Meraih Kebahagiaan Dunia dan Akhirat

Meraih Kebahagiaan Dunia dan Akhirat

Toto Edidarmo, Dosen PBA FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Setiap manusia pasti ingin bahagia dan menikmati kebahagiaan —bahkan bila perlu selamanya. Bahagia ialah keadaan atau perasaan senang dan tenteram; bebas dari segala hal yang menyusahkan (KBBI).

Pakar psikologi menyebutnya dengan kondisi psikologis yang positif; ditandai oleh tingginya kepuasan terhadap masa lalu, tingginya tingkat emosi positif, dan rendahnya tingkat emosi negatif. Bahagia adalah penilaian terhadap diri sendiri dan kehidupannya, yang memuat emosi positif, seperti kenyamanan dan kegembiraan yang meluap-luap, maupun aktivitas positif yang tidak memuat emosi apa pun, seperti absorpsi dan keterlibatan (Seligman, 2005).

Sayangnya, untuk mencapai kondisi bahagia itu, kita sering terjebak pada makna “bahagia” yang cenderung hedonis-materialistik. Bahagia yang diukur dengan banyaknya materi (uang, deposito, properti, investasi)—yang terletak pada Ujung-Ujungnya Duit (UUD) alias Cuan. Bahagia yang diperoleh ketika telah mapan ekonominya, tajir atau “the have”. Bahagia yang sebatas di dunia tetapi tidak sampai di akhirat. Makna bahagia seperti ini tentu saja semu. Sebab, tajir atau “the have” yang sakit-sakitan atau “pesakitan” pasti tidak bahagia. Begitu pula yang proyeknya gagal, bisnisnya macet, atau koleganya berkhianat.

Alquran menyebut fenomena bahagia tersebut sebagai kenikmatan dunia yang sedikit (mataa‘un qaliil) atau bahagia yang semu (sementara), bukan kenikmatan hakiki yang abadi. Tentang kenikmatan duniawi, Allah Swt. befirman, “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan pada hal-hal yang diingini (nafsu), yaitu wanita-wanita, anak-anak, dan harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia; dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS Ali Imran [3]: 14).

Kecintaan pada materi dunaiwi acap kali membuat kita buta tentang makna kebahagiaan sejati. Kita pun mudah terpesona dan terpukau oleh keindahan dunia dan gemerlapnya, sehingga melupakan tujuan hidup yang sebenarnya, yaitu meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat. Karena sibuk mengurus harta, tahta, dan wanita, kita lupa untuk berbagi senyum kepada saudara kita sesama muslim, lalu dalam hati kita tumbuh sifat-sifat iri, dengki, ria, hasud, bakhil, bangga diri, hingga sombong. Padahal, sifat-sifat ini pertanda hati kita sakit, sedangkan orang yang hatinya sakit niscaya tidak bahagia hidupnya.

Kunci Bahagia adalah Hati yang Bersih

Islam mengajari kita untuk bersuci (wudu, tayamum, mandi), mengerjakan salat, membaca Alquran, mengingat Allah, dan melakukan amal saleh lainnya, semata agar kita mampu meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Namun, para ulama menilai bahwa kunci kebahagiaan adalah hati yang bersih (qalbun saliim). Ketika hati kita bersih (suci), jiwa kita akan terbebas dari segala hal yang menyusahkan, menyedihkan, dan membuat kita menderita. Pada titik ini, rasa marah, tegang, kesal, dengki, ria, hasud, bakhil, bangga diri, dan sombong akan berkurang, sedangkan emosi yang positif, seperti kasih sayang, kecintaan, dan kedamaian, akan tumbuh dan meningkat.

Hati yang bersih (suci), menurut Imam Al-Ghazali (w. 505 H/1111 H) di dalam adikaryanya, Ihyâ’ Ulûm al-Dîn, merupakan sumber berbagai perilaku positif atau akhlak terpuji. Hati yang bersih menjadi lokomotif dari semua gerakan positif tangan, kaki, mata, telinga, otak, hingga jiwa. Dari hati yang bersih, segala macam kebaikan terpancar. Inilah hati yang menerima dan memantulkan cahaya Ilahi; ilmu-Nya dan taufik-Nya. Inilah hati yang selalu mengajak kita pada kebenaran dan kebajikan, sekaligus menolak kebatilan dan kemungkaran. Inilah hati yang berbahagia.

