Momentum Sumpah Pemuda: Generasi Muda Anti Narkoba

Momentum Sumpah Pemuda: Generasi Muda Anti Narkoba

Prof. Asep Saepudin Jahar, M.A., PhD

Sembilan puluh tujuh tahun lalu, para pemuda Indonesia mengucapkan ikrar bersejarah: satu tanah air, satu bangsa, satu bahasa. Sumpah Pemuda bukan sekadar peristiwa politik melawan penjajahan, melainkan manifestasi moral untuk meneguhkan arah bangsa. Kini, di abad ke-21, bangsa ini menghadapi tantangan yang berbeda bentuk namun serupa substansi: penjajahan baru terhadap jiwa dan akal manusia. Jika pada 1928 para pemuda berjuang memerdekakan bangsa dari kolonialisme, maka hari ini kita dituntut memerdekakan diri dari perbudakan gaya hidup dan candu modern.

Salah satu ancaman paling serius adalah penyalahgunaan narkoba, racun peradaban yang menggerogoti masa depan generasi muda. Data BNN 2025 menunjukkan peningkatan prevalensi pengguna narkoba di Indonesia menjadi 2,8 persen populasi usia produktif (16–35 tahun). Mayoritas pengguna baru berasal dari kalangan pelajar dan mahasiswa. Ini bukan sekadar masalah hukum atau medis; ini adalah krisis moral dan spiritual bangsa. Seperti kata Soekarno, “Bangsa ini besar bukan karena banyaknya penduduk, tetapi karena semangat juang pemudanya.” Pertanyaannya: bagaimana mungkin semangat itu bertahan jika akal dan jiwa pemuda dirusak oleh candu?

Sumpah Baru
Sumpah Pemuda 1928 lahir dari keberanian moral untuk bersatu melawan ketakutan dan penindasan. Kini bangsa ini membutuhkan keberanian spiritual: keberanian untuk menolak segala bentuk perbudakan diri, termasuk narkoba. Penyalahgunaan narkoba adalah simptom sosial, bukan sekadar kelemahan personal. Sosiolog klasik Émile Durkheim dalam Suicide (1897) menyebut kondisi anomie sebagai sumber kehancuran moral masyarakat modern, ketika individu kehilangan makna hidup karena runtuhnya norma sosial. Kondisi serupa kini melanda generasi muda: kebebasan tanpa arah, kemerdekaan tanpa kendali.

Dalam perspektif Islam, keadaan ini disebut ghaflah, kelalaian spiritual yang membuat manusia melupakan Tuhan dan tujuan hidupnya. Mereka mencari pelarian instan dari kegelisahan batin, dan narkoba menjadi pintu semu menuju ketenangan. Padahal, Islam menegaskan bahwa kebahagiaan sejati hanya lahir dari jiwa yang tenang dan terkendali (an-nafs al-muthma’innah).

Budaya Instan
Generasi digital tumbuh dalam kecepatan yang memusingkan. Setiap hari mereka dijejali tuntutan untuk sukses, eksis, dan terlihat bahagia. Di dunia media sosial, ukuran kebahagiaan sering kali disempitkan menjadi likes dan followers, bukan kedalaman makna hidup. Dalam suasana itulah narkoba mudah masuk: sebagai pelarian dari tekanan ekspektasi dan rasa kosong. Budaya instan menawarkan “kebahagiaan kilat” yang sesungguhnya rapuh.

Filsuf Korea Byung-Chul Han dalam The Burnout Society (2015) menyebut manusia modern sebagai makhluk yang kelelahan secara eksistensial, berlari tanpa arah, produktif tanpa jiwa. Mereka kehilangan “waktu hening” untuk mengenali diri sendiri. Islam mengajarkan konsep tawazun, keseimbangan antara kerja dan ibadah, antara tubuh dan ruh. Tanpa keseimbangan itu, kebebasan berubah menjadi kekosongan, dan kemajuan berubah menjadi kehancuran. Hamka dalam Tasawuf Modern (1939) mengingatkan, “Kekayaan jiwa lebih penting daripada kekayaan harta; orang yang kehilangan makna akan mencari racun untuk menipu jiwanya sendiri.”

