Merespons Rencana Perda tentang Lima Hari Sekolah
Dr. Suwendi MA
Diberitakan di sejumlah media, Pemerintah Kota Padang, Sumatra Barat akan memberlakukan kebijakan dengan mengeluarkan Peraturan Daerah tentang Lima Hari Sekolah atau Full Day School. Rencana kebijakan ini akan mengatur seluruh sekolah di wilayah kota Padang berlangsung selama lima hari dalam sepekan, dengan aktivitas rata-rata mulai pagi hingga sore hari.
Di antara alasan rencana kebijakan ini adalah untuk menguatkan pendidikan karakter dengan pelaksanaan shalat Zhuhur dan Ashar, menyelaraskan jam pulang kerja dan hari libur dengan orang tua yang bekerja, dan lain-lain.
Rencana kebijakan ini segera mengingatkan kembali memori kita terhadap kegaduhan, resistensi, dan penolakan masyarakat di berbagai daerah, pasca terbitnya Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah yang ditandatangani pada 12 Juni 2017. Permendikbud ini secara substantif bermuatan sama seperti halnya dengan rencana kebijakan Lima Hari Sekolah atau fullday school itu.
Sejumlah elemen masyarakat, organisasi pendidikan, dan berbagai organisasi masyarakat keagamaan “turun gunung” untuk melerai kegaduhan atas kebijakan lima hari sekolah itu. Pasalnya, kebijakan lima hari sekolah itu akan berdampak terhadap terganggunya penyelenggaraan pendidikan keagamaan Islam, terutama Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT), Pendidikan Alquran seperti TKA (Taman Kanak-Kanak Alquran), TPA (Taman Pendidikan Alquran), dan TQA (Ta’limul Quran lil-Awlad), serta kegiatan kajian kitab bagi para siswa yang mondok di pesantren.
Jika siswa sekolah dilakukan kebijakan pulang sore hari, maka tentu sudah tidak ada porsi waktu yang cukup bagi pelaksanaan layanan pendidikan keagamaan Islam tersebut.
Dalam pengamatan penulis berdasarkan data EMIS Kementerian Agama saat tahun 2017 itu, kebijakan lima hari sekolah secara nasional akan mengganggu terhadap pelaksanaan 225.330 lembaga (lembaga: 13.904 pondok pesantren, 76.566 madrasah diniyah takmiliyah, dan 134.860 pendidikan Alquran), 16.558.474 santri (santri: 3.201.582 santri pondok pesantren, 6.000.062 santri madrasah diniyah takmiliyah, dan 7.356.830 santri pendidikan Alquran), dan 1.386.426 ustaz (santri: 322.328 ustaz di pondok pesantren, 443.842 ustaz madrasah diniyah takmiliyah, dan 620.256 ustaz pendidikan Alquran).
Padahal, secara substantif lembaga-lembaga pendidikan keagamaan Islam ini telah berkontribusi besar dalam penanaman pendidikan karakter, penguatan pendidikan keislaman, dan pengokohan terhadap komitmen kebangsaan. Bahkan, lembaga-lembaga ini telah hadir di Bumi Pertiwi jauh sebelum negara Indonesia ini terbentuk.
Atas kegaduhan itu, dengan masukan dan kesepakatan berbagai pihak, Presiden Republik Indonesia mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 87 Tahun 2017 tentang Penguatan Pendidikan Karakter yang ditandatangani tanggal 6 September 2017 dengan Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 195, yang secara substantif menganulir Permendikbud Nomor 23 Tahun 2017 tentang Hari Sekolah tersebut.
Terdapat beberapa substansi dalam Perpres itu. Pertama, penguatan pendidikan karakter harus melibatkan sejumlah layanan pendidikan, baik formal, nonformal, maupun informal. Pendidikan karakter ini tidak akan dapat tercapai hanya semata-mata oleh layanan pendidikan formal.
Sebab, pendidikan karakter perlu melibatkan semua pihak, termasuk masyarakat dan orang tua. Demikian dengan pendidikan karakter, tidak hanya dibatasi dalam durasi lima hari dalam seminggu, tetapi di manapun serta kapanpun pendidikan karakter akan tetap berlangsung.
Untuk itu, kebijakan lima hari sekolah sama sekali tidak dapat dipaksanakan sebagai representasi pendidikan karakter, bahkan justeru akan mematikan layanan pendidikan keagamaan lain yang telah nyata-nyata berkontribusi besar dalam penguatan pendidikan karakter tersebut.
