Metodologi Tanbihul Ghafilin
Oleh: Syamsul Yakin Dosen Magister KPI FIDKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Tanbihul Ghafilin boleh dikata sebagai magnum opus Abu Laits al-Samarqandi. Kitab ini diperkirakan ditulis pada abad keempat Hijriah. Abu Laits sendiri disebut-sebut wafat pada 373 Hijriah. Nama al-Samarqandi, di dalam literasi kitab kuning ada dua. Satunya lagi adalah Abu Hafsh Umar al-Naisaburi yang masyhur dipanggil al-Samarqandi.
Berbeda dengan al-Samarqandi pengarang Tanbihul Ghafilin, al-Samarqandi yang hidup sekitar tahun 840 Hijriah ini mengarang buku al-Nail al-Hatsits fi Hikayat al-Hadits. Baik Tanbihul Ghafilin maupun al-Nail al-Hatsits fi Hikayat al-Hadits adalah dua karya bergenre tasawuf dan sama-sama berbasis hadits Nabi SAW pada setiap bahasan. Kesamaan penyebutan ini seperti Syaikh Nawawi dan Imam Nawawi. Keduanya berbeda. Syaikh Nawawi adalah ulama Indonesia yang banyak menulis syarah atau komentar, seperti Nashaihul Ibad. Beliau wafat pada 1314 Hijriah. Sementara Imam Nawawi adalah pengarang Riyadush Shalihin asal Damaskus yang wafat pada 676 Hijriah Seperti umumnya kitab kuning, Tanbihul Ghafilin dibuka dengan basmalah, hamdalah dan shalawat untuk Nabi SAW. Secara filosofis, basmalah dimaknai sebagai permohonan izin pengarang untuk menulis kitab. Sementara pujian dan shalawat yang berbeda-beda dalam setiap karya ulama menunjukkan rasa syukur pengarang kepada Allah SWT. Abu Laits, misalnya, membuka pujian dengan menyebut Allah SWT sebagai pemberi hidayah melalui al-Qur’an. Berbeda dengan al-Zarnuji (wafat 840 Hijriah), pengarang Taklim al-Muta’allim, ia memuji Allah SWT karena telah memberi keutamaan kepada manusia dengan ilmu dan amal. Andai ada seratus kitab, akan ada seratus mukadimah berbeda. Seperti halnya al-Zarnuji yang menguraikan latar belakang ditulisnya Taklim al-Muta’allim karena para santri dianggap keliru dalam menempuh metode belajar, Abu Laits juga memberi alasan ihwal ditulisnya Tanbihul Ghafilin. Salah satunya adalah sebagai tanggung jawab moral Abu Laits yang telah diberi ilmu dan hikmah oleh Allah SWT. Tanbihul Ghafilin, seperti halnya kitab kuning yang lain, masih ada yang dicetak sebelum ditakhrij dan ditahqiq. Kitab yang sudah ditakhrij biasanya ditunjukkan kitab induk hadits, seperti karya Imam Bukhari (wafat 256 Hijriah). Kitab yang sudah ditahqiq biasanya sudah diperiksa secara seksama oleh muhaqqiq terkait status hadits dan otentisitas naskah.Berbeda dengan karya dalam bahasa Indonesia dan Inggris yang menampilkan daftar isi di awal buku, umumnya kitab kuning meletakkan daftar isi pada halaman akhir kitab tersebut. Hal itu terlihat pada kitab Tanbihul Ghafilin, al-Nail al-Hatsits fi Hikayat al-Hadits, Taklim al-Muta’allim, dan ribuan kitab kecil dan besar lainnya.
Selanjutnya, bab demi bab yang disajikan dalam Tanbihul Ghafilin bersifat tematik. Bab pertama tentang ikhlas hingga bab terakhir tentang doa dan tasbih diformulasikan secara konsisten oleh Abu Laits dengan mengutip hadits terkait dengan tema bab tersebut. Hanya saja, Abu Laits tidak menyebut kitab induk hadits yang dikutipnya.
Seperti halnya Imam al-Ghazali (wafat 505 Hijriah) ketika menulis Ihya Ulumuddin, seperti itu pula yang dilakukan Abu Laits dalam menulis Tanbihul Ghafilin. Dalam tradisi ilmiah, hal itu dilakukan untuk menyisakan kajian bagi ulama peneliti selanjutnya, baik bagi pentakhrij maupun muhaqqiq. Tradisi seperti ini sudah berlangsung lama. Terakhir, dan ini sangat menarik, Tanbihul Ghafilin seperti juga Taklim Muta’allim yang secar serius dipelajari di berbagai pesantren di Indoensia yang bermazhab Syafi’i, ternyata Abu Laits dan al-Zarnuji bermazhab Hanafi. Namun tidak ada satu pun kiyai di pesantren yang melarang mempelajari kedua kitab tersebut.(sam/mf)