Moralitas Mural dan Daulat Rakyat
Ahmad Tholabi Kharlie Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Dalam beberapa pekan terakhir, perbincangan mengenai mural menyeruak ke publik. Sejumlah kreativitas seni itu disoal oleh aparat dan sejumlah pihak. Ada yang menganggap kreativitas itu melanggar ketertiban umum (tibum) yang telah diatur melalui peraturan daerah.
Namun, tak sedikit yang menganggap penyoalan terhadap lukisan di atas dinding lantaran materi yang dianggap bernada kritik. Bahkan, lebih ekstrem menyinggung simbol negara, presiden. Tulisan “404 Not Found” yang berlatar wajah yang diasosiasikan publik mirip wajah Presiden Joko Widodo. Ada juga tulisan “Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit”. Lukisan dengan pesan kritik itu kini telah dihapus. Bahkan, para pelukis di media dinding itu sempat dicari oleh aparat keamanan. Meski belakangan, aparat memastikan tak lagi mencari pelukis di dinding itu.
Percakapan warga Polemik mural yang ramai dibincangkan publik ini dibaca beragam oleh publik khususnya warga internet (internet citizen). Satu poin yang menarik untuk dibaca dari peristiwa ini tak lain terkait dengan ruang percakapan warga negara.
Dinding menjadi medium penyampaian percakapan warga negara. Di sisi yang lain, secara yuridis-normatif, ruang percakapan warga negara dalam persoalan publik tak lain berada di ruang parlemen. Parlemen yang diisi oleh para wakil rakyat, di tataran ideal sebagai rumah rakyat untuk mendialektikakan semua gagasan, tak terkecuali aspirasi yang berisi kritik.
Bukan sebuah kebetulan bila polemik mural ini berdekatan dengan momentum peringatan ulang tahun ke-76 DPR, pada 29 Agustus 2021 yang lalu. Mural telah memberi pesan gugatan atas peran dan fungsi DPR yang telah berusia dua tahun untuk periode masa jabatan 2019-2024 ini. Rakyat atau warga negara, dalam kajian teori ilmu negara di era modern ini, menjadi salah satu unsur konstitutif yang bersifat absolut. Tidak ada rakyat maka tidak ada negara. Derajat dan kedudukan rakyat sama dengan wilayah termasuk pemerintah yang berdaulat dalam konteks lahirnya sebuah negara.
Rakyat dalam sejarah demokrasi juga memiliki posisi penting. Di era Yunani kuno, yang banyak disebut sebagai embrio lahirnya sistem demokrasi, posisi rakyat juga tak kalah terhormat. Di periode ini dibentuk namanya Ecclesia, alun-alun yang difungsikan sebagai ruang untuk berkumpul, berembuk atas masalah yang terjadi di masyarakat. Rakyat menempati posisi yang sangat suprematif.
Dalam praktik politik di Indonesia di era modern ini, rakyat yang lebih dikerucutkan lagi dengan sebutan pemilih, juga tak kalah terhormat. Setidaknya setiap lima tahun sekali, pemilih (rakyat) diburu oleh para calon pengisi jabatan publik melalui pemilihan. Ada percakapan di sana. Ada visi-misi yang diedarkan. Namun, hal tersebut tidak dominan. Justru “nomer piro wani piro” yang lebih mengemuka dan dipercakapkan. Dalam istilah Edward Aspinal & Ward Berenschot (2019) praktik tersebut sebagai politik klientelisme.
Buruknya praktik pemilihan berjalin kelindan dengan performa parlemen yang tidak bisa diandalkan. Sejumlah persoalan yang mengemuka di tengah-tengah masyarakat tak dapat ditangkap dengan baik oleh parlemen. Bila pun muncul tanggapan, sifatnya seremoni yang tak banyak memberi dampak dalam bentuk kebijakan publik yang ajek.
Bisa kita lihat betapa tebalnya tembok parlemen saat publik menyoroti sejumlah rancangan undang-undang (RUU) yang dibahas oleh DPR dan Pemerintah. Sejumlah rancangan undang-undang yang banyak mendapat perhatian publik seperti RUU KPK, RUU Cipta Kerja, dan sejumlah rancangan undang-undang lainnya. Ujungnya, UU yang telah disepakati bersama DPR dan Pemerintah itu digugat di Mahkamah Konstitusi (MK).
