Menyadari Adanya Problem

Menyadari Adanya Problem

Prof Dr Nasaruddin Umar MA, Guru Besar Ilmu Tafsir Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Imam Besar Masjid Istiqlal

Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya.

(Mereka berdoa): "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami bersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang yang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri maaflah kami, ampunilah kami, dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir". (QS al-Baqarah/2:286).

Tak seorang pun bisa lolos di dalam kekhilafan dan kekeliruan. Memahami dan mengidentifikasi persoalan-persoalan pribadi (personal problems) berarti separuh problem dan beban hidup sudah terselesaikan. Beban hidup sering kali terasa berat bukan karena besarnya problem yang menumpuk di atas pundak, tetapi seringkali hanya karena kita tidak mampu memetakan problem itu.

Ada kalanya beban-beban hidup yang dirasakan itu sesungguhnya lebih merupakan problem psikologis ketimbang sebagai the real problems.

Terkadang hanya merupakan sebuah tantangan tetapi dirasakan sebagai persoalan. Pertama kali kita harus mampu memilah mana yang the real problems, mana yang hanya merupakan tantangan (challenge). Tantangan tidak mesti harus dianggap problem.

Problem diri kita sesungguhnya tidak terlalu berat, apalagi over weight. Justru tantangan itu dapat dimanfaatkan untuk mengangkat (up-grade) diri kita sehingga problem sesungguhnya bisa diselesaikan dengan full capability, sebagaimana diisyaratkan dalam ayat tersebut di atas.

Personal problems yang sering dirasakan oleh banyak orang ialah, pertama, adanya jarak antara tuntutan kerja dan kecenderungan hati nurani. Kata hatinya sesungguhnya tidak setuju dengan pekerjaannya, tetapi apa boleh buat, yang tersedia baginya hanya pekerjaan itu. Sehingga yang bersangkutan tidak pernah merasa full capacity di dalam melaksanakan pekerjaannya. Akibatnya, ia banyak tersedot energi di dalam pekerjaannya.

Dampaknya bisa ke mana-mana, bisa sampai kepada keluarga. Cara mengatasinya ialah penyerahan diri secara penuh kepada Allah SWT. Kita bisa menyabarkan diri kita dengan menerima pekerjaan itu sebagai takdir.

Kedua, kecenderungan hati nurani seringkali terkalahkan dengan cari untung. Bedanya yang pertama ialah yang kedua ini ada chooses, sedangkan yang pertama tidak ada choose. Yang kedua ini lebih didominasi oleh ambisi dan kerakusan sehingga nuraninya terkalahkan.

Nurani yang tertindas menghalangi orang untuk merasakan ketenangan dan kepuasan penuh. Bahkan kegelisahan dan rasa dikejar bayang-bayang tidak jelas senantiasa akan dirasakan.

Cara mengatasinya ialah kita harus berani mengambil keputusan yang memihak kepada keyakinan kita, bagi yang beragama Islam, tinggalkan jalan buntu sekalipun penuh kegemerlapan. Shalat istikharah untuk memohon the best choose di mata Allah SWT.

Ikrarkan pilihan itu dengan meneriakkan dalam hati: Bismillahi tawakkaltu ‘alallah, wala haula wala quwwata illa billah.

Ketiga, orang tua tidak mau bersabar menerima kenyataan pertumbuhan psikologis anaknya yang sedang menanjak remaja. Terkadang anaknya dianggap sebagai ‘musuh’ paling berat dan dia berusaha menaklukkannya. Akibatnya, persoalan tidak terselesaikan melainkan tambah runyam. Cara menyelesaikannya ialah sabar, memberi tuntunan, dan doa.

Masa transisi seorang anak tidak lama. Orang tua yang harus mengerti bahwa anaknya perlu mendapatkan bimbingan (Tut Wuri Handayani), bukannya memaksakan kehendaknya untuk mempercepat proses kedewasaan anak. Kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan persoalan secara tuntas.

Sumber: Tausiyah Republika. (sam/mf)