Milad UIN Jakarta Ke-58 dan Strategi Menghadapi MEA
Selamat ulang tahun Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta yang ke-58! Semoga dalam usia yang tidak lagi muda, UIN Jakarta menjadi semakin matang, dewasa, dan terus dipercaya oleh masyarakat. Selain penyerapan alumni dalam berbagai sektor kehidupan kegamaan, pendidikan, hukum, ekonomi dan berbagai profesi yang –baru-baru ini turut– disiapkan UIN Jakarta seperti profesi dokter, ners, dan apoteker, bentuk kepercayaan masyarakat yang kita harapkan adalah terus tumbuhnya penerimaan mereka atas produk-produk teori dan pemikiran yang lahir dari berbagai kajian dan penelitian para dosennya.
Di usianya yang ke-58 tahun, sejarah kehadiran UIN Jakarta kini tidak lepas dari Akademi Dinas Ilmu Agama (ADIA) yang berdiri pada 1 Juni 1957. Pada saat itu, lembaga pendidikan tinggi Islam Indonesia ini didesain dengan tujuan yang belum terlalu luas, tidak lebih sebagai lembaga pendidikan kedinasan untuk memenuhi kebutuhan tenaga guru Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah, hakim agama di Pengadilan Agama (PA) dan Pengadilan Tinggi Agama (PTA), atau imam tentara baik angkatan darat, laut, maupun udara.
Namun dinamika kebutuhan atas peran ADIA terus berkembang. Sejumlah kementerian/lembaga pemerintah seperti Kementerian Penerangan, Kementerian Luar Negeri, Kejaksaan Agung, dan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) turut mencatatkan kebutuhan akan tenaga-tenaga ahli keagamaan. Bahkan, institusi di luar pemerintahan/swasta, termasuk lembaga bisnis dan keuangan seperti perbankan dan asuransi juga merasakan kebutuhan yang sama. Perkembangan ini pada akhirnya ‘ditangkap’ Kementerian Agama yang kemudian mentransformasi ADIA menjadi Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Syarif Hidayatullah Jakarta di era 1960-an.
Dan, kebutuhan akan peran IAIN Syarif Hidayatullah juga terus berkembang. Di awal 1980-an, misalnya, Fakultas Tarbiyah membuka program Tadris. Hakikatnya, program ini merupakan program studi (prodi) umum dalam mencetak guru-guru mata pelajaran Matematika, Ilmu Pengetahuan Sosial, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, dan Ilmu Pengetahuan Alam dengan tiga cabang keilmuannya, yaitu Biologi, Fisika, dan Kimia. Di IAIN, pengembangan program Tadris sejatinya dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan guru-guru mata pelajaran umum di berbagai madrasah yang Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tidak mampu memenuhi kebutuhan tersebut mengingat besarnya beban kebutuhan internal dalam memenuhi kebutuhan guru di tingkat SMP, SMA, dan SMK.
Pembukaan program Tadris ini sejalan dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga Menteri tahun 1974. Ketiga menteri penandatangan SKB itu adalah Menteri Agama Prof Dr Mukti Ali, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Letnan Jenderal TNI Dr Teuku Syarif Thayeb, dan Menteri Dalam Negeri Jenderal TNI Purn Amir Machmud.
Pada akhirnya, pengembangan program Tadris ini memberikan pengalaman berharga bagi IAIN Syarif Hidayatullah Jakarta dalam mengelola dan mengembangkan ilmu-ilmu umum. Hal ini menjadi modal dan kekuatan penting IAIN dalam memperluas kewenangan institusional yang menemu puncaknya di awal dekade pertama abad ke-21 dengan bertransformasinya IAIN menjadi UIN pada tanggal 20 Mei 2002 yang disyahkan Keputusan Presiden RI Nomor 031 tentang perubahan tersebut.
Transformasi dari IAIN menjadi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ditandai dengan pembukaan tiga fakultas umum, yaitu Fakultas Psikologi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB, semula Fakultas Ekonomi dan Ilmu Sosial/FEIS), dan Fakultas Sains dan Teknologi. Belakangan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta juga membuka Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan (FKIK) dan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Khusus FKIK merupakan fakultas pertama yang dibuka di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN).
Namun perjalanan UIN Jakarta dengan proses transformasi dari ADIA-IAIN-UIN atau pembukaan prodi-prodi umum belum berakhir. Kini, UIN Jakarta dihadapkan pada tantangan untuk membuktikan kapasitasnya kepada masyarakat pasca perluasan kewenangan dan kompetensinya. Apakah UIN Jakarta juga mampu melahirkan lulusan yang memiliki kompetensi akademik terbaik seperti halnya Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada atau perguruan tinggi umum lain yang memiliki reputasi di Indonesia?
Salah satu tantangan terdekat yang menjadi ajang pembuktian kapasitas UIN Jakarta adalah implementasi Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Diketahui, 10 pimpinan negara-negara ASEAN sepakat, terhitung mulai November 2015, seluruh negara ASEAN menjadi single market bagi tenaga profesional Indonesia, Malaysia, Singapore, Philiphina, Thailand, Brunei Darussalam, Myanmar, Kamboja, Vietnam, Laos. Para profesional nantinya memiliki kebebasan untuk keluar masuk di antara sepuluh negara tersebut dan bekerja dalam sektor jasa sesuai minat dan keahlian mereka.
