Menyoal MBG untuk Membangun Generasi Unggul
Prof. Asep Saepudin Jahar, MA, PhD
Gagasan program Makan Bergizi Gratis (MBG) pemerintahan Prabowo didasari kepada realita masih adanya anak bangsa khususnya usia masa sekolah yang kekurangan nutrisi. Logikanya daya saing SDM ditentukan oleh manusia sehat yang mampu mengembangkan ilmu dan teknologi.
Berdasarkan data BPS 2024, 8,53 persen anak Indonesia mengalami ketidakcukupan gizi. Padahal, penelitian Institute of Nutrition of Central America and Panama (INCAP) pada 2020 menunjukkan bahwa anak-anak yang memperoleh gizi lebih baik pada masa awal kehidupannya memiliki kemampuan kognitif dan motorik yang lebih tinggi.
Anak-anak yang mendapatkan makanan bergizi akan tumbuh lebih sehat, mampu berkonsentrasi dengan baik, dan memiliki peluang lebih besar untuk berkembang secara optimal. Sebaliknya, anak-anak yang mengalami kekurangan gizi akan menghadapi hambatan dalam proses belajar dan perkembangan, yang pada akhirnya memengaruhi daya saing bangsa secara keseluruhan.
Program MBG hadir sebagai salah satu upaya untuk menjawab persoalan ini. Program ini bukan sekadar memberikan makanan di sekolah, melainkan sebuah langkah kebijakan publik yang berorientasi pada masa depan generasi. Program MBG perlu dipahami sebagai bagian dari perlindungan negara terhadap anak-anak, agar mereka dapat tumbuh dengan kondisi kesehatan yang baik dan siap menempuh pendidikan dengan optimal.
Sebagaimana dicatat dalam analisis ISEAS–Yusof Ishak Institute pada 2024, manfaat program ini tidak hanya mengurangi malnutrisi dan stunting, tetapi juga meningkatkan kemampuan fokus serta retensi sekolah, terutama bagi siswa dari keluarga kurang mampu.
Dalam sistem ekonomi Pancasila khususnya keadilan sosial, negara berkewajiban menjamin akses seluruh warga terhadap kebutuhan pokok pangan yang sehat dan bergizi, termasuk anak-anak dari berbagai macam latar belakang sosial. Pemenuhan gizi tidak boleh dipandang sebagai kebutuhan tambahan, tetapi sebagai hak dasar yang harus dipenuhi. Dengan program MBG, negara mengambil peran langsung untuk mengurangi kesenjangan gizi yang masih terjadi di banyak wilayah.
Data internasional menunjukkan bahwa gizi memiliki hubungan erat dengan kualitas sumber daya manusia. Menurut laporan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) pada 2024, sekitar 8,2 persen populasi dunia masih mengalami kelaparan dengan kondisi berpendapatan rendah. Di Indonesia sendiri, menurut Badan Pangan Nasional (2024), tingkat kekurangan gizi (Prevalence of Undernourishment) di Indonesia masih pada kisaran 10,21 persen pada 2022 dan sedikit menurun menjadi 8,53 persen pada 2023.
Angka ini menunjukkan masih adanya jutaan masyarakat yang belum terpenuhi kebutuhan gizinya secara layak. Ini menunjukkan bahwa sebagian anak bangsa belum memperoleh asupan gizi yang memadai pada masa pertumbuhan. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada kesehatan, tetapi juga pada kemampuan kognitif, semangat belajar, dan akhirnya kualitas pendidikan.
Jika merunut pada peta persaingan global kualitas sumber daya manusia menjadi faktor penentu keberhasilan suatu negara. Mempersiapkan anak-anak yang cerdas dengan asupan gizi yang cukup berarti kita siap bersaing secara sejajar dengan negara-negara maju di dunia. Namun sebaliknya jika negara membiarkan anak-anak dalam kondisi asupan gizi yang rendah maka generasi Indonesia akan sulit bersaing bahkan tertinggal dari negara-negara lain.
Sejak pelaksanaannya hingga September 2025, penerima manfaat MBG telah mencapai 30 juta anak dan ibu hamil. Program ini sejatinya merupakan langkah besar yang patut diapresiasi. Namun, skala yang begitu luas juga membawa tantangan baru, mulai dari kesiapan sumber daya manusia, ketersediaan bahan, kontrol kesehatan, hingga keseimbangan antara harga dan kualitas. Tak heran jika dalam praktiknya muncul berbagai kendala di lapangan. Mekanisme pelaksanaan pun tidak sederhana.
Ekosistemnya bisa menjadi rumit, mulai dari koordinasi antar tim pelaksana, penerapan standar kebersihan, konsistensi pasokan bahan dari para pemasok, hingga pengawasan dari dapur sampai ke titik distribusi. Semua ini memerlukan sistem yang rapi serta evaluasi yang dilakukan secara berkelanjutan.
Meski demikian, program MBG tetap penting untuk diteruskan. Yang dibutuhkan bukan penghentian, melainkan perbaikan yang profesional. Kapasitas tim masak perlu ditingkatkan, masyarakat perlu dilibatkan bukan demi keuntungan, tetapi sebagai bentuk kepedulian bersama.
Perguruan tinggi dapat berperan dalam memastikan kualitas makanan melalui kegiatan seperti Kuliah Kerja Nyata (KKN). Pemerintah daerah juga perlu dilibatkan secara aktif agar program dapat dijalankan sesuai kondisi masing-masing wilayah, sehingga dapat turut aktif memantau agar tumbuh kembang anak di wilayahnya terjaga dengan baik.
Meski ada tantangan, keberlanjutan program tetap penting. Dampak dari pemenuhan gizi tidak bisa dilihat dalam jangka pendek. Perubahan nyata baru dapat dirasakan setelah berlangsung bertahun-tahun. Oleh karena itu, konsistensi dalam pelaksanaan MBG menjadi hal yang utama. Jika program ini dijalankan secara berkesinambungan selama lima hingga sepuluh tahun, akan lahir generasi baru yang lebih sehat dan lebih siap menghadapi tantangan pendidikan maupun dunia kerja.
Pada akhirnya, program ini bukan sekadar urusan makan siang, tetapi tentang masa depan anak bangsa. Karena itu, seluruh pihak perlu terlibat dan memastikan pelaksanaannya berjalan dengan sungguh-sungguh, transparan, dan profesional, demi menyiapkan generasi Indonesia yang benar-benar unggul.
Artikel ini telah dipublikasikan di kolom analysis Republika, Rabu, 8 Oktober 2025