Oleh karenanya, Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah harus memberikan ruang gerak yang cukup atas pelaksanaan layanan pendidikan baik pendidikan formal, nonformal, maupun informal.
Kedua, Perpres Nomor 87 Tahun 2017 pada Pasal 9 mengamanatkan bahwa penentuan lima atau enam hari sekolah itu bukan ditentukan atau menjadi kebijakan Pemerintah, termasuk Pemerintah Daerah, tetapi ditentukan oleh satuan pendidikan itu sendiri, dengan mempertimbangkan berbagai hal.
Di antaranya kecukupan pendidik dan tenaga kependidikan, ketersediaan sarana dan prasarana, kearifan lokal, dan pendapat tokoh masyarakat dan/atau tokoh agama di luar komite sekolah/madrasah.
Untuk lebih jelas, berikut dikutip teks Pasal 9 ayat (2) dan ayat (3) Perpres tersebut. Ayat (2): “Ketentuan hari sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diserahkan pada masing-masing Satuan Pendidikan bersama-sama dengan Komite Sekolah/ Madrasah dan dilaporkan kepada Pemerintah Daerah atau kantor kementerian yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang agama setempat sesuai dengan kewenangan masing-masing.”
Ayat (3): “Dalam menetapkan 5 (lima) hari sekolah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Satuan Pendidikan dan Komite Sekolah/ Madrasah mempertimbangkan: a. kecukupan pendidik dan tenaga kependidikan; b. ketersediaan sarana dan prasarana; c. kearifan lokal; dan d. pendapat tokoh masyarakat dan/atau tokoh agama di luar Komite Sekolah/Madrasah”.
Ketiga, pelaksanaan lima hari sekolah hanya dapat dilanjutkan oleh satuan pendidikan yang memang melaksanakan penguatan pendidikan karakter lima hari dalam satu minggu itu telah berlangsung sebelum lahirnya Perpres ini.
Hal ini diatur dalam Bab V Ketentuan Peralihan Pasal 16 ayat (2) yang menyebutkan bahwa “Satuan Pendidikan Formal yang telah melaksanakan Penguatan Pendidikan Karakter melalui 5 (lima) hari sekolah yang telah ada sebelum berlakunya Peraturan Presiden ini masih tetap berlangsung”.
Perpres Nomor 87 Tahun 2017 ini merupakan solusi terbaik untuk menegaskan penguatan pendidikan karakter diselenggarakan oleh berbagai pihak pemangku kebijakan dan penyelenggara pendidikan sekaligus.
Semua layanan pendidikan diberikan ruang untuk berkontribusi dalam mencerdaskan bangsa, menanamkan nilai-nilai kebangsaan, gotong royong, dan nilai-nilai kebajikan lainnya, sehingga diperlukan komunikasi dan kolaborasi. Bukan pemaksaan lima hari sekolah sehingga mematikan layanan pendidikan lainnya.
Jika benar-benar untuk penguatan pendidikan karakter, maka sudah semestinya layanan pendidikan formal seperti sekolah itu berkolaborasi dengan pendidikan keagamaan untuk saling menempa dan mengisi ruang-ruang kosong keilmuan pada peserta didiknya.
Atas dasar uraian di atas, jika Pemerintah Daerah Padang Sumatera Barat akan mengeluarkan Peraturan Daerah tentang Lima Hari Sekolah maka secara terang benderang bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi, yakni Perpres Nomor 87 Tahun 2017 ini.
Rencana kebijakan Lima Hari Sekolah yang sedang diusulkan oleh Pemerintah Daerah Kota Padang ini, hemat penulis, perlu untuk diingatkan dengan berbagai pengalaman dan regulasi yang telah lahir lebih awal.
Sangat boleh jadi, jika rencana ini dilanjut maka akan terjadi kegaduhan kembali, mematikan layanan pendidikan keagamaan, serta direplikasi oleh pemerintah daerah lainnya.
Jika ini terjadi, penguatan pendidikan karakter yang diidam-idamkan oleh seluruh masyarakat Indonesia akan semakin sirna. Wallahu a’lam bi al-shawab. (zm)
Penulis adalah Dewan Pengurus Pusat Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah (DPP FKDT), Dewan Pengurus Pusat Persatuan Dosen Agama Islam Nahdlatul Ulama (Persada-NU), Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Artikelnya dimuat Koran Republika 15 Januari 2023.