Meraih Keberkahan Rezeki

Meraih Keberkahan Rezeki

Dr Muhbib Abdul Wahab MA, Ketua Program Studi Magister Pendidikan Bahasa Arab Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mencari dan meraih rezeki itu bukan tujuan, melainkan sarana untuk mewujudkan penghambaan diri (ibadah) kepada Allah SWT, sehingga menjadi hamba yang pandai bersyukur, beramal shalih, dan mendekatkan diri kepada-Nya. Rezeki yang diperoleh melalui aneka usaha itu juga bukan untuk berfoya-foya dan kesombongan diri, tetapi harus dijadikan media untuk optimalisasi ibadah kepada Allah SWT.

Allah SWT itu Maha Pemberi Rezeki terbaik (ar-Razzaq, Khair ar-Raziqin). Rezeki Allah itu luas, takterbatas. Karena itu, rezeki tidak boleh dipahami sebatas harta benda, materi atau uang. Iman, ilmu, amal shalih, umur, harta, kesehatan, keluarga, sahabat, relasi, dan sebagainya merupakan rezeki yang harus disyukuri dan dimaknai agar menjadi berkah melimpah, sehingga dapat mengantarkan hamba meraih husnul khatimah dan ridha-Nya.

Meraih keberkahan rezeki idealnya menjadi agenda dan ikhtiar yang diniati dengan ikhlas karena Allah semata. Yang dicari bukan banyaknya (kuantitas) rezeki, tetapi keberkahannya: kualitas, nilai tambah, nilai positif, dan kebaikannya yang dapat memberi manfaat, baik bagi diri sendiri, keluarga, maupun orang lain.

Keberkahan rezeki itu tidak diraih secara instans, tetapi harus diusahakan dengan memahami regulasi yang sudah ditetapkan Allah dan Rasul-Nya. Keberkahan rezeki itu juga tidak diperoleh dengan menghalalkan segala cara, menabrak aturan yang berlaku, merugikan negara atau orang lain. Karena itu, keserakahan, ketamakan, kedengkian, dan orientasi duniawi-materi harus dienyahkan, karena menjadi perusak dan penghilang keberkahan rezeki.

Dengan menaati syariat Allah dan menjauhi larangan-Nya (bertakwa), rezeki akan datang dari jalan tak terduga. Artinya, iman dan takwa itu menjadi modal dan kunci utama keberkahan rezeki. “Sekiranya penduduk negeri itu beriman dan bertakwa kepada Allah, niscaya Kami bukakan kepada mereka keberkahan (pintu rezeki) dari langit dan bumi…” (QS al-A’raf [7]: 96).

Selain itu, meraih keberkahan rezeki harus dilandasi keyakinan dan pemahaman yang benar bahwa pemilik rezeki itu adalah Allah; dan rezeki yang diterima itu hanyalah amanah atau titipan yang akan dimintai pertanggungjawaban di akhirat (QS at-Takatsur [102]:8). Rezeki yang diperoleh, khususnya harta, bukan menjadi hak milik mutlak, melainkan sebagiannya ada hak orang lain yang harus diberikan melalui zakat, infak, atau sedekah (QS al-Ma’arij [70]:24-25).

Di antara kunci pembuka keberkahan rezeki adalah keyakinan sepenuh hati bahwa Allah itu Mahakaya dan sedekah itu tidak pernah menyebabkan kemiskinan. Karena, “apa saja yang engkau infakkan (sedekahkan), Allah pasti akan menggantinya. Dialah Pemberi rezeki yang terbaik” (QS Saba’ [34]:39).

Setiap hari ada dua malaikat subuh yang selalu berdoa kepada Allah. Malaikat pertama berdoa: “Ya Allah berilah ganti kepada orang yang berinfaq (bersedekah); sedangkan malaikat kedua berdoa: Ya, Allah berilah kebinasaan atau ketidakberkahan orang yang enggan memberi sedekah.” (HR al-Bukhari). Jadi, bersedekah, terutama sedekah subuh, merupakan pengundang dan pembuka pintu keberkahan rezeki.

Memperbanyak istighfar, memohon ampunan Allah SWT, di manapun dan kapanpun merupakan kunci pembuka rezeki, seperti turunnya hujan setelah kekeringan, melimpahnya kekayaan setelah kekurangan, memperoleh keturunan setelah penantian lama (QS Nuh [71]: 10-12). Bersilaturahim, membangun jaringan (networking), bekerjasama dengan sesama dalam rangka kebaikan dan ketakwaan juga melicinkan jalan meraih keberkahan rezeki. “Siapa yang ingin dilapangkan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah menyambungkan tali silaturahim” (HR. Muslim)

Berbakti kepada orang tua dan selalu memohon doanya juga merupakan jalan keberkahan rezeki. “Barangsiapa ingin dipanjangkan umurnya dan dilipatgandakan rezekinya, hendaklah dia berbakti kepada orang tua dan bersilaturahim” (HR. Ahmad). Di atas semua itu, beristikamah qiyam al-lail, shalat tahajjud dan shalat dhuha juga menjadi kunci magnet pembuka keberkahan rezeki.

Namun demikian, rezeki menjadi tidak berkah, apabila seseorang bermaksiat kepada Allah; meraihnya dengan jalan haram, tidak halal, dan illegal, seperti: mencuri, berjudi, korupsi, dan sebagainya.  Percaya kepada selain Allah dalam meraih rezeki seperti meminta jasa pesugihan dari dukun, paranormal, tuyul, dan sebagainya juga menjadi perusak akidah dan keberkahan rezeki.

Mendayagunakan rezeki untuk kemungkaran dan kemaksiatan, seperti: minum miras, berjudi, narkoba, berzina, rasuah, dan sebagainya merupakan jalan setan yang menghilangkan keberkahan rezeki. Penghilang keberkahan rezeki lainnya adalah durhaka kepada orang tua, penggunaan rezeki untuk menista agama Allah, mengkriminalisasi ulama, memfitnah, menerbar hoaks, dan sebagainya.

Puncak keberkahan rezeki yang sangat didambakan hamba adalah rezeki mulia (rizqun karim), yaitu kenikmatan surgawi. Rezeki mulia merupakan balasan paling indah bagi orang-orang beriman. Mereka itulah orang-orang yang benar-benar beriman. Mereka akan memperoleh derajat (tinggi) di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia (QS. Al-Anfal [8]: 4)

Sumber: Hikmah Republika, Rabu, 18 Agustus 2021. (mf)