Menyoal Kualitas Tesis
Dr Jejen Musfah MA, Dosen Magister Manajemen Pendidikan Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Menulis tesis telah menjadi kebijakan di seluruh kampus magister di Indonesia sebagai syarat memperoleh gelar magister. Sampai saat ini kebijakan ini tidak ada yang menolak atau mengoreksi, mungkin terpikirkan pun tidak. Padahal tesis telah menjadi kendala utama penyelesaian kuliah magister bagi sebagian mahasiswa yang biasanya telah berumah tangga atau bekerja.
Di kampus-kampus luar negeri, untuk memperoleh gelar magister bisa memilih melalui jalur tesis atau nontesis. Yang terakhir ini mahasiswa mengikuti satu atau dua mata kuliah. Untuk menyelamatkan sejumlah mahasiswa pascasarjana, kampus negeri di Jakarta pernah mengambil kebijakan nontesis.
Jika di Indonesia rata-rata mahasiswa selesai dua tahun untuk magister, di sebagian kampus Australia bisa satu tahun.
Perbedaan sistem atau kebijakan di Indonesia dengan di luar negeri ini perlu diperhatikan mengingat masalah kendala tesis tak bisa dianggap enteng. Mahasiswa bisa menulis 11 makalah selama 3 semester tetapi sebagian gagal atau lamban menulis tesis. Ajaib kan? Padahal ada pembimbing tesis tapi tidak ada pembimbing makalah.
Kecuali itu masih relevankah syarat kuantitas 100 halaman tesis? Mahasiswa terjebak pada parade kutipan tetapi melupakan substansi yaitu sintesa dan analisis pribadi dari hasil bacaannya. Tesis mahasiswa kerap tebal tetapi minim ide penulis sehingga tak enak dibaca.
Dalam penulisan tesis tidak ada batasan jumlah halaman sebab kualitas tesis tidak ditentukan oleh banyaknya halaman, melainkan yang lebih penting adalah esensi dari substansi yang diteliti dan metodologi keilmuan yang digunakan (Tim Penyusun, 2017: 3).
Input
Kualitas tesis dipengaruhi kompetensi mahasiswa. Masalahnya rekrutmen mahasiswa magister lebih cenderung ke penjaringan bukan penyaringan. Kampus membutuhkan mahasiswa untuk membiayai dan keberlangsungan Prodi di satu sisi, mahasiswa membutuhkan ilmu atau ijazah di sisi lain.
Jika diukur dari hasil tes bahasa asing dan TPA misalnya, hampir tidak ada yang lulus untuk menjadi mahasiswa di Prodi Magister Kampus tertentu. Hampir setiap ujian masuk datanya tidak berubah, termasuk mahasiswa yang S1-nya dari kampus yang sama. Mungkin mahasiswa usia muda, belum menikah, atau belum bekerja lebih kompeten atau bisa diharapkan, ternyata tidak juga.
Jadi sejak awal, kualitas mahasiswa magister sudah bermasalah atau rendah. Mereka kuliah bukan karena merasa mampu secara akademik dan keilmuan serta keuangan tetapi tuntutan pekerjaan atau sekedar ikut-ikutan. Demi prinsip kualitas daripada kuantitas, mahasiswa doktoral Prodi tertentu di UI Depok kurang dari 10.
Lebih menukik ke masalah kualitas tesis, masalahnya adalah tidak semua mahasiswa magister bisa menulis, pintar, pembelajar, memiliki waktu, sabar, dan cukup uang atau kaya. Secara modalitas diri, mereka tak siap menjadi akademisi yang berkutat dengan buku-buku dan jurnal-jurnal, kemudian menulis; mereka tak terbiasa membaca, mengutip, dan menyulam ide-ide para penulis, apalagi melahirkan gagasan sendiri.
Proses
Tesis tidak berkualitas karena mahasiswa tidak bisa menulis, tidak menguasai materi, dan sedikit meluangkan waktu untuk membaca dan menulis. Mungkin ada dosen yang tak serius membimbing tetapi mahasiswa lebih berperan besar dalam menghasilkan tesis yang berkualitas.
Tesis yang bagus butuh waktu dan ketekunan dalam mengolah dan menganalisis data. Diperlukan penguasaan materi, metodologi, dan keterampilan menulis. Kuncinya kembali kepada kekuatan membaca dan berlatih menulis (Musfah, 2021: 230).
Sebagus apa pun kualitas bimbingan jika mahasiswanya lemah maka tesis akan buruk. Kesenjangan yang tinggi antara kapabilitas dosen dengan kapabiltas mahasiswa tidak akan berpengaruh baik terhadap mutu tesis. Mahasiswa tak dapat menuliskan ide-ide dosen atau ide-ide para penulis buku.
Jangankan menulis karya ilmiah, kesalahan teknis penulisan tesis masih sering ditemui. Kadang tesis kalah dari skripsi dari aspek teknis penulisan. Parahnya, dosen penguji kerap terjebak mengoreksi kesalahan teknis ini dibanding mengoreksi substansi tesis. Padahal waktu ujian terbatas. Mahasiswa tidak mendapatkan saran-saran yang konstruktif.
