Merawat Kemabruran Puasa
Prof Dr Nasaruddin Umar MA, Guru Besar Ilmu Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Imam Besar Masjid Istiqlal
Puasa Ramadan baru saja kita laksanakan. Kita tentu berharap semoga spiritual saving selama sebulan penuh dapat kita rawat dengan baik, tanpa melakukan penarikan saldo saving dengan cara melakukan penarikan melalui dosa dan maksiat.
Puasa tentu bukan sekadar menahan lapar, dahaga, dan hubungan seks, melainkan yang teramat penting sebagai latihan spiritual untuk mencontoh sifat-sifat Tuhan, sebagaimana dalam hadis takhallaqu bi akhlaqillah (berakhlaklah sebagaimana akhlak Allah SWT). Al-Qur’an menyebutkan huwa uth’im wa la yuth’am (Allah SWT memberi makan dan tidak diberi makan/QS 6:14) dan lam takun lahu shahibah (Tuhan tidak memiliki pasangan/QS 6:101).
Bukankah dalam berpuasa kita tidak boleh makan, minum, dan berhubungan seks? sebaliknya kita diwajibkan berzakat fitrah, memberi makan kepada fakir miskin. Harapan kita dengan menjalankan puasa agar kita mencapai kualitas insan kamil, sebuah prestasi spiritual yang paling diidam-idamkan seorang muslim. Insan kamil tidak lain ialah orang-orang yang menginternalisasikan sifat-sifat Tuhan ke dalam dirinya.
Akhlak Tuhan dapat dikenal melalui sifat-sifat-Nya sebagaimana tergambar dalam nama-nama indah-Nya (al-asma` al-husna). Ibarat seuntai tasbih nama-nama indah itu berjumlah 99, dimulai dari lafaz al jalalah (Allah), disusul dengan al-Rahman (Maha Pengasih), al-Rahim (Maha Penyayang), al-Lathif (Maha Lembut), al-Jamal (Maha Indah), dan seterusnya sampai ke angka 99, al-Shabur (Maha Sabar) dan kembali lagi ke lafaz al-jalalah (Allah).
Nama-nama indah Tuhan tidak hanya menunjukkan sifat-sifat Tuhan, tetapi juga menjadi titik masuk (entry point) untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada-Nya. Setiap orang dapat mengakses dan mengidentifikasikan diri dengan nama-nama tersebut. Seseorang yang pernah berlumuran dosa lalu sadar, dapat menghibur diri dan membangun rasa percaya diri dengan mengidentifikasi diri dengan nama al-Gafur (Maha Pengampun) dan al-Tawwab (Maha Penerima Taubat). Dengan demikian, dia tetap mempunyai harapan dan tidak perlu kehilangan semangat hidup.
Bukankah di antara 99 nama itu sifat-sifat kasih Tuhan lebih dominan? Bukankah di setiap surah dalam Al-Qur’an selalu diawali dengan Bismillah al-rahman al-rahim, yang intinya menonjolkan kemahapengasihan (rahmaniyyah) dan kemahapenyayangan (rahimiyyah) Tuhan?
Salah satu bentuk kemahapengasihan Tuhan ialah menganugerahkan bulan Ramadan (secara harfiah: penghancur, penghangus). Setelah 11 bulan hamba-Nya terasing di dalam kehidupan yang kering dan penuh dengan suasana pertarungan (power struggle), maka dalam bulan Ramadan kita diajak untuk kembali ke kampung halaman rohani yang basah dan menyejukkan serta penuh suasana lembut (nurturing).
Allah SWT menggambarkan diri-Nya di dalam dua kualitas, yaitu kualitas kejantanan (jalaliyyah/struggeling) melalui sifat-sifat-Nya yang lebih menonjol sebagai Tuhan Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang daripada Tuhan Yang Maha Pemurka dan Maha Pendendam. Seolah-olah Allah SWT memperkenalkan diri-Nya tidak untuk ditakuti, tetapi untuk dicintai. Seorang yang mendekati Tuhan lewat pintu maskulin akan mengesankan Tuhan bersifat transenden, jauh, berserah diri, struggeling, dan menakutkan. Seseorang yang mendekati Tuhan lewat pintu feminin akan mengesankan Tuhan bersifat imanen, dekat, dominan, struggeling, dan lebih tepat dicintai daripada ditakuti.
Di dalam bulan suci Ramadan, Tuhan lebih terasa sebagai The Feminine God daripada The Masculine God. Menurut para sufi, jalur tercepat mendekatkan diri (taqarrub) kepada Tuhan ialah jalur yang pertama. Bahkan Syekh Muhyiddin ibn 'Arabi pernah mengatakan kepada muridnya, “Jika kalian ingin memotong jalan menuju Tuhan, terlebih dahulu kalian harus menjadi 'perempuan'.”
Menurutnya, unsur kelelakian merepresentasikan sifat al-jalal Tuhan, sedangkan unsur keperempuanan merepresentasikan sifat al-jamal Tuhan. Dalam bulan suci Ramadan, yang juga disebut bulan cinta (syahr al-hubb), Tuhan lebih banyak memperkenalkan dirinya sebagai The Mother of God daripada The Father of God.
Sebagai orang yang telah berpuasa, selayaknya tidak saja menaruh kasih sayang dan perhatian kepada sesama manusia, tetapi juga kepada makhluk-makhluk Tuhan yang lain. Idealnya orang yang berpuasa sudah dapat menciptakan kualitas ukhuwah basyariyyah, ukhuwah islamiyyah, dan ukhuwah makhluqiyyah.
Manusia sebagai khalifah selayaknya menjalankan fungsi kekhalifahannya senantiasa mengidentifikasikan diri dengan The Feminine God. Sekiranya demikian maka sudah barang tentu tidak akan pernah terjadi disrupsi sosial dan lingkungan alam. Sebaliknya yang akan terjadi ialah kedamaian kosmopolit (rahmatan li al-'alamin) di tingkat makrokosmos dan negeri tenteram di bawah lindungan Tuhan (baldah thayyibah wa Rab al-Gafur) di tingkat mikrokosmos.
Hanya mereka yang berhasil meraih puasa mabrur yang dapat menjelaskan dan mengejawantahkan relasi ideal antara mikrokosmos (manusia), makrokosmos (alam semesta), dan Tuhan. Mereka akan merasakan bagaimana peranan puasa dalam menjalankan misi dan kapasitasnya sebagai khalifah dan representasi Tuhan di bumi.
Upaya merawat kemabruran puasa ialah teruslah memberikan energi positif bagi jiwa dan pikiran untuk senantiasa berpikiran objektif, kreatif, dan proaktif. Hanya orang-orang yang demikian inilah sesungguhnya yang menjalankan konsep ketauhidan yang paling ideal.
Sumber: Media Indonesia, Sabtu 30 April 2022. (sm/mf)