Dalam konteks ini, jawaban paling layak atas tantangan yang harus ditampilkan UIN Jakarta adalah mencetak sarjana alumni yang betul-betul siap masuk dan berkompetisi sebagai profesional ahli. Apakah mereka bisa masuk sebagai lawyer, ners, ekonom, peneliti, atau pun dosen, dengan harapan mereka diterima pasar sebagai profesional dengan kedalaman pengetahuan dan keahlian. Untuk itu, setidaknya terdapat tiga kebijakan yang tengah dipersiapkan UIN Jakarta menghadapi MEA 2015 dengan harapan para mahasiswa memiliki kesiapan memasuki era pasar tunggal tersebut.
Pertama, Pendidikan. UIN Jakarta menyiapkan program pendidikan sarjana (Strata 1) yang linkage dengan kebutuhan pasar tenaga kerja, baik lokal maupun regional. Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK), misalnya. Selain menyiapkan guru profesional untuk mengajar di sekolah dan madrasah di Indonesia, FITK juga dituntut menyiapkan guru yang mampu mengajar sekolah di sepuluh negara ASEAN lain. Tidak hanya menguasai bahan ajar, para guru lulusan FITK juga harus menguasai proses penyiapan skenario pembelajaran dan pengelolaan kelas, dan yang paling penting adalah penggunaan bahasa pengantar untuk sains yang akan mereka ajarkan. Demikian pula dengan lawyer, psikolog, apoteker, dokter, ners dan lainnya.
Khusus untuk mahasiswa di prodi yang tidak memiliki captive market, kita dorong mereka untuk memiliki sertifikat profesi dalam bidang yang mereka minati, baik profesi yang inheren dengan kompetensi maupun di luar kompetensi prodinya. Sarjana Perbandingan Agama, misalnya, selain memiliki keahlian di bidang resolusi konflik, diharapkan mereka memiliki keahlian seperti tenaga marketing. Untuk itu, yang bersangkutan harus mengambil keahlian pemasaran dan lulus ujian sertifikasi profesi.
Kedua, bahasa. Kemampuan berkomunikasi dengan bahasa Inggris sebagai bahasa yang digunakan di sepuluh negara ASEAN menjadi prasyarat penting yang harus dikuasai. Adalah tidak mungkin seorang sarjana UIN Jakarta diterima bekerja di salah satu perusahaan di Vietnam bila tidak mampu berkomunikasi dengan bahasa Inggris. Oleh sebab itu, penguasaan aktif Bahasa Inggris menjadi suatu keharusan bagi seluruh mahasiswa UIN Jakarta agar mampu memasuki pasar ASEAN.
Namun sangat tidak fair rasanya bila ikhtiar peningkatan kemampuan berbahasa Inggris aktif sepenuhnya dibebankan kepada mahasiswa tanpa ada peran dari dosen dan prodi. Untuk itu, program layanan bilingual antara bahasa Indonesia dengan bahasa Ingris, atau bahasa Indonesia dengan bahasa Arab harus digerakkan, diprogramkan, dan dikontrol oleh ketua prodi, dekan, dan rektor melalui para wakil rektornya.
Ketiga, budaya kerja. Suatu bangsa dihargai karena budaya kerjanya. Jepang dengan sejumlah filosofi kerja, seperti Bushihido, Keizen, Makoto, dan berbagai filosofi lainnya yang luar biasa telah menghantarkan negara ini menjadi raksasa ekonomi dan disegani di dunia. Tidak hanya itu, masyarakat Jepang juga memiliki filosofi yang sangat kaya tentang bekerja. Salah satunya adalah 5S yaitu Seiri, Seiton, Seiso, Seiketsu, dan Shitsuke. Kelima kata itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi 5R Ringkas, Rapi, Resik, Rawat, dan Rajin. Banyak perusahaan sudah mengadopsi budaya kerja 5R ini. Secara tidak disadari, 5R akan membentuk suatu budaya kerja yang sangat bermanfaat untuk meningkatkan citra sebuah institusi, baik institusi perusahaan jasa, maupun institusi layanan publik.
Terkait budaya kerja ini, para mahasiswa harus dibiasakan menjadi pekerja keras, misalnya dengan membiasakan bekerja 37.5-40 jam per minggu. Sebagai mahasiswa, tentu pekerjaan utamanya adalah belajar. Untuk itu, para mahasiswa harus terbiasa belajar 40 jam per minggu. Untuk belajar 40 jam per minggu, mahasiswa setidaknya harus belajar sebanyak 8 jam per hari selama 5 hari per minggu. Siklus pekerjaannya, tatap muka dengan dosen dalam perkuliahan di kelas, belajar mandiri yang terstruktur dengan melaksakan tugas-tugas dari dosen, dan belajar mandiri di luar tugas-tugas terstruktur.
Begitu juga dengan para dosen. Bekerjalah sekurangnya 40 jam per minggu. Selain melaksanakan tugas tatap muka bersama mahasiswa di kelas, jumlah jam kerja 40 jam per minggu ini juga harus diisi dengan kegiatan penelitian dan pengabdian pada masyarakat. Selain karena tugasnya meneliti dan mengabdikan diri kepada masyarakat, penelitian dan pengabdian merupakan proses penting bagi mereka untuk memvalidasi atas teori yang dipelajari dan dihasilkannya melalui berbagai penelitiannya.
Wallaahu a’lam bi al-shawab