Dari Hukuman ke Pemulihan
Dalam kebijakan publik, narkoba sering dipandang hanya sebagai masalah kriminal. Padahal, banyak pengguna justru korban lingkungan, keluarga disfungsional, atau trauma psikologis. Pendekatan hukum yang represif kerap memperburuk keadaan, menghukum tanpa menyembuhkan. Dalam hukum Islam, keadilan tidak hanya bermakna menjatuhkan hukuman (‘uqubah), tapi juga memulihkan martabat manusia. Prinsip la dharar wa la dhirār (jangan merusak diri dan jangan merusak orang lain) menjadi dasar etika dalam kebijakan sosial.

Filsuf Michel Foucault dalam Discipline and Punish (1975) menulis bahwa masyarakat modern cenderung menghukum untuk menaklukkan, bukan menyembuhkan. Islam, sebaliknya, menawarkan jalan tazkiyah, penyucian jiwa melalui kesadaran, bukan ketakutan. Kebijakan anti-narkoba yang beradab harus menyeimbangkan antara penegakan hukum dan rehabilitasi spiritual. Program rehabilitasi berbasis iman dan ilmu dapat menjadi model baru: kolaborasi kampus-pesantren dengan BNN untuk konseling rohani; kurikulum anti-narkoba berbasis nilai, bukan sekadar hukum; dan gerakan mahasiswa sebagai agen “rehabilitasi sosial” yang menumbuhkan empati dan solidaritas.

Gerakan Kampus
Kampus dan pesantren memiliki peran vital dalam membangun ekosistem moral baru. Pendidikan tinggi tidak hanya bertugas mencetak sarjana, tapi juga menumbuhkan insan beradab. Krisis narkoba bukan sekadar urusan medis, tetapi urusan makna. Di sinilah konsep tazkiyatun nafs (penyucian diri) menemukan relevansinya. Pemuda harus diajak kembali menyucikan niat, menguatkan makna, dan menghidupkan adab.

Spiritual well-being harus menjadi bagian dari kurikulum perguruan tinggi, bukan sekadar kegiatan tambahan. Pemikir Islam kontemporer Ziauddin Sardar dalam Reforming Modernity (2008) menulis: “Peradaban Islam masa depan hanya bisa dibangun oleh manusia yang bersih dari ketakutan, tapi penuh kesadaran moral.” Gerakan Santri dan Mahasiswa Anti Narkoba harus menjadi jihad moral generasi baru gerakan ilmiah, spiritual, dan sosial sekaligus; lahir dari kesadaran, bukan ketakutan; dari cinta, bukan paksaan.

Kompas Moral
Sumpah Pemuda bukan sekadar kenangan heroik masa lalu. Ia adalah kompas moral yang harus terus diperbarui sesuai zaman. Jika 1928 adalah sumpah untuk menyatukan bangsa, maka 2025 harus menjadi sumpah untuk menyelamatkan jiwa. Kami, pemuda Indonesia, bersumpah menjauhi narkoba, menjaga akal, dan mengabdi bagi kemanusiaan.

Sumpah baru ini bukan sekadar kata-kata, melainkan ikrar peradaban. Rasulullah ﷺ bersabda: “Ada tujuh golongan yang mendapat naungan Allah, salah satunya adalah pemuda yang tumbuh dalam ibadah.” (HR. Bukhari dan Muslim). Menjauhi narkoba bukan hanya kewajiban hukum, tapi ibadah sosial, bentuk nyata dari cinta tanah air. Karena bangsa tidak akan runtuh oleh serangan luar, melainkan oleh keruntuhan moral dari dalam. Dan benteng pertama bangsa adalah jiwa para pemudanya.

Sumpah Pemuda bukan hanya peristiwa sejarah, tapi janji moral lintas zaman. Ketika bangsa ini memperingatinya setiap tahun, semestinya kita tidak hanya mengulang kata “bersatu”, tetapi juga memperbarui tekad untuk menjaga akal dan martabat generasi muda. Karena kemerdekaan sejati bukan hanya bebas dari penjajahan politik, tetapi merdeka dari perbudakan jiwa, candu, dan kehampaan moral. Dan bangsa yang mampu menjaga akalnya dari racun, jiwanya dari kelalaian, serta anak mudanya dari kehancuran,  itulah bangsa yang benar-benar merdeka.

Artikel ini telah dipublikasikan di kolom opini Disway.id, Jumat, 31 Oktober 2025