Tersumbatnya ruang percakapan antara warga negara dengan negara (DPR dan Presiden) melalui ruang formal seperti di parlemen ini tentu praktik yang tidak dibenarkan. Ruang percakapan itu harusnya senantiasa dirayakan, digelar, dan dikontestasikan untuk melahirkan kebijakan publik yang mencerminkan kebutuhan masyarakat.
Mural yang belakangan mencuat merupakan ruang artikulasi warga negara terhadap objek persoalan yang kini tengah dihadapi. Hal tersebut muncul lantaran ruang percakapan formal yang tersedia tidak difungsikan dengan baik. Fungsi konstitusional parlemen seperti fungsi legislasi, fungsi pengawasan, dan fungsi anggaran hanya berfungsi as usual bussiness saja. Padahal, situasi dan keadaan yang dialami masyarakat saat ini, sedang tidak biasa-biasa saja.
Momentum Peringatan ulang tahun ke-76 DPR mestinya dijadikan titik balik bagi lembaga parlemen untuk mengoperasionalkan fungsi-fungsi yang melekat. Tidak hanya memfungsikan, tetapi parlemen harus lebih proaktif terhadap masalah-masalah yang tengah dihadapi masyarakat. Kuncinya, parlemen kembali memfungsikan sebagai ruang bagi percakapan warga negara dengan negara.
Aspirasi, kritik, dan pelbagai persoalan yang disuarakan rakyat harus ditangkap dengan baik oleh parlemen, tak boleh luput sedikit pun. Apalagi, ruang-ruang publik saat ini kian bermetamorfosis dengan cepat melalui saluran digital. Suara publik yang termanifestasikan melalui ragam platform media sosial harus ditangkap sebagai aspirasi yang muncul dari publik.
Percakapan dan perdebatan warga negara harus dijadikan bahan materiil dalam menjalankan fungsi parlemen. Parlemen sebagai representasi dari rakyat harus mengembalikan esensi kedaulatan rakyat yang selama ini disimplifikasi melalui bilik suara tak kurang dari lima menit itu melalui pemilihan umum. Rakyat berdaulat sepanjang masa, sepanjang republik ini tegak.
Parlemen harus mengambil momentum untuk memperbaiki kinerja dengan baik. Situasi pandemi Covid-19 yang dampak turunannya dirasakan oleh kebanyakan warga ini, semestinya menjadi pemantik untuk memfungsikan peran parlemen yang berdaya jangkau lebih luas dan sistemik melalui produk peraturan perundang-undangan.
Belakangan, kerja parlemen dan partai politik direduksi dengan kerja-kerja teknis-birokratis yang lebih dominan sisi panggungnya ketimbang kerja substantif parlemen. Seperti pembukaan layanan sentra vaksin, pembagian sembako, hingga mengikuti jejak konten kreator dengan mengontenkan persoalan rakyat melalui saluran media sosial. Bukan tak baik, tapi ada pekerjaan yang jauh lebih substansial yang dapat dikerjakan oleh lembaga parlemen dan partai politik.
Peringatan hari lahir parlemen harus dijadikan momentum untuk mengembalikan daulat rakyat secara utuh dan esensial. Mengembalikan kedaulatan rakyat tak lain dengan cara menghangatkan percakapan warga negara dengan negara melalui Parlemen. Rakyat benar-benar difungsikan sebagai pemilik kedaulatan.
Setali tiga uang dengan hal tersebut, Presiden sebagai kepala pemerintahan yang mengendalikan kekuasaan pemerintahan, juga dituntut untuk menghangatkan kembali percakapan warga negara dengan penyelenggara negara melalui penerbitan kebijakan pemerintah yang pro publik. Mural yang belakangan muncul ini sebagai ekspresi rakyat merindukan percakapan antara warga negara dengan negara agar terjalin dengan setara, hangat, dialektik, dan dua arah. Menghidupkan percakapan warga negara dengan negara sama juga memfungsikan daulat rakyat.
DPR dan Presiden dituntut untuk memfungsikan kembali daulat rakyat dalam bentuk kebijakan publik yang yang dipandu oleh konstitusi dan cita-cita para pendiri bangsa. Bukan justru alergi dengan mural dan kritik yang sejatinya merupakan ekspresi rakyat untuk memfungsikan dirinya sebagai unsur penting dalam entitas sebuah negara. (sam/mf)
Artikel ini dimuat di Harian KOMPAS, edisi Jumat, 3 September 2021
Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Ketua Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum se Indonesia, Pengurus Pusat Asosiasi Pengajar HTN-HAN
Hp. 082124953376 Email. abimania@uinjkt.ac.id