Merindukan Pemimpin Advokatif
Dr Muhbib Abdul Wahab MAg, Dosen Pascasarjana Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Alkisah, pada suatu hari, seorang warga Mesir datang ke Madinah untuk menemui Amirul Mukminin, Umar ibn al-Khattab. Di hadapan Sang Khalifah, orang itu mengadukan Gubenurnya, 'Amr ibn Al-'Ash. ”Saya dizhalimi," wahai Amirul Mukminin. "Perlakuan zhalim seperti apa yang engkau alami?" tanya Umar bin al-Khattab kepada warganya itu.
"Saya mengikuti lomba pacuan kuda. Kuda saya berhasil mendahului kuda yang ditunggangi putra 'Amr bin al-'Ash. Ia kesal dan marah karena kudanya aku balap dan aku kalahkan. Ia turun dari kudanya, lalu memukuliku di hadapan para penonton. Sang Gubernur juga memukuli saya, dan tidak seorang pun membela saya." Anak gubernur itu bahkan menyatakan: "Kenapa engkau berani membalap dan mendahului kudaku. Tidakkah engkau tahu, aku adalah anak orang terhormat di negeri Mesir ini!"
Mendengar pengaduan rakyatnya, Umar lalu menemui anak sang gubernur, Muhammad ibn 'Amr bin Al-'Ash dan memberikan balasan setimpal berupa pukulan seperti yang dialami oleh warganya tersebut. Umar kemudian "menyentil" Sang Gubernur, 'Amir bin al-'Ash: "Sejak kapan engkau memperbudak rakyatmu, sementara mereka dilahirkan oleh ibu mereka dalam keadaan merdeka?!"
Kisah tersebut menunjukkan kepedulian, keadilan, dan advokasi sang khalifah (pemimpin) terhadap keluhan dan ketidakadilan yang dialami warganya. Pemimpin advokatif seperti Umar ibn al-Khattab tidak hanya mau mendengar keluhan warganya, tetapi juga responsif dalam membela hak-hak rakyatnya dari segala bentuk ketidakadilan, penindasan, perlakukan tidak menyenangkan, dan perendahan harkat dan martabatnya.
Pemimpin advokatif selalu hadir untuk melayani rakyatnya. Pemimpin advokatif tidak hanya peduli, responsif, dan membela kebenaran, tetapi juga menomorsatukan pemenuhan hak-hak rakyatnya dan kemaslahatan bersama, daripada kepentingan pribadi atau keluarganya.
Advokasi yang diberikan oleh pemimpin kepada rakyatnya dapat memberikan rasa aman, nyaman, damai, dan tenteram. Advokasi sangat diperlukan ketika rakyat mengalami penindasan, perampasan, dan perlakuan tidak adil dan tidak menyenangkan dari kelompok tertentu yang yang memiliki pengaruh dan daya tekan yang kuat.
Teladan advokasi terhadap kebenaran hukum pernah ditunjukkan oleh Rasulullah SAW ketika ada seorang perempuan melakukan pencurian. Dia berasal dari keluarga terhormat dan disegani dari Bani Makhzum, salah satu suku Quraish paling berpengaruh, selain Bani Hasyim dan Bani Umayah. Dia terancam hukuman potong tangan, sebuah sanksi hukum yang berlaku saat itu. Akan tetapi, kaum dan keluarga perempuan itu merasa keberatan.
Oleh sebab itu, mereka melakukan berbagai upaya, termasuk lobi, untuk memberi ampunan terhadap perempuan itu dan membatalkan hukuman potong tangan. Mereka kemudian menemui Usamah bin Zaid, seorang sahabat yang dekat dan dicintai Rasulullah SAW. Mereka memohon kepada Usamah untuk menghadap beliau dan menyampaikan maksud mereka.
Usamah pun bergegas menemui Rasulullah dan menyampaikan keinginan keluarga perempuan yang melakukan pencurian itu. Setelah mendengarakan permintaan itu, Rasulullah pun terlihat marah, lalu berkata, “Apakah kau meminta keringanan atas hukum yang ditetapkan Allah?”
Kemudian, beliau berdiri dan menyampaikan khotbah di hadapan kaum muslimin hingga menegaskan: “Sesungguhnya yang telah membinasakan umat sebelum kalian adalah jika ada orang terhormat dan mulia di antara mereka mencuri, mereka tidak menghukumnya. Sebaliknya jika orang rendahan yang mencuri, mereka tegakkan hukuman terhadapnya. Demi Allah, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, niscaya aku sendirilah yang akan memotong tangannya!” (HR al-Bukhari dan Muslim).
Rasululullah sama sekali tidak mau dilobi apalagi dibeli dengan “gratifikasi” dalam membela kebenaran hukum, karena hukum itu harus ditegakkan dengan benar dan adil. Maka itu, tidak ada yang berubah pada ketetapan Allah dan Rasul-Nya. Perempuan yang mencuri dari keluarga terhormat itu tetap harus menjalani hukuman potong tangan. Aisyah Ra menuturkan, “Perempuan itu kemudian bertobat, memperbagus tobatnya, dan menikah. Ia pernah datang dan menyampaikan hajatnya kepada Rasulullah.”
Dengan demikian, pemimpin advokatif itu tampil membela kebenaran dan keadilan, bukan melayani kepentingan kelompok tertentu yang “memperjualbelikan hukum”. Kita semua pasti merindukan pemimpin advokatif yang jujur, adil, bijak, dan melayani kepentingan dan kemaslahatan rakyatnya tanpa pilih kasih dalam penegakan hukum. Yang bersalah melawan hukum harus dihukum; sedangkan yang benar dan berbuat baik harus dibela dan diperlakukan secara adil dan bijaksana.
Sumber: republika.id., Senin, 5 September 2022.