Menjaga Nafas Konstitusi
Ahmad Tholabi Kharlie
Delapan dekade adalah usia yang tidak muda bagi sebuah bangsa. Indonesia telah melewati gelombang pasang-surut sejarah. Mulai dari perjuangan mempertahankan kemerdekaan, pergolakan politik, hingga transisi demokrasi.
Namun, pada setiap perayaan kemerdekaan, ada satu hal yang seringkali luput dari sorotan publik, yakni bagaimana kita menjaga janji konstitusi yang lahir sehari setelah proklamasi. Janji itu bukan sekadar teks di atas lembaran kertas, tapi nafas yang menghidupkan demokrasi kita.
Penjaga Konstitusi
Setiap bulan Agustus, kita diingatkan pada dua momentum penting dalam arsitektur ketatanegaraan Indonesia, yakni Hari Kemerdekaan dan Hari Konstitusi.
Kedua peristiwa ini bukan sekadar rentetan kronologis. Keduanya menjadi titik simpul identitas bahwa Indonesia lahir sebagai negara bangsa yang tidak hanya merdeka, tapi juga berkonstitusi.
Perjalanan panjang bangsa ini membuktikan bahwa kemerdekaan bukan hanya soal lepas dari penjajahan, tapi juga kemampuan menjaga tatanan hukum yang adil. Konstitusi hadir sebagai janji bersama untuk hidup di bawah aturan yang menjamin kebebasan, kesetaraan, dan keadilan. Dan, Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi salah satu penjaga janji itu. MK tampil menjadi guardian of the constitution, penjaga konstitusi.
Selama dua dekade ini, kita menyaksikan sejumlah putusan MK yang mempertegas komitmen lembaga ini dalam melindungi hak-hak konstitusional warga negara. Perkara tentang kebebasan berserikat, hak atas lingkungan hidup yang sehat, hingga kesetaraan di hadapan hukum menjadi contoh nyata keberpihakan MK pada prinsip-prinsip konstitusi.
Sikap ini mengingatkan kita pada pandangan Alexander Hamilton dalam The Federalist Papers (1788) bahwa pengadilan adalah “benteng dari konstitusi yang membatasi” potensi pelanggaran kekuasaan legislatif.
Namun, apresiasi ini tidak boleh membuat kita lalai. Demokrasi Indonesia kini berada pada lanskap yang semakin kompleks. Globalisasi, percepatan teknologi informasi, serta meningkatnya polarisasi politik telah menciptakan tantangan baru. MK tidak hanya memutus perkara hukum, tetapi juga harus menjaga legitimasi publik di tengah derasnya arus opini dan tekanan politik.
Ahli hukum konstitusi, Aharon Barak (2006), pernah mengingatkan, mahkamah konstitusi hanya dapat bertahan sebagai penjaga nilai jika ia memelihara integritas, transparansi, dan keterbukaan terhadap akuntabilitas publik. Artinya, kekuatan MK bukan hanya terletak pada bunyi putusannya, tapi juga pada proses dan cara ia menjaga kepercayaan publik.
Agenda Penguatan
Ke depan, setidaknya ada empat agenda penguatan yang perlu menjadi perhatian. Pertama, memastikan integritas hakim konstitusi melalui proses rekrutmen yang transparan dan bebas intervensi politik. Publik harus yakin bahwa para hakim duduk di kursi mahkamah karena kapasitas dan integritasnya, bukan karena afiliasi atau kompromi kekuasaan.
Kedua, memperluas akses keadilan konstitusional. Banyak warga yang belum memahami bagaimana mengajukan pengujian undang-undang atau menyelesaikan sengketa kewenangan lembaga negara di MK. Literasi konstitusi harus diperkuat. Seperti diingatkan Kofi Annan (2004) bahwa masyarakat tanpa supremasi hukum adalah masyarakat tanpa keadilan, dan tanpa keadilan tidak akan ada perdamaian.
Ketiga, adaptasi terhadap teknologi hukum. Digitalisasi proses persidangan, publikasi putusan yang interaktif, hingga pemanfaatan artificial intelligence (AI) untuk riset hukum dapat membuat MK lebih responsif sekaligus transparan.
Keempat, memperluas jejaring internasional. Tantangan konstitusional tidak hanya dialami Indonesia. Belajar dari praktik negara lain akan memperkaya perspektif dan memperkuat kapasitas MK menghadapi persoalan yang terus berkembang.
Sejatinya, delapan dekade kemerdekaan adalah momentum yang tepat untuk meneguhkan kembali cita-cita yang diwariskan para pendiri bangsa, yakni Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur.
MK memegang peran strategis dalam memastikan agar cita-cita itu tetap berada di jalurnya. Tentu, jalan ini tidak selalu mulus. Tekanan politik, perubahan sosial yang cepat, dan harapan publik yang tinggi akan terus menguji ketangguhan lembaga ini.
Namun, jika integritas tetap dijaga, proses hukum dilaksanakan dengan terbuka, dan putusan diambil berdasarkan keberanian moral, MK akan terus menjadi tiang penyangga demokrasi dan negara hukum.
Seperti sungai yang mengalir tanpa henti menuju laut, konstitusi adalah arus yang memberi arah bagi perjalanan bangsa. MK adalah penjaga hulunya untuk menyaring setiap kotoran yang mengancam kejernihan air dan memastikan alirannya tetap setia menuju muara keadilan.
Di tengah riuh rendah zaman, ketika kata “demokrasi” sering diperdebatkan dan hukum kerap diuji oleh kepentingan, MK harus tetap berdiri tegak. Ia bukan sekadar gedung megah di jantung ibu kota, melainkan mercusuar yang memberi cahaya di kala gelap, penunjuk arah agar kapal besar bernama Indonesia tidak terhempas badai.
Delapan puluh tahun kemerdekaan adalah kisah tentang keberanian. Keberanian para pendiri bangsa merajut kemerdekaan dan keberanian rakyat untuk mempertahankannya.
Dan kini, keberanian MK menjaga nafas konstitusi agar tetap hidup di dada setiap warga negara. Sebab, selama konstitusi berdenyut, selama itu pula kemerdekaan kita akan bernilai.***
Penulis adalah Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pengurus Pusat APHTN-HAN. Artikel dimuat di kolom opini Kompas.com, Jumat 15 Agustus 2025. https://nasional.kompas.com/read/2025/08/15/16083351/menjaga-nafas-konstitusi?page=all#page2