Misteri dan Kontroversi Tafsir al-Jaylani
Ruang Teater FU, UIN Online – Khazanah tafsir kini diperkaya dengan terbitnya Tafsir al-Jaylani, sebuah karya dari Syekh Abd al-Qodir al-Jaylani. Tafsir tersebut masih langka dan belum pernah dikaji secara komprehensif oleh para peminat kajian tafsir. Lebih jauh lagi, keotentikan tafsir al-Jaylani juga masih menjadi misteri dan kontroversi di kalangan pemerhati biografi para sufi.
Hal itu dikemukakan Pimpinan Pondok Pesantren Melangi, Seleman, Yogyakarta, Irwan Masduqi Lc dalam seminar bertema Memotret Tafsir Al-Jaylani; “Sisi Lain Syekh Abdul Qodir Al-Jaylani†yang diselenggarakan Laboratorium Tafsir Hadis Fakultas Ushuluddin, di Ruang Teater FU, Rabu (31/3).
Menurut Masduqi, ada tiga versi yang menyoal otentisitas tafsir Al-Jaylany. Pertama, mengatakan bahwa Tafsir al-Jaylani adalah karya al-Nakhjuwani yang akrab dengan panggilan Syekh ‘Ilwani yang ada pada kitab Maktabah Tsamilah. Kedua, diwakili oleh Dr Abd al-Razaq al-Kaylani, yang menyatakan bahwa Tafsir karya al-Jaylani judulnya adalah Misk al-Khitam yang terdapat di perpustakaan Tripoli dan India dengan naskah tahun 622 H.
Sedangkan versi ketiga, pendapat lembaga riset Markaz al-Jaylani Li al-Buhuts al-Ilmiyah, Istanbul Turki yang meyakini Tafsir al-Jaylani benar-benar karya otentik Abd al-Qodir al-Jaylani. Lebih lanjut lagi pendapat ini menegaskan bahwa pernah terdapat tafsir dengan tulisan tangan Abd al-Qodir al-Jaylani di perpustakaan Qodariyah Baghdad, namun naskah itu hilang dan ditemukan lagi di Syam kemudian hilang untuk kedua kalinya. Maka dari vesi ketiga inilah keotentikan Tafsir al-Jaylani berotoritatif pada Syekh Abd al-Qodir al-Jaylani.
“Meskipun masih ada perdebatan dalam otoritatif Tafsir al-Jaylani, namun banyak yang sependapat dengan versi ketiga tadi, bahwa tafsir tersebut benar merupakan karya Abd al-Qodir al-Jaylani. Namun secara pribadi, jika terus diteliti masih ada kerancuan terkait dengan biorafinya,†ujarnya.
Masduqi melanjutkan, dalam sejarah diketahui, al-Jaylani hidup di tengah-tengah masyarakat yang kondisi sosialnya mengalami krisis multidimensional. Dalam percaturan politik, ia menyaksikan sistem pemerintahan teokratis yang tak segan-segan mempolitisasi agama demi memenuhi ambisi merebut simpati, dan rakyat hanya terbebani.
Dalam ranah agama, al-Jaylani hidup ditengah masyarakat yang kehilangan dimensi spirit religiusitas, agama hanya formalitas belaka yang tak memiliki ruh, beribadah namun setelah usai melakukan aktifitas ritual, kembali melakukan korupsi dan tindakan – tindakan kedzaliman. Dari kondisi sosio-kultural inilah yang menjadi pelecut baginya untuk membangun visi dan misi dakwah yang berorientasi ke masa depan yang lebih bermoral.
“Dalam kondisi semacam inilah al-Jaylani menulis karyanya Tafsir al-Jaylani, sebuah tafsir sufistik untuk membenahi tatanan masyarakat, dan dengan background sosio-kulturannya tafsir al-Jaylani hadir demi tujuan kritik sosial. Hal ini berlaku jika memang benar tafsir tersebut benar-benar karya al-Jaylani,†katanya.
Tafsir al-Jaylani yang judul lengkapnya adalah al-Fawatih al-Ilahiyah wa al-Mafatih al-Ghaybiyyah al-Muwadhdaiah li al-Kalim al-Quraniyah wa al-Hikam al-Furqaniyah (Penyingkapan-penyingkapan Ilahi dan Kunci-kunci Ghaib yang Menjelaskan Kalam-kalam al-Quran dan Hikmah-hikmah Kitab Pembeda antara benar dan Salah) ini, bangunan pemikirannya merujuk pada tafsir dengan pendekatan sufistik (tasawuf dan fiqh). Al-jaylani hidup bersama kaum Hambali yang membenci “filsafatâ€, karena cenderung rasional-spekulatif. [] Abdullah Suntani