Merdeka Seratus Persen: Refleksi Kesejahteraan Dosen di HUT RI ke-80

Merdeka Seratus Persen: Refleksi Kesejahteraan Dosen di HUT RI ke-80

Murodi, Arief Subhan, dan Study Rizal LK


Delapan puluh tahun Indonesia merdeka adalah momentum penuh makna. Bangsa ini telah melewati berbagai fase: perjuangan mempertahankan kedaulatan, pembangunan ekonomi, transisi demokrasi, hingga menghadapi era digital. Namun di balik gegap gempita perayaan HUT RI ke-80, ada pertanyaan reflektif yang tak kalah penting: apakah dosen—sebagai garda terdepan pembentuk intelektual bangsa—sudah benar-benar merdeka dalam kesejahteraan?

Dosen adalah sosok yang mengemban misi mulia. Mereka bukan hanya pengajar di ruang kelas, tetapi juga peneliti, pengabdi masyarakat, dan penjaga moral intelektual bangsa. Melalui tangan mereka, lahir para dokter, insinyur, politisi, aktivis, ulama, hingga birokrat. Tetapi, ironisnya, kesejahteraan dosen masih sering menjadi isu yang terpinggirkan. Gaji dan tunjangan sebagian besar dosen, baik di perguruan tinggi negeri maupun swasta, jauh dari kata memadai. Banyak dosen yang harus mencari pekerjaan tambahan untuk menopang kebutuhan keluarga. Tidak sedikit pula yang menghadapi beban kerja administratif yang menumpuk tanpa diiringi apresiasi setara.

Jika kita merenung sejenak, kemerdekaan seharusnya tidak hanya dipahami sebagai terbebas dari penjajahan kolonial, tetapi juga terbebas dari keterbelengguan struktural yang membuat insan akademik sulit mencapai kesejahteraan. Kemerdekaan sejati adalah saat para dosen dapat mengabdikan dirinya sepenuhnya pada tridharma perguruan tinggi—pendidikan, penelitian, dan pengabdian—tanpa dihantui kekhawatiran tentang kebutuhan dasar hidupnya.

Pada momentum HUT RI ke-80 ini, kita diajak untuk kembali pada semangat para pendiri bangsa yang bercita-cita melahirkan masyarakat adil dan makmur. Pertanyaannya: apakah adil jika dosen, yang menjadi fondasi peradaban, justru masih harus berjuang keras demi kebutuhan hidup sehari-hari? Apakah makmur jika profesi intelektual ini tak memberikan jaminan masa depan yang layak?

Refleksi ini bukan sekadar keluhan, melainkan ajakan moral. Negara perlu hadir lebih serius dalam memperjuangkan kesejahteraan dosen, bukan hanya dalam bentuk tunjangan dan gaji, tetapi juga ekosistem akademik yang sehat, penghargaan atas karya ilmiah, serta perlindungan sosial yang memadai. Sebab, ketika dosen sejahtera, bangsa ini akan menikmati buahnya dalam bentuk generasi yang lebih cerdas, kritis, dan berdaya saing.

HUT RI ke-80 seharusnya menjadi momentum menegaskan kembali komitmen kemerdekaan yang holistik. Kemerdekaan tidak bisa hanya dirayakan dengan seremoni, melainkan diwujudkan dalam kebijakan nyata yang memastikan setiap anak bangsa, termasuk para dosen, dapat hidup bermartabat.

Maka, sebagai penutup ada satu pertanyaan yang perlu kita renungkan bersama: sudahkah kita benar-benar merdeka, jika para dosen bangsa ini masih harus berjuang keras demi kesejahteraannya?


Ketiga penulis merupakan pengajar Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta