Merdeka Belajar dalam Perspektif Islam

Merdeka Belajar dalam Perspektif Islam

Dr Muhbib Abdul Wahab MAg, Dosen Pascasarjana FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekretaris Lembaga Pengembangan Pesantren PP Muhammadiyah

Menurut  Reginald Monyai, dalam Teacher Education in the 21st Century (2019), kurikulum yang berpusat pada peserta didik memberikan ruang bagi peserta didik untuk terlibat secara aktif dalam memproduksi pengetahuan dan pembelajaran. Hal tersebut hanya dapat terjadi jika kepercayaan diri pembelajar didorong oleh perasaan kontrol dan kemampuan untuk mengelola kemajuannya dalam memperoleh kualifikasi.

Guru abad ke-21 harus menciptakan lingkungan yang tidak hanya mendukung empat Pilar Pembelajaran (learning to know, learning to do, learning to be, learning to life together), tetapi juga membuat peserta didik diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan terkait.

Karena itu, lanjut Monyai, guru harus dapat membimbing peserta didik menuju kematangan fisik dan mental yang utuh dan harus membantu mengembangkan pemikiran kritis. Peserta didik juga harus didorong untuk mempraktikkan kebenaran dan memiliki harga diri dan rasa hormat terhadap orang lain. Hal ini dapat terjadi jika pembelajar diberi kesempatan untuk menerima dirinya sendiri. Jika peserta didik gagal melakukannya, mereka cenderung kurang percaya diri, yang akan menyebabkan kurangnya kemandirian.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa peserta  didik  itu  perlu  diberikan kemerdekaan (kebebasan) dalam mengaktualisasikan dirinya, karena mereka memang memiliki hak merdeka belajar, sekaligus hak belajar secara merdeka, sehingga mereka diposisikan sebagai subyek merdeka yang dipercaya mampu menjadi sumber belajar. Konsep merdeka belajar pada dasarnya mendorong peserta didik bersikap kritis, terlibat aktif dalam mengalami proses pembelajaran dan belajar memproduksi ilmu pengetahuan.

Mengapa konsep merdeka belajar penting dan relevan untuk dikembangkan dalam institusi pendidikan dasar, menengah dan pendidikan tinggi? Bagaimana  perspektif  Islam dalam memaknai dan mengntekstualisasikan  konsep   ini, terutama dalam rangka mewujudkan peserta didik yang mampu berpikir kritis, berkarya kreatif, berkomunikasi efektif, berkolaborasi positif dan strategis, dan berkontribusi positif dalam membangun masa depan yang prospektif dan mencerahkan? Apakah konsep "merdeka belajar" sejalan dengan adagium Saneca (filsuf), "Non Scolae Vita Discimus" (belajar untuk hidup)?

Merdeka Belajar dan Visi Kenabian

Semua Nabi dan utusan Allah SWT ditugasi untuk mengajarkan akidah tauhid. Esensi ajaran tauhid adalah menuhankan Allah yang Maha Esa; tidak menyembah selain-Nya. Sedangkan esensi bertauhid sejatinya adalah pemerdekaan diri dari segala bentuk tuhan palsu, berhala-berhala produk budaya atau ciptaan manusia. Jadi, manusia yang hanya menuhankan Allah yang Maha Es aitu adalah manusia merdeka. Orang yang masih percaya kepada selain Allah, percaya kepada sesembahan dan ketergantungan kepada berhala pada dasarnya tidak merdeka, dan diperbudak oleh hawa nafsunya sendiri.

Kisah Nabi Ibrahim AS dalam bereksperimen mencari dan menemukan Tuhan yang Maha Esa dalam surat al-An'am menarik diambil sebagai pelajaran. Mula-mula Ibrahim mengkritisi ayahnya, Azar (ada yang berpendapat bahwa Azar bukan ayah kandung, tetapi ayah sosiologis, tokoh masyarakat): “Pantaskah kamu menjadikan berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? Sesungguhnya aku melihat kamu dan kaummu dalam kesesatan yang nyata.” [QS. Al-An'am/6:74].

Dalam konteks ini, Allah memperlihatkan Ibrahim AS tanda-tanda kebesaran dan keagungan- Nya di langit dan di bumi. Ibrahim kemudian melakukan dialog kosmologis-teologis. “Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang, (lalu) dia berkata: Inilah Tuhanku.” Tetapi, tatkala bintang itu tenggelam, dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam” [QS al- An'am/6:76]. Dialog tersebut menumbuhkan kesadaran teologis pada diri Ibrahim bahwa Tuhan tidak semestinya “muncul lalu menghilang”.

Tidak puas dengan tuhan berupa bintang, Ibrahim melanjutkan dialog kosmologisnya, dengan mengamati dan mencermati bulan. “Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya, jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, niscaya aku termasuk orang-orang yang sesat.” [QS. al-An'am/6:77]. Hasil observasi Ibrahim terhadap bulan membawanya kepada kesimpulan sementara bahwa fenomena bulan sama saja dengan bintang: muncul dan tenggelam. Bulan tidak layak dituhankan. Artinya, ada Tuhan sejati yang menciptakan dan mengatur peredaran bulan. Dalam hal ini, Ibrahim mulai merasakan pentingnya “pertolongan dan petunjuk” dari Tuhan sejati agar tidak menjadi orang-orang yang sesat dan menyesatkan.

Ibrahim melanjutkan observasinya dengan asumsi dasar bahwa Tuhan itu bukan fenomena alam yang muncul dan sirna dari pandangan mata. Pada keesokan harinya, “Ketika dia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”. Namun, tatkata matahari mulai terbenam, dia berkata: “Hai kaumku , sesungguhnya aku berlepas diri (merdeka) dari apa yang kamu persekutukan.” [QS al-An'am/6:78] Pencarian dan pembuktian bahwa Allah itu Maha Esa, tiada tuhan selain Dia (tauhid hakiki) mengandung makna liberasi (pembebasan, pemerdekaan). Karena itu, siapapun yang masih terikat dan tergantung pada tuhan selain Allah itu pasti tidak merdeka, atau musyrik.

Oleh karena itu, atas dasar obervasi fenomena alam, pembuktian ketuhanan ciptaan tuhan yang muncul dan tenggelam, dan penalaran logis (dengan logika induktif), Ibrahim menegaskan bahwa “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.” [QS al-An'am/6:79]. Inilah pandangan, sikap, dan keyakinan teologis yang rasional bahwa bertauhid itu sejatinya merdeka dari segala sesembahan, berhala, atau tuhan palsu yang membuat manusia tersandera dan terkungkung oleh sifat-sifat makhluk.

Jadi, dalam perspektif Islam, merdeka belajar itu harus berangkat dari keyakinan teologis (tauhid) yang memerdekakan diri pembelajar. Keyakinan teologis ini berimplikasi kepada sikap kritis bahwa sumber kebenaran ilmu, baik melalui proses pembelajaran maupun pengalaman empirik, berasal dari Allah SWT. Berdasarkan penegasan Ibrahim tersebut, merdeka belajar itu sejatinya merupakan fitrah, kecenderungan alami dan kecintaan terhadap kebijaksanaan (filsafat) yang ditanamkan oleh Allah pada diri manusia. Dengan demikian, merdeka belajar bukan sekadar bebas tanpa batas dalam belajar, mempelajari, dan mencari ilmu pengetahuan.

Akan tetapi, merdeka belajar dalam Islam merupakan spirit untuk memenuhi rasa ingin tahu (kuriositas) dan rasa ingin ma'rifatullah (mengenal Allah), di samping rasa ingin menguasai dan mendalami ilmu pengetahuan dan keterampilan secara tidak “dibatasi” oleh sekat-sekat kejurusanan dan keprodian. Spirit merdeka belajar itu sejatinya belajar menguasai kompetensi dan keterampilan secara lebih luas dan multidisiplin ilmu. Dalam al-Qur'an, konsep merdeka belajar ini dapat diejawantahkan dengan memahami filosofi “iqra'” (perintah membaca).

Ayat pertama yang diturunkan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW adalah perintah membaca tanpa dibatasi obyek yang harus dibaca. Dalam ayat “iqra' bi ismi Rabbik” Allah sengaja tidak menampilkan objek (maf'ul bih) yang dibaca. Artinya, Allah memberikan kebebasan dan kemerdekaan kepada manusia untuk membaca dan mempelajari apa saja, yang penting proses pembacaan dan pembelajarannya itu dibingkai dengan bi ismi Rabbik, atas nama, dengan niat, dan berharap meraih ridha Allah SWT.

Jadi, merdeka belajar itu harus bervisi profetik, berbasis tauhid sejati, bukan semata-mata mencari ilmu untuk ilmu, tetapi belajar secara merdeka dalam rangka menghambakan dan mendedikasikan diri kepada Sang Penguasa dan Pemilik kehidupan ini. Karena itu, apapun yang dikuasai manusia: ilmu, harta, aset, jabatan, status sosial, dan sebagainya hanyalah bersifat nisbi, sementara, dan tidak abadi. Semuanya pada dasarnya berasal dan milik Allah secara mutlak. Dengan kata lain, merdeka belajar itu dimaknai dalam kerangka ibadah kepada Allah di satu segi, dan di segi lain dimaksudkan untuk memakmurkan ('imarah) kehidupan dan memajukan peradaban kemanusiaan.

Konsep merdeka belajar dalam persepektif Islam ini penting dikembangkan karena memang Islam tidak membatasi dan mengekang umatnya dalam mempelajari segala hal, selama bi ismi Rabbik.

Dalam ayat lain, Allah bahkan menantang manusia dan jin  untuk  menembus  (melintasi)  penjuru langit dan bumi jika mampu melakukannya. Allah kemudian menegaskan bahwa kamu tidak dapat  menembusnya,  melainkan dengan kekuatan (sulthan). [QS ar-Rahman/55:33].

Menurut Ibn Katsir, yang dimaksud sulthan dalam ayat ini adalah kekuasaan (bisa berupa kemampuan hebat). Menurut sebagian ahli tafsir, pengertian sulthan dalam ayat tersebut adalah ilmu pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa dengan ilmu manusia dapat menembus ruang angkasa, melintas batas, dan menguasai alam raya ini.

Implementasi Merdeka Belajar

Fakta sejarah membuktikan bahwa para ulama di masa lampau telah mengamalkan konsep merdeka belajar, sehingga mereka cenderung banyak menguasai bidang keilmuan, tidak monodisiplin. Contohnya al-Farabi, Ibn Sina, Ibn Rusyd, al-Ghazali, al-Khawarizmi, Ibn al-Haitsam, Ibn Miskawaih, dan sebagainya. Ibn Sina misalnya, tidak hanya pakar di bidang kedokteran, tetapi juga menguasai fikih, filsafat, matematika, logika, bahasa, musik, dan sebagainya. Bahkan di usia yang masih cukup belia (8 tahun), dia sudah hafal Alquran.

Apakah konsep merdeka belajar dapat diimplementasikan di era digital dan disrupsi saat ini? Mengapa tidak! Merdeka belajar itu spirit, sikap pembelajar, dan pemberian kesempatan dan kebabasan, terutama oleh pemangku dan pengelola institusi  pendidikan.