Ada tesis yang antara judul, temuan, pembahasan, dan kesimpulan tidak nyambung. Mahasiswa tidak berpikir berdasarkan teori, konsep, atau pola tertentu. Bisa dikatakan tidak rasional, tidak runut, atau tidak konsisten cara berpikirnya. Kompetensi mahasiswa rendah sehingga tidak bisa memahami arahan pembimbing atau buku-buku metodologi penelitian dan buku-buku teori.
Jika dosen memaksakan standar tesis kepada mahasiswa yang seperti ini maka ia tidak akan bisa menyelesaikannya. Ibarat kendaraan, kecepatannya sudah maksimal. Mahasiswa menyerah di tengah jalan. Biasanya dilakukan pergantian dosen pembimbing atau mahasiswa tak lulus kuliah.
Sebagian kecil mahasiswa ada yang bisa menghasilkan tesis yang bagus karena cerdas: dapat memahami arahan dosen dan buku-buku referensi, di samping kerja keras, ada waktu, dan tekun menulis. Tesisnya layak dimajukan menjadi artikel untuk diterbitkan di jurnal ilmiah.
Meski tesis belum dianggap selesai atau baik oleh dosen pembimbing dan dosen penguji, mahasiswa kerap meminta persetujuan dengan alasan tidak ada waktu lagi alias mepet: drop out/ semester delapan atau harus membayar uang semester baru. Yang terakhir sebenarnya bisa memperbaiki tesis, tinggal kemauan mahasiswanya.
Produk
Maka tesis-tesis yang dihasilkan tidak layak dibaca dan dijadikan rujukan. Ironisnya, tesis-tesis di perpustakaan kampus sering dijadikan rujukan mahasiswa. Mahasiswa tidak belajar dari buku-buku karya pakar tetapi dari tesis-tesis sudah jadi yang belum tentu bagus. Adagium tesis yang bagus adalah tesis yang selesai menegaskan hal tersebut.
Lebih menyedihkan jika tesis adalah hasil plagiasi atau hasil karya orang lain. Mahasiswa menduplikasi tesis orang lain atau membayar ghost writer untuk tesisnya.
Kita melahirkan banyak magister tetapi dengan mutu akademik yang sangat rendah. Daoed Joesoef (2017: 226) menulis, yang ada hanya sejumlah penyandang gelar kesarjanaan tanpa semangat ilmiah, tidak menghayati tradisi akademis, dan tidak kreatif.
Tesis adalah cermin kapasitas akademik mahasiswa sekaligus tempat ia menguji ide-ide pendahulunya dengan berbasis data-data yang valid. Hampir tidak terjadi diskusi yang menantang saat membimbing maupun menguji tesis. A. Chaedar Alwasilah (2019: 46) menulis, tesis Anda menunjukkan siapa Anda sesungguhnya. Semua orang mesti berupaya semaksimal mungkin agar tesis memenuhi kriteria.
Menurut Daoed Joesoef (2017: 230), bila kampus gagal dibina menjadi komunitas ilmiah, hilanglah satu-satunya modal yang begitu kita perlukan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan pendidikannya yang worthy by the name.
Untuk mengatasi masalah di atas dibutuhkan kebijakan yang berani dan tidak biasa oleh rektor. Rektor harus sadar bahwa kampus kita tidak sedang baik-baik saja. Apakah semua mahasiswa harus menulis? Apakah manfaat tesis buat kampus dan masyarakat?
Dari masalah ini, ada tiga solusi: penghapusan masa studi, magister nontesis, atau penurunan biaya semester saat penulisan tesis. Kebijakan pembatasan masa studi dan pembayaran penuh uang semester untuk mendorong percepatan penyelesaian studi, tetapi malah menjadi sebab rendahnya kualitas tesis.
Meminta mahasiswa untuk menambah satu semester untuk memperbaiki tesis hampir tidak bisa dilakukan karena rata-rata mereka bukan golongan kaya atau mampu secara ekonomi. Bisa jadi tujuan kuliah sebagian mereka adalah untuk meningkatkan ekonomi. Kualitas tesis terpinggirkan karena alasan kemanusiaan. Bisa jadi tidak semua kampus dan dosen seperti ini.
Magister nontesis berangkat dari teori kecerdasan jamak bahwa tidak semua orang bisa menulis, tidak semua mahasiswa akan menjadi akademisi atau ilmuwan, mahasiswa sudah berprofesi nondosen dan nonpeneliti, dan tesis menjadi sebab lamanya masa studi bahkan kegagalan penyelesaian studi. Kecuali itu, kewajiban tesis menumbuhsuburkan ghost writer, yang tidak menutup kemungkinan adalah dosennya sendiri.
Mungkin juga kita perlu mengoreksi model pembelajaran dan bimbingan tesis yang ada selama ini. Seperti dituliskan Suwito (2016: 345), banyak didapatkan dosen pembimbing yang kurang atau tidak membimbing. Daoed Joesoef (2017), kalau bangsa Inggris dan Amerika maju dalam ilmu pengetahuan, bukan karena mereka berbahasa Inggris, tetapi berhubung karena mereka telah menerapkan cara pembelajaran khas.
Disampaikan pada Diskusi Dosen FITK UIN Syahid Jakarta, Februari 2022. (sam/mf/ma)