7 Cara Meraih Bahagia Dunia-Akhirat

Ada 7 cara untuk meraih kebahagiaan di dunia dan di akhirat, yaitu:

Pertama, mencari rezeki yang halal. Mencari rezeki yang halal akan mengantarkan kita pada keberkahan, dan keberkahan akan membawa kita pada kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Di dunia, rezeki halal jelas bersihnya dari kecurangan dan kezaliman kepada pihak lain sehingga di akhirat pun akan selamat, tidak dihisab (diperiksa) secara ketat. Rezeki halal yang dikonsumsi oleh tubuh kita juga akan membentuk darah, tulang, dan daging yang baik dan berkah sehingga memproduksi energi dan emosi yang positif.

Kedua, bersikap qanaah. Qanaah artinya menerima apa pun pemberian Allah, baik terkait kondisi tubuh dan paras kita (ganteng/cantik, biasa, jelek) maupun ketentuan Allah Swt. tentang umur, jodoh, rezeki, pasangan hidup, dan keturunan kita. Sikap qanaah akan membawa kita pada rasa nyaman, puas, dan bahagia. Sebaliknya, sikap tidak qanaah akan membawa kita pada perasaan tidak puas, rakus, dan serakah. Akibatnya, nuansa batin akan mudah gelisah dan ingin menuntut yang lebih.

Ketiga, bersikap ikhlas. Ikhlas artinya sikap tulus (murni) ketika berurusan dengan pihak lain. Nabi Saw. pernah menyebut seorang sahabat yang diprediksi sebagai ahli surga. Setelah diselidiki selama tiga hari tiga malam, sahabat itu ternyata minim amalan salat malam dan puasa sunnah. Namun, ia memiliki hati yang sangat ikhlas. Sebelum tidur, ia selalu ikhlaskan apa saja perlakuan orang lain kepada dirinya, hingga ia tak pernah menyimpan dendam (kenangan pahit). Dari sini, keikhlasan membawa kebahagian di dunia dan di akhirat.

Keempat, menguatkan takwa. Takwa adalah kunci surga. Orang yang bertakwa akan diberi kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Bila ia menghadapi masalah pelik, Allah Swt. pasti akan memberinya solusi. Bila ia kesulitan ekonomi, Allah pasti akan memberi rezeki yang datang secara tidak terduga (QS Al-Thalaq: 2-3). Orang yang bertakwa juga pasti disediakan surga yang sangat luas (QS Ali Imran: 133).

Kelima, selalu bersabar. Orang yang selalu bersabar akan memperoleh kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Menurut Ali bin Abi Thalib, ketika bersabar menghadapi ujian (musibah), kita akan diberi 100 derajat kemuliaan. Ketika bersabar melaksanakan ketaatan, kita akan ditambah lagi 100 derajat. Ketika bersabar meninggalkan kemungkaran, kita akan ditambah lagi 100 derajat. Yang pasti, Allah Swt. bersama (menolong) orang-orang yang bersabar (QS Al-Anfal: 46). Jadi, orang yang sabar pasti bahagia.

Keenam, selalu bersyukur. Orang yang selalu bersyukur niscaya hidupnya akan berkah dan bahagia. Syukur, artinya: berterima kasih kepada Allah Swt. atas limpahan nikmat dan karunia-Nya. Bersyukur dapat dilakukan dengan meningkatkan ibadah wajib atau ibadah sunah, seperti bersedekah, menyantuni anak yatim, dan membantu fakir miskin. Bersyukur akan membawa hidup semakin berkah dan bahagia, baik di dunia maupun di akhirat.

Ketujuh, selalu berzikir.Orang yang selalu berzikir akan mencapai kedamaian batiniah dan kebahagiaan sejati, baik di dunia maupun di akhirat. Seperti dinyatakan dalam QS Ar-Ra’d: 28, hanya dengan berzikir kepada Allah, hati kita akan mencapai ketenangan (kebahagiaan). Ketika hati selalu berzikir, ia akan menuju kondisi aktif dan pasif. Aktif, artinya: hati kita akan mendekati Allah. Pasif, artinya: hati kita akan didekati oleh cahaya (ilmu) Allah. Dalam sebuah riwayat dikatakan: “Orang yang bahagia (as-sa‘iid) ialah yang hatinya selalu mendekati Allah, sedangkan orang yang paling bahagia (al-as‘ad) ialah orang yang hatinya selalu didekati oleh (cahaya) Allah.”

Sumber: ayoindonesia.com. Senin, 17 Januari 2022. (sm/mf)