Di  Perguruan Tinggi, konsep merdeka belajar diimplementasikan dengan pemberian kebebasan kepada mahasiswa untuk belajar (mengambil MK) di luar Prodi dalam kampusnya dan mengambil MK di kampus lain. Tentu saja, implementasi merdeka belajar ini perlu political will dari pimpinan kampus atau lembaga pendidikan untuk memberikan orientasi dan sosialisasi yang tetap, agar peserta didik dan mahasiswa mengetahui dan menikmati hak-hak belajarnya di dalam dan di luar kampus, dengan fasilitasi yang mendukung dan menyukseskan sistem dan pola belajar mereka.

Implementasi merdeka belajar, terutama di perguruan tinggi, menghendaki kesamaan sikap, pandangan, dan orientasi. Merdeka belajar diinspirasi oleh tantangan hidup di masa depan yang menuntut penguasaan lebih dari disiplin keilmuan dan keterampilan. Merdeka belajar juga sejalan dengan konsep pembelajaran transformatif (Jack Mazirow), konsep pendidikan memerdekakan (Ki Hadjar Dewantara), experimental learning (Carl Rogers), dan Contextual Teaching and Learning (CTL, Elaine B Johnson). Sementara itu, para pembelajar (khususnya mahasiswa) memiliki kecenderungan positif untuk melakukan eksplorasi, kolaborasi, dan mencari “pengalaman baru” di Prodi lain dalam dan di luar kampusnya.

Hal tersebut menunjukkan bahwa merdeka belajar sejatinya membuka kesempatan, peluang, tantangan, alternatif dan pengalaman baru dalam rangka mendiversifikasi keilmuan dan keterampilan mahasiswa selain “struktur kurikulum” yang sudah “dipaketkan” dalam Prodinya. Dengan kebebasan belajar di luar Prodi dalam kampusnya sendiri, silaturrahim dan silatul ilmi antara sivitas akademika dalam satu kampus menjadi lebih erat.

Potensi diskusi lintas prodi lebih terbuka dan lebih menarik karena boleh jadi perspektif dan argumentasi keilmuan menjadi lebih kaya. Dengan meredeka belajar, sumber daya manusia (dosen dan mahasiswa) menjadi lebih dapat dioptimalkan; dan mereka memiliki pengalaman baru, sekaligus situasi dan kondisi pembelajaran yang  memungkinkan  mereka terlibat aktif dalam memproduksi  dan mengonstruksi ilmu pengetahuan dan keterampilan.

Dengan implementasi merdeka belajar, Prodi, Fakultas, dan Institusi kampus didorong untuk lebih produktif dalam menjalin kerjasama dan kemitraan dengan institusi pendidikan, yayasan kemanusiaan, lembaga bisnis, perhotelan, pariwisata, dan aneka industri. Penting disadari dan dijadikan sebagai spirit kemajuan bahwa apabila konsep merdeka belajar diterapkan secara komprehensif, niscaya mahasiswa mempunyai peluang besar untuk mendapat pengalaman keilmuan, keterampilan, dan kemanusiaan yang lebih kaya dan komprehensif. Karena manusia dapat mengikuti magang atau praktik kerja di “lapangan nyata”, tidak hanya fasih berteori, tetapi juga terampil bekerja secara profesional.

Dengan merdeka belajar, mahasiswa bisa mengembangan kewirausahaan, melakuan penelitian bersama dosennya dan mahasiswa lain di luar kampusnya,  di  samping  mengikuti pertukaran pelajar, mengikuti proyek kemanusiaan, menjadi volunteer pada Lembaga amal dan solidaritas sosial, dan sebagainya [Permendikbud No.3 thn 2020, Ps 15, Ayat 1].

Namun demikian, karena implementasi merdeka belajar itu bersifat opsional (pilihan), bukan obligasional, maka kick off tidaknya rencana pembelajaran secara merdeka ini sangat tergantung pada pimpinan kampus dengan kebijakan yang ditetapkan. Pertimbangan rasional dan prospek ke depan tentu mengantarkan kepada pilihan bijak dan strategis bahwa merdeka belajar itu menjadi sistem pembelajaran alternatif yang diproyeksikan dapat membuah hasil dan luaran sistem pendidikan yang efektif dan berkemajuan.

Dalam konteks ini, Islam menghendaki umatnya untuk selalu melakukan perubahan internal (sikap mental, pemikiran, dan moral) menuju khaira ummah (umat terbaik) melalui proses pendidikan dan pembelajaran efektif, konstruktif, dan produktif. Sedangkan perubahan yang ideal itu dimulai dan digerakkan dari sistem pendidikan yang kuat, solid, dan efektif.

Akhirul kalam, merdeka belajar itu mestinya bukan slogan dan wacana tanpa pembuktian nyata. Merdeka belajar secara konseptual dan faktual merupakan bagian integral dari perjalanan sejarah pendidikan dan peradaban Islam. Implementasi merdeka belajar di masa kejayaan peradaban Islam tercermin pada banyaknya ulama dan ilmuwan yang multitelenta dan multidisiplin ilmu. Tentu, mereka mampu seperti itu bukan semata- mata diinspirasi konsep merdeka belajar dan falsafah iqra' bi ismi Rabbik, tetapi yang lebih penting lagi adalah sikap mental pembelajar yang kuat, tekun, ulet, kreatif, dan produktif, sehingga mereka banyak mewariskan legasi keilmuan yang cemerlang dan menjadi rujukan hingga dewasa ini.

Merdeka belajar bukan konsep utopis, tetapi merupakan gagasan dan tawaran strategis di saat dunia mengalami perubahan yang sangat cepat, dan menuntut penguasaan multikeilmuan dan keterampilan. Pengalaman mengajarkan bahwa sudah banyak produk dan profesi yang punah ditelan kemajuan zaman, sementara itu banyak profesi baru berbasis teknologi informasi dan komunikasi bermunculan. Pada saat yang sama, persaingan usaha dan profesi semakin ketat dan sengit. Karena itu, sangat diharapkan, implementasi merdeka belajar itu dapat memberi peluang dan keunggulan kompetetif bagi calon lulusan perguruan tinggi dalam meraih dan mengembangkan pasar kerja yang prospektif.

Implementasi konsep merdeka belajar memang didesain agar peserta didik (mahasiswa) memiliki banyak alternatif kompetensi dan keterampilan yang relevan dikembangkan di masa depan. Melalui merdeka belajar, akselerasi penyelesaian studi dan fleksibilitas peminatan bidang ilmu dan keterampilan menjadi peluang berharga bagi peserta didik untuk mengembangkan karirnya di masa depan. Islam menghendaki implementasi merdeka belajar ini dikembangkan berbasis pemahaman dan pengamalan nilai-nilai tauhid secara radikal (mengakar kuat), kebebasan memilih dalam mengikuti perkuliahan dan praktik lapangan yang menjadi kebutuhan dan proyeksinya di masa depan.

Dengan demikian, merdeka belajar itu harus dipahami secara utuh, menyeluruh, dan strategis, untuk kemudian diamalkan secara konkret, berbasis analisis kebutuhan mahasiswa di masa depan, dan berbasis kolaborasi lintas prodi dan institusi atas dasar take and give, ta'awun ala al-birri wa at-taqwa (kerja sama dalam rangka mengembangkan budaya kebajikan dan takwa). Jadi, implementasi merdeka belajar itu harus dilakukan secara gradual, bertahap, dan berkelanjutan, dengan prinsip sesuai kaidah “ma la yudraku kulluhu la yutraku kulluh” (apa yang tidak/belum dapat diraih/diwujudkan semuanya dari program merdeka belajar, mestinya tidak semua ditinggalkan). Karena itu, dalam implementasi merdeka belajar, etos fastabiqul khairat (berkompetisi dalam kebajikan) harus dibudayakan.

Sumber: Majalah Tabligh Edisi No.3/XX, Syaban 1443 H./Maret 2022 M. (sam/mf)