Meraih Simpati Orang Lain
Prof Dr Nasaruddin Umar MA, Guru Besar Ilmu Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Imam Besar Masjid Istiqlal
Riya' dan ambisi berlebihan tidak dibenarkan, tetapi meraih simpati orang lain dibolehkan, tentu saja dengan melalui cara-cara yang wajar dan tidak keluar dari koridor yang dibenarkan di dalam ajaran agama dan moral budaya. Kemampuan seseorang untuk meraih simpati, respek, cinta, dan empati orang lain adalah salah satu cara untuk mendapatkan kebahagiaan. Inti silaturrahim sesungguhnya tidak lain adalah untuk saling membahagiakan satu sama lain. Penampilan yang ceria, tutur kata yang indah, dan akhlak yang santun akan menumbuhkan simpati orang lain.
Begitu pentingnya kelemah-lembutan itu maka Rasulullah Saw pernah bersabda: "Barangsiapa tidak diberi kelemah-lembutan, maka dia telah terhalang dari semua kebaikan." Seorang bijak pernah mengatakan: "Kelemahlembutan itu mampu menarik ular keluar dari liangnya." Orang bijak lain mengatakan: "Ambillah madunya, tapi jangan merusak sarangnya."
Jika seseorang secara konsisten mampu menjalani kehidupannya penuh dengan kelemah-lembutan maka bukan saja mendatangkan kebahaagiaan permanen di dalam diri dan keluarganya tetapi segenap lingkungan masyarakat tempat ia berdomisili juga merasakan kebahagiaan itu. Orang-orang seperti ini mampu mengalirkan energi positif ke dalam lingkungan komunitasnya. Entah itu di kantor, di lingkugan perumahan, atau di pusat-pusat ibadah setempat. Orang-orang seperti ini sering dikatakan: Kepergiannya adalah kehilangan dan kehadirannya adalah kebahagiaan. Berbeda dengan orang-orang kebalikannya, yang karakternya selalu menebar energi negatif di lingkungannya, sering dikatakan: Datang tidak menguntungkan pergi tak mengurangi. Bahkan ada orang yang: "Kepergiannya Al-hamdulillah dan kedatangannya inna lillah".
Dalam era masyarakat modern, kepemimpinan masyarakat sudah meninggalkan era kepemimpinan tradisional, dimana pimpinan lebih ditentukan oleh tokoh dan figur tradisional, yang secara turun temurun diakui ketikohannya di dalam masyarakat. Pola regenerasi dan suksesinya juga dengan cara tradisional, yaitu diwariskan secara turun temurun kepada keturunan mereka atau pemilik 'darah biru'. Namun dalam era masyarakat modern seperti sekarang ini, pola kepemimpinan masyarakat sudah lebih terbuka, artinya siapapun secara obyektif memenuhi persyaratan dan kualifikasi terntentu yang ditetapkan secara terbuka, maka itulah yang akan meraih tiket pemimpin masyarakat.
Dengan kata lain, masyarakat demokratis menghendaki pemimpin yang dicintai secara umum di dalam masyarakat. Sungguhpun bukan bangsawan tetapi kala ia mampu neraih simpati masyarakat maka dialah yang akan terpilih sebagai pemimpin.
Meraih simpati sebagai kunci untuk meraih segala-galanya di dalam masyarakat, sudah lama dicontohkan Nabi. Itulah sebabnya Nabi tidak pernah berwasiat kepada anggota keluarga dekatnya untuk menggantikan posisinya sebagai kepala pemerintahan.
Kenyataan sejarah Khulafaur Rasyidin juga demikian. Tidak ada satu pun di antara keempat khalifah itu mewariskan pemerintahannya kepada anggota keluarga terdekatnya. Siapa yang meraih simpati paling besar di dalam masyarakat pada akhirnya menjadi khalifah (pengganti). Jadi system yang diperkenalkan Nabi dan para sahabatnya terlalu modern melampaui zamannya dalam arti positif.
Sensi-sendi masyarakat konstruktif dii'tibarkan dalam konsep shalat jama'ah. Pemilihan sebagai imam shalat bukan berdasarkan genetic tetapi berdasarkan professionalisme. Siapa yang terbaik menjadi pemimpin tentunya juga yang paling professional. Qalbu yang sehat itulah yang akan meraih sukses.
Sumber: detiknews.com. (sam/mf)