Menyelami Makna Maha Suci Allah
Surah Al-Mulk dibuka dengan pujian "tabaaraka" atau maha suci. Kata ini, yakni "tabaaraka," terdapat di pangkal ayat pertama. Secara bahasa, kata "tabaaraka" semakna dengan kata "taqaddasa." Baik "tabaaraka" maupun "taqaddasa" dalam bahasa Indonesia bermakna maha suci. Kedua kata itu juga semakna dengan kata "nazzaha." Allah berfirman, "Maha Suci Allah yang menguasai (segala) kerajaan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu" (QS. Al-Mulk/67: 1).
Kata "tabaaraka," yang merupakan derivasi dari kata "al-barakah," dapat berarti bertambah dan bertumbuh, baik secara ruhani maupun jasmani. Oleh karena itu, dari kata ini muncul ucapan selamat yang kerap terdengar, yakni "baarakallah" atau ungkapan syukur "tabaarakallah." Dalam bahasa Al-Qur'an, kata "tabaaraka" menunjukkan bahwa zat-Nya adalah puncak kesempurnaan. Dia memiliki keagungan dan kehormatan tertinggi.
Dalam Tafsir Jalalain terungkap bahwa yang dimaksud Maha Suci Allah adalah bahwa Allah terbebas dari sifat-sifat makhluk, seperti bersifat temporer, lemah, merasakan lapar, mengantuk, dan lainnya. Allah juga terpelihara dari beranak dan diperanakkan, sebagaimana firman-Nya, "Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Tidak ada seorang pun yang setara dengan Dia" (QS. Al-Ikhlas/112: 3-4).
Jika diteliti, selain Al-Mulk, surah lain yang dibuka dengan kata "tabaaraka" adalah surah Al-Furqan. Allah menyatakan, "Maha Suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan (Al-Qur'an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam" (QS. al-Furqan/25: 1). Selain itu, kata "tabaaraka" juga terungkap dalam surah lain, seperti surah Al-A'raf/7 ayat 54, surah Ar-Rahman/55 ayat 78, dan surah Al-Mu'minun/24 ayat 14.
Selanjutnya, terdapat frasa musytarak (mengandung lebih dari dua makna). Pada ayat ini, frasa musytarak tersebut mengandung makna konotatif (majaz), bukan denotatif (hakiki atau makna sebenarnya). Frasa itu adalah "biyadihil mulku." Menurut Al-Zuhaili, kata "biyadihi" adalah konotatif, sementara kata "al-mulku" adalah denotatif.
Menurut Ibnu Katsir, frasa ini bermakna bahwa Allah mengatur semua makhluk sesuai kehendak-Nya. Tidak ada yang dapat menentang apa yang telah diputuskan-Nya, dan tidak ada yang mempersoalkan apa yang diperbuat-Nya. Hal itu terjadi karena keperkasaan-Nya, kebijaksanaan-Nya, dan keadilan-Nya. Kata musytarak tersebut juga terdapat dalam ayat, "Sesungguhnya orang-orang yang berjanji setia kepadamu (Muhammad), pada hakikatnya mereka berjanji setia kepada Allah. Tangan Allah di atas tangan mereka" (QS. Al-Fath/48: 10).
Ayat ini ditutup dengan ungkapan, "dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu." Kata "qadiir" dalam Al-Qur'an paling tidak dijumpai 36 kali. Salah satu yang relevan dengan makna ayat di atas adalah, "Katakanlah: 'Wahai Tuhan yang mempunyai kerajaan, Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki, dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu'" (QS. Ali Imran/3: 26).
Ahli tafsir seperti Al-Maraghi dan Al-Zuhaili membuat tiga kesimpulan tentang ayat ini. Pertama, Allah Maha Agung dengan segala sifat-Nya. Hal ini membedakan Allah dengan makhluk-Nya. Kedua, Allah adalah raja yang berkuasa penuh mengelola dunia dan akhirat. Ketiga, Allah adalah pemilik kekuasaan mutlak. Allah berkuasa memberi nikmat dan menyiksa, mengangkat dan menjatuhkan, serta memberi dan menolak siapa saja sesuai kehendak-Nya.
Artikel ini ditulis oleh:
Syamsul Yakin
Dosen MKPI FDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta