila dapat menjiwai dan memandu jalan agenda pembangunan dan pemajuan bangsa ke depan, tanpa tercerabut dari jatidiri bangsa Indonesia yang beragama, antikomunisme dan antiateisme. Dalam Min Rawa’i Hadharatina (Di antara Eksotisme Peradaban Kita, 2002) Mushthafa as-Siba’i pernah menegaskan bahwa peradaban umat dan bangsa itu dapat dibangun dan dimajukan apabila semua komponen bangsa memiliki ruang kesadaran kolektif dan keinsafan konstruktif untuk bersatu, bersaudara, berdialog, bersinergi, dan saling berkontribusi. Sebaliknya, pertikaian, perpecahan, pengkhianatan, dan kebencian merupakan benih disintegrasi dan disharmoni umat dan bangsa.

Di tengah pandemi Covid-19 dan pandemi globalisasi kebencian (‘awlamat al-karahiyah) –meminjam istilah Ahmad Thahan (2003), pontensi konflik kepentingan dan kerawanan sosial perlu dideteksi dini dan dikanalisasi melalui berbagai sakuran silaturahmi keumatan dan kebangsaan. Karena itu, gerakan silaturahmi nasional, daring maupun luring, dalam berbagai lapisan sosial menjadi sangat penting dibudayakan.

Ketulusan para pemimpin berjabat dan bergandeng tangan, saling memaafkan dan saling membahagiakan rakyatnya akan menjadi perekat kohesivitas sosial umat dan bangsa. Energi umat dan bangsa akan tersedot habis secara sia-sia apabila para pemimpin dan warga bangsa tidak memiliki kesalehan autentik dalam memberikan kontribusi yang bermanfaat bagi pembangunan bangsa. Jadi, edukasi nilai-nilai silaturrahmi sangat penting dan relevan untuk diaktualisasikan sebagai perekat kohesivitas sosial menuju soliditas kekeluargaan, kebersamaan, kesatuan, kedamaian, kerukunan, dan kehangatan hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Idul Fitri dan silaturrahmi mendidik kita semua untuk mengenyahkan egoisitas sektoral, kepentingan individual dan kelompok demi mengutamakan kepentingan nasional  dan kemanusiaan universal.

Sumber: Majalah Tabligh Edisi No. 5/XIX/Syawal 1442 H/Mei 2021 M. (mf)