Merancang Pembangunan yang Bermartabat
Fahmi Wibawa
Pada 22-23 Mei 2023, Bappenas menyelenggarakan Musyawarah Rencana Pembangunan Nasional atau Musrenbangnas 2023, penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional atau RPJPN 2025-2045.
Kegiatan mahapenting ini luput dari perhatian publik di tengah ingar-bingar road show para bakal calon presiden (capres) dalam mencuri perhatian publik. Padahal, menurut UU Pemilu, para pasangan capres harus mengadopsi RPJPN 2025-2045 ini dalam visi dan misi mereka.
Kegiatan ini dimaksudkan supaya jalannya pembangunan dapat terarah, terpadu, dan memiliki sasaran utama dan sasaran antara yang jelas dan konkret dalam menjawab kebutuhan bangsa ke depan.
Tantangan ke depan
Cita-cita dan tujuan Indonesia merdeka di usia 100 tahun pada 2045 dipastikan akan menghadapi tantangan yang kian berat dan kompleks. Di pentas global (aspek eksternal), Indonesia harus tampil sebagai bangsa yang berdaya saing, pelaku utama, dan bukan sekadar penggembira. Pada tataran internal, Indonesia harus menjadi bangsa yang mandiri dan maju.
Sejalan dengan itu, bangsa dengan kualifikasi seperti ini harus mencerminkan keadilan dan kemakmuran dalam setiap aspek kehidupan agar kue pembangunan terbagi rata.
Lebih rinci, segenap rakyat memiliki kesempatan sama untuk mengakses pelayanan sosial, pendidikan dan kesehatan, lapangan pekerjaan, mengemukakan pendapat dan berekspresi di muka umum, melaksanakan hak politik, mendapatkan perlindungan dan kesamaan di depan hukum, serta memperoleh kehidupan yang lebih baik, tercermin dari peningkatan taraf kesejahteraan sosial ekonomi.
Para cendekiawan memahami pembangunan tak sebatas pertumbuhan ekonomi dan ukuran modernisasi lain seperti urbanisasi maupun industrialisasi. Lebih dari itu, pembangunan pada hakikatnya mencakup hal-hal yang lebih luas, seperti pemerataan, kemajuan kemanusiaan, lingkungan hidup, demokrasi, pranata sosial, nilai-nilai budaya, dan peradaban.
Bila pembangunan sekadar untuk menjawab tantangan bangsa melalui proses modernisasi, hasilnya cenderung hanya akan melejitkan para elite, melanggengkan hegemoni oligarki, sementara kelas bawah tetap tertinggal akibat kian melebarnya ketimpangan.
Ekonom pembangunan peraih nobel, Amartya Sen, berpandangan, kemakmuran sebuah bangsa dapat tercapai bila berbasis pada kekuatan masyarakat yang berdaya. Artinya, kemakmuran bangsa yang diidamkan melalui proses pembangunan dapat tercapai apabila bangsa itu memiliki SDM yang berkualitas, berkepribadian, berakhlak mulia, dan berpendidikan tinggi.
Kata kunci rancangan pembangunan dalam upaya mewujudkan Indonesia Emas 2045 adalah transformasi. Langkah reformasi saja tak cukup, melainkan perlu diperkuat dengan transformasi menyeluruh di berbagai bidang pembangunan.
Transformasi ini penting untuk mewujudkan pembangunan yang kompetitif, didorong oleh produktivitas tinggi yang inklusif dan berkelanjutan.
Fokus utama transformasi meliputi aspek sosial, ekonomi, dan tata kelola. Transformasi dapat berjalan baik jika ditopang kuatnya landasan stabilitas nasional yang meliputi supremasi hukum, demokrasi substansial, keamanan nasional, dan stabilitas ekonomi, serta diplomasi tangguh untuk memperkuat peran di kancah internasional.
Supremasi hukum menjamin kepastian hukum dan keadilan. Sementara demokrasi substansial menghasilkan pemerintahan efektif dan responsif. Keamanan nasional yang kuat melindungi negara dan menciptakan lingkungan aman, sedangkan stabilitas ekonomi mendukung kesejahteraan masyarakat.
Ketika keempat aspek ini stabil, negara akan memiliki fondasi kuat untuk melaksanakan pembangunan yang inklusif dan berkelanjutan, menarik investasi, menciptakan pekerjaan yang layak, dan mengalokasikan sumber daya secara efektif.
Terobosan
Terobosan menarik dari Musrenbangnas 2023 kali ini adalah penghampiran kepada seluruh elemen anak bangsa.
Berbagai masalah mendasar yang tak kunjung selesai selama proses pembangunan, seperti kemiskinan dan kesenjangan, tak lagi didekati dengan program dan proyek yang bersifat ”asupan” dengan cara si miskin mendatangi kantong-kantong proyek mengatasi kemiskinan.
Akan tetapi, masyarakat yang belum hidup layak itu didekati, didata, ditemukenali kebutuhan pelayanan dasar yang belum dipenuhi, dan secara bertahap dipenuhi kebutuhannya.
Demikian halnya masalah kesenjangan yang terus menghantui pembangunan di Indonesia dari masa-ke masa, baik sosial maupun spasial, tak lagi didekati hanya dengan guyuran program ke wilayah terbelakang. Daerah-daerah yang berkekurangan ini harus ”didatangi”, diagnosis masalah utama yang menggelayuti, dan pada akhirnya didorong dengan menggunakan potensi yang dimilikinya, termasuk dicantolkan ke wilayah yang lebih maju.
Ikhtiar ini bisa diamati di wilayah Sulawesi, misalnya. Aspal di Buton tak lagi boleh diangkut keluar sebelum seluruh Sulawesi teraspali dengan baik. Smelter dan eksplorasi aneka pertambangan, tak hanya menumpang lewat komoditas ekspor, tetapi juga harus menyumbang pajak, retribusi, dan lapangan pekerjaan ke daerah host-nya.
Selain itu, pertanian bahan pangan juga digalakkan untuk mengantisipasi suplai kebutuhan pangan di Ibu Kota Nusantara dan wilayah yang lebih maju lainnya. Pendekatan ini dirasakan lebih memanusiakan manusia Indonesia. Pendekatan sebelumnya yang memiliki slogan people centered, atau people driven, yang aslinya dikampanyekan oleh lembaga-lembaga internasional, dikemas ulang.
Manusia Indonesia tak hanya sebagai subyek pembangunan, tetapi lebih dari itu, mereka diakui eksistensinya sebagai insan yang memiliki jiwa, memiliki rasa, dan memiliki karsa. Pembangunan dirancang tak hanya untuk memenuhi segala kebutuhannya demi kesejahteraan semata, tetapi juga menggunakan cara-cara bermartabat, yang mengakui dan menghargai sisi-sisi kemanusiaannya. (zm)
Penulis adalah Direktur Eksekutif LP3ES; Pengajar FEB UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Artikelnya dimuat Harian Kompas, Selasa 6 Juni 2023.