Menjaga Netralitas ASN Jelang Pilkada Serentak

Menjaga Netralitas ASN Jelang Pilkada Serentak

Oleh: Dr M Adian Firnas

INDONESIA akan menghadapi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 27 November 2024. Pilkada serentak ini merupakan pilkada dengan jumlah terbanyak karena diselenggarakan di 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota. Persoalan yang selalu muncul dalam kontestasi politik baik pemilu atau pilkada adalah netralitas ASN. Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) melaporkan pasca pemilu 2024 KASN menerima 481 laporan dugaan pelanggaran netralitas. Dari jumlah tersebut sebanyak 264 ASN terbukti melanggar dan 181 lainnya telah dijatuhi sanksi oleh pimpinan instansi mereka.

Kekhawatiran publik terkait netralitas sebagaimana disampaikan di atas tentu beralasan. Apalagi Bawaslu juga pernah merilis data dalam Pilkada 2020 terdapat 1.536 penanganan pelanggaran netralitas ASN dan 91 persen kasus tersebut kemudian direkomendasikan ke KASN. Data tersebut membuktikan bahwa persoalan ketidaknetralan ASN masih terus ada ditengah tuntutan perundangan yang mewajibkan setiap ASN menjunjung tinggi prinsip netralitas.

Fenomena di atas merupakan realitas yang tidak terbantahkan bahwa pelanggaran ASN selalu ada dalam tiap pemilu maupun pilkada. Padahal netralitas ASN adalah pilar penting dalam pembicaraan pilkada yang jujur, adil, demokratis, dan berkualitas. Netralitas ASN adalah suatu keharusan dalam agenda reformasi birokrasi untuk memastikan kepentingan negara dan rakyat secara keseluruhan berorientasi pada pelayanan publik.

Sehingga siapapun kekuatan politik yang memerintah, birokrasi tetap memberikan pelayanan terbaiknya dan tidak terkooptasi dengan kepentingan politik atau kekuasaan. Hal ini dikarenakan netralitas ASN adalah komplementer terhadap merit sistem yang dapat menciptakan sistem yang langgeng, berkesinambungan, stabil, dan imparsial (Eko Prasojo, 2023). Politisasi birokrasi atau birokrasi berpolitik jelas merusak tatanan birokrasi profesional yang dicita-citakan.

Dalam kenyataannya ASN seringkali berada dalam situasi dilematis ketika menghadapi pilkada. Secara teoritik, menurut Carino (1992), birokrasi itu adalah subordinasi dari politik (executive ascendancy). Bentuk executive ascendancy didasarkan pada anggapan bahwa kepemimpinan pejabat politik didasarkan atas kepercayaan bahwa supremasi mandat itu berasal dari rakyat yang dilegitimasikan melalui pemilihan umum. Dengan demikian birokrasi akan selalu dalam subordinasi politik dan berada dalam pengaruh kelompok yang menguasainya. Dalam situasi inilah Carino melihat birokrasi dapat terjebak dalam kepentingan politik praktis.

Kepala daerah yang dipilih secara demokratis akan menjadi pemimpin politik dan pemerintahan pada level regional.

Kekuasaan kepala daerah bukan hanya menentukan kebijakan pembangunan di wilayahnya tetapi juga memiliki kekuasaan administratif untuk menentukan karir dan jabatan ASN. Sebagai pemegang kekuasaan politik, mereka membutuhkan dukungan suara dan dukungan politik dalam berbagai bentuk yang berujung pada hubungan transaksional. Dampak buruknya dari relasi ini adalah mendorong ASN untuk terlibat dalam kegiatan politik praktis dengan harapan kelak akan mendapatkan imbalan sebagai akibat dari dukungan yang diberikannya. Dengan kata lain bagi kandidat tertentu memandang perlu menarik ASN sebagai mesin politiknya. Sementara bagi oknum ASN pilkada dilihat sebagai momentum untuk promosi jabatan dengan memihak pada kandidat tertentu.

Ada beberapa hal yang menyebabkan ASN menjadi dayatarik bagi kandidat tertentu. Pertama, ASN sangat efektif digunakan untuk memanipulasi pemilih dalam menentukan pilihan mereka. Tidak jarang intimidasi dilakukan untuk mengarahkan masyarakat untuk memilih kandidat tertentu. Kedua, ASN memiliki akses informasi dan menguasai lapangan dengan baik. Ketiga, keahlian teknis ASN dapat dimanfaatkan untuk kepentingan kandidat tertentu. ASN misalnya bisa terlibat sebagai “tim sukses” yang membantu menyusun visi misi dan program kandidat tertentu.

Keempat, ASN memiliki sumber daya dan kewenangan dalam mendistribusikan dana publik kepada masyarakat yang berpotensi dimanfaatkan oleh kandidat tertentu untuk memperoleh dukungan politik masyarakat. Celah-celah itulah yang dapat menyeret ASN dalam pusaran politik Pilkada yang bukan hanya menciderai jati diri ASN dan seharusnya netral.Namun juga melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah setempat dan tentu saja bertentangan dengan keinginan kita semua untuk menghadirkan pemilu yang berkualitas.

Asas netralitas yang diatur dalam UU ASN No. 20 Tahun 2023 melekat pada diri ASN.

Asas itulah yang harus dilaksanakan dan diamalkan oleh seluruh ASN, bukan hanya diterima saja. Selain itu ASN juga memiliki beberapa nilai dasar yang inheren dalam dirinya. Seperti harus setia dan harus membela Pancasila dan UUD 1945, dia harus loyal pada pejabat politik yang menjadi atasannya. Bukan berarti harus sama golongan politiknya.

Kemudian berkaitan dengan itu ASN harus netral dalam melaksanakan tugasnya dari intervensi-intervensi politik, dia harus netral juga dari pengaruh-pengaruh primordial. Tidak boleh mendahulukan dengan dasar persamaan agama, suku, atau golongan.

Tulisan kecil ini sebenarnya ingin memberikan early warning bahwa potensi ketidaknetralan pada pilkada serentak bisa muncul kembali. Bila ini terulang, makin menunjukkan bahwa persoalan netralitas ini adalah persoalan sistemik yang sulit dihindarkan dan menjadi benang kusut dalam upaya melakukan reformasi birokrasi. Tidak kalah penting dalam konteks demokrasi tentu menjadi krusial ketika publik menghendaki terlaksananya pemilu yang jujur, adil, dan demokratis. Butuh keseriusan pihak terkait untuk melakukan pengawasan dan pemberian sanksi yang tegas bagi pelanggaran netralitas. Demikian juga meritokrasi jabatan harus menjadi fondasi penting dalam pengelolaan jenjang karir ASN. Sehingga tidak ada yang perlu melakukan manuver politik untuk mempertahankan atau mendapatkan jabatan. Tanpa itu pelanggaran akan terus terjadi dan menjadi hal yang biasa.

 Dr M Adian Firnas, Dosen Hubungan Internasional, FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Artikelnya di publikasikan  Senin, 10 Juni 2024 di Kolom Opini Suara Merdeka, dapat diakses melalui https://www.suaramerdeka.com/opini/0412882075/menjaga-netralitas-asn-jelang-pilkada-serentak