Merayakan Keragaman
SETIAP pergi ke luar negeri dan transit di bandara internasional seperti di Singapura, Hong Kong atau Dubai, saya selalu terkesima menyaksikan keragaman orang, terutama dari sisi bahasa dan wajahnya.
Mereka datang dari latar belakang bahasa, budaya, agama, dan kelahiran yang beragam, lalu bersama-sama terbang dengan pesawat yang sama mengarungi angkasa dan lautan. Terbayang, betapa dunia ini semakin kecil,mudah dijangkau secara langsung maupun melalui media televisi, dan menyajikan fakta sosial betapa keragaman itu suatu kenyataan yang tak terbantahkan.
Keragaman itu sunnatullah. Sekarang ini orang bisa saja merasa fanatik sebagai putra daerah dan putra Indonesia, tetapi secara perlahan dan pasti kita diajak untuk mengakui bahwa pada saat yang sama kita adalah juga penduduk dan warga dunia. Ini berimplikasi pada tuntutan untuk menerima kenyataan bahwa bahasa, budaya, ras, dan agama mesti beragam.
Mesti plural. Adalah sebuah utopia untuk memberlakukan monolitisme dan homogenisme dalam berbahasa dan beragama. Mereka yang berkeberatan dan menolak serta membenci pluralitas atau kemajemukan agama akan lelah sendiri. Mereka yang antimunculnya pemahaman yang berbeda dalam masyarakat akan selalu marah-marah sendiri dan tidak akan mengubah keadaan.
Coba saja perhatikan lebih jauh. Begitu hendak melihat program televisi, kita dihadapkan pada keragaman saluran dan sajian acara.Ketika menyaksikan sepak bola,bertemu lagi dengan keragaman tim yang begitu banyak.Ketika hendak makan, bertemu dengan beragam pilihan yang terhidang di atas meja.
Bahkan ketika memulai makan bakso, misalnya, kita bertemu dengan berbagai ragam unsur yang menyatu di dalam mangkuk. Begitu pun ketika jalan-jalan ke kebun binatang atau mengamati sawah atau hutan, lagi-lagi mata melihat keanekaragaman hewan dan tumbuh-tumbuhan. Pendeknya, dunia sekitar kita selalu menyajikan realitas yang serbawarna-warni.
Di situlah dunia menjadi asyik dilihat dan dinikmati.Namun ada pula yang kemudian merasa terganggu, tidak tahan menyaksikan keragaman. Hal ini terutama ketika berkaitan dengan keragaman agama. Ada yang resah melihat orang lain memeluk agama yang berbeda. Maka muncul polemik seputar pluralisme agama. Istilah pluralisme agama ini memang agak polemis.
Kalau yang dimaksudkan adalah kemajemukan atau keragaman agama, maka mudah diterima oleh semua pihak.Tetapi jika pluralisme dimaksudkan sebagai penyamaan agama, bahwa semua ajaran agama memiliki kebenaran yang sama dan otentik, tentu banyak pihak akan keberatan.
Sebab keberagamaan adalah unik, melibatkan keyakinan dan pengalaman yang sulit dipersamakan dengan yang lain. Belum lagi doktrin akidahnya memang berbedabeda. Namun jika pluralisme agama dimaksudkan adanya fakta keragaman agama, hal itu suatu keniscayaan.
Lebih jauh lagi bisa saja diterima bahwa sekian banyak agama pasti memiliki aspekaspek ajaran yang sama, terutama menyangkut etika sosial,misalnya semua agama antikorupsi, antipenindasan dan penipuan.Bahwa semua agama mengajarkan untuk saling menghormati dan mencintai sesamanya. Sikap lapang dan rendah hati sangat diperlukan dalam hal beragama.
Alasannya sederhana saja. Manusia itu memiliki kelemahan dan keterbatasan, sedangkanTuhan dan ajaran-Nya sangat mulia dan absolut. Dengan demikian, otak manusia yang terbatas tentu tak akan sanggup memahami dan menampung yang absolut.Jadi,menganggap pemahaman kita tentang Tuhan danajaran-Nyabersifatmutlak dan pasti benar adalah suatu kesimpulan yang salah.
Yang ada adalah kita semua berusaha untuk memungut percikan-percikan kebenaran sepanjang perjalanan hidup. Sepanjang perjalanan kita berusaha meraih cahaya kebenaran, tetapi hanya sebagian cahaya-Nya saja. Jangankan mengenal sepenuhnya Tuhan Yang Absolut,sedangkan retina mata tak akan sanggup menatap sorotan matahari secara langsung.
Gendang telinga pun akan pecah menerima getaran suara yang sangat dahsyat. Jadi, keragaman itu akan terasa indah kalau saja kita bisa menikmati dan merayakannya dengan disertai sikap saling menghargai, saling belajar, dan semuanya memiliki ketulusan dan kesungguhan untuk selalu menegakkan kebaikan, keadilan, dan kasih sayang. Lagi-lagi, coba amati.
Beragam kendaraan mobil di jalan raya akan terasa indah kalau saja semuanya berjalan dengan teratur pada jalurnya dan saling menghormati yang lain. Kalau saja mobil itu seragam, ditambah lagi saling menabrak yang lain, pasti kurang menarik dan bahkan menakutkan suasana jalan raya. Saya selalu terpesona melihat keragaman klub sepak bola dunia. Terlihat indah dan meriah.
Mereka berkompetisi untuk meraih posisi tertinggi dengan mengalahkan yang lain dengan cara yang fair dan indah ditonton. Meski beragam, semuanya disatukan oleh komitmen yang sama untuk menaati peraturan, menghibur penonton, dan menampilkan permainan terbaiknya. Rupanya sikap pluralis itu dimulai dengan menumbuhkan dan membiasakan dalam diri seseorang untuk bisa menerima kehadiran yang lain serta menghargai.
Setiap orang dan kelompok mesti semuanya ingin dihargai.Ke depan ketika panggung sosial semakin terasa kecil karena jumlah penduduk bumi semakin banyak dan media komunikasi semakin canggih, kita mesti siap menghadapi keragaman bahasa, budaya, makanan, dan agama.
Bahkan dalam komunitas agama yang sama masih akan muncul keragaman mazhab dan aliran. Semua ini sulit dihilangkan. Lagi-lagi, adalah utopia membayangkan dalam masyarakat hanya ada agama tunggal dengan mazhab tunggal. Baik agama maupun mazhab selalu mengasumsikan bentuknya yang plural, yaitu agama-agama (religions) dan beraneka aliran pemahaman (schools of thought).
Kebenaran tertinggi itu ibarat Maha Cahaya yang hakikat warnanya tidak tertangkap, tetapi yang terlihat adalah derivasi cahaya yang warna-warni, yang kemudian ditangkap retina mata.Atau ibarat Maha Lautan yang tidak mampu akal dan mata mengukur, tetapi kita bisa saja mengenal dan merasakan lautan dengan jalanjalan dan mandi di pantai.
Demikianlah, keberagamaan itu mestilah rendah hati sehingga keragamaan budaya, bahasa, dan agama lalu menjadi sebuah festival yang dirayakan bersama tanpa kehilangan gairah dan militansi untuk selalu menemukan dan mengalami kebenaran demi kebenaran.*