Menjaga Moralitas Pemerintahan Presidensial

Menjaga Moralitas Pemerintahan Presidensial

Ferdian Andi

 

Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto yang dimulai pada 20 Oktober 2024 memiliki tantangan yang tidak ringan. Titik krusial pemerintahan Prabowo justru muncul dari internal pemerintahan dengan dukungan dari mayoritas partai politik baik di parlemen maupun partai politik nonparlemen.

Secara teoretis, dukungan tersebut akan menjadikan pemerintahan berjalan akseleratif. Program kerja pemerintah dapat mudah disepakati di parlemen. Namun, pada saat yang bersamaan, dukungan partai politik yang melimpah justru berpotensi pada keroposnya moralitas pemerintahan presidensial.

Ruang kawal bimbang (checks and balances) menjadi tidak optimal. Sikap politik parlemen ditentukan oleh arah angin eksekutif. Posisi eksekutif tampak lebih dominan dari lembaga legislatif.

Pengalaman pemerintahan Presiden Joko Widodo selama satu dekade ini memberi pelajaran penting tentang penumpukan dukungan di parlemen menjadikan kekuasaan presiden tak mendapat kontrol optimal dari parlemen.

Sejumlah produk legislasi dan kebijakan yang terbit di era pemerintahan Joko Widodo tak mendapatkan umpan balik (feedback) secara kritis dari parlemen. Alih-alih, membuka ruang artikulasi publik yang bermakna (meaningful participation), parlemen berubah menjadi lembaga stempel proposal kebijakan presiden.

Padahal, dalam sistem pemerintahan presidensial yang meniscayakan munculnya ruang kawal imbang antarlembaga, kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif terpisah satu dengan lainnya (separation of power) baik dari fungsi maupun kedudukannya. Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan (Pasal 4 Ayat 1 UUD 1945), sedangkan DPR menjalankan fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan (Pasal 20A Ayat 1 UUD 1945).

M Steven Fish dalam Electoral Authoritaniarism, The Dynamics of Unfree Competition (2006) menyebutkan sistem presidensial dinilai mengurangi risiko kesalahan radikal yang bisa saja terjadi apabila kekuasaan legislatif dan eksekutif bersumber dari satu sumber. Dalam sistem ini, lembaga legislatif dan lembaga eksekutif memiliki kemampuan untuk kawal imbang satu dengan lainnya lantaran setiap lembaga mendapat legitimasi langsung dari rakyat.

Dalam konteks tersebut, pemerintahan Presiden Prabowo harus memastikan pelaksanaan sistem presidensial berjalan sesuai desain konstitusi. Pemerintahan baru harus terhindar dari jebakan yang bakal memukul mundur reformasi dan demokrasi. Terlalu besar risiko apabila menyimpang dari desain demokrasi dan konstitusi.

Apalagi, sejumlah temuan terhadap indeks demokrasi (democracy index) dan indeks negara hukum (rule of law index) di Indonesia dalam satu dekade terakhir ini menunjukkan angka yang tidak menggembirakan. Seperti indeks demokrasi di Indonesia dalam satu dekade terakhir, merujuk data The Economist Intelegence Unit (EIU) di kisaran angka 6,30-6,71 dengan skala 0-10, berada dalam kategori flawed democracy. Sementara indeks negara hukum dalam satu dekade mengalami stangnasi di kisaran angka 0,52-0,53 dengan skala 1 sebagai angka tertinggi.

Tabel ekonomi

 

Jebakan presidensial

Pengelolaan sistem pemerintahan presidensial secara teoretis menjamin stabilitas politik. Kekuasaan eksekutif dan legislatif tidak saling tergantung satu dengan lainnya, setiap kekuasaan memiliki kemandirian. Model pemerintahan ini, dalam tataran yang ideal, akan melahirkan keseimbangan antara kekuasaan eksekutif dan legislatif.

Namun, bukan tanpa risiko pilihan model sistem pemerintahan ini. Juan J Linz dalam The Perils of Presidentialism (1990) mengingatkan potensi kekuasaan eksekutif yang berlebih dalam praktik sistem presidensial. Hal ini dipicu sikap presiden yang merasa satu-satunya yang dipilih langsung oleh seluruh rakyat.”

Presiden mengonversi pemilihnya sebagai suara seluruh rakyat. Akibatnya, menurut Linz, kebijakan yang diterbitkan dianggap merepresentasikan seluruh rakyat. Kritik atau pendapat yang kontra dianggap mewakili kepentingan yang sempit.

Seturut dengan hal tersebut, Guillermo O’Donnell dalam Democracy Delegative (1994) mengilustrasikan tentang premis siapa saja yang memenangkan pemilihan presiden berhak memerintah sesuai keinginannya yang hanya dibatasi pada fakta mengenai hubungan kekuasaan dan batasan masa jabatan. Presiden dianggap penentu utama dan penjaga kepentingan negara. Akibatnya, lembaga legislatif dan yudikatif lemah dengan pengawasan yang minimalis.

Efek lainnya, dalam pengambilan keputusan berlangsung cepat dengan memusatkan pada tanggung jawab pelaksanaannya pada presiden. Dampaknya, figur presiden mengalami perubahan popularitas yang cepat; suatu hari dipuja, tetapi tak berselang lama dihujat. Keadaan tersebut, O’Donnell sebut sebagai potret demokrasi delegatif.

Peringatan jebakan dalam praktik sistem presidensial patut menjadi bahan refleksi di awal pemerintahan Prabowo Subianto ini. Apalagi, praktik sistem pemerintahan presidensial telah dicontohkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004-2014 dan Presiden Jokowi pada 2014-2024.

Praktik pemerintahan presidensial di dua presiden itu menjadi pembelajaran yang baik bagi pemerintahan Prabowo dengan memegang prinsip; mengambil pelajaran yang baik dan meninggalkan pelajaran yang tidak baik.

Tidak hanya itu, sejumlah kajian akademik dari para sarjana atas praktik sistem pemerintahan presidensial di sejumlah negara memunculkan sejumlah terminologi yang patut dicermati. Seperti super-presidentialism (Regina Rose Goodnow, 2003), crown presidential (Wiliam Partlet, 2022), serta hyper-presidentialism (Susan Rose Ackerman, Diane A Disierto, & Natalia Volosin, 2011) yang secara umum memotret praktik pemerintahan presidensial ke praktik otoritarianisme dengan mengabaikan prinsip cheks and balances dan melahirkan penumpukan kekuasaan presiden.

 

Jalan minimalis

Keputusan Presiden Prabowo membentuk Kabinet Merah Putih dengan postur yang besar berdampak pada pembengkakan organ kementerian dan organ lainnya di lingkungan lembaga kepresidenan. Konsekuensinya, personel menteri, wakil menteri, dan pejabat di lingkungan presiden secara kuantitatif turut membengkak.

Pembentukan kabinet tambun pemerintahan Prabowo didasari pada argumentasi persatuan dan gotong royong. Pilihan tersebut taktis jika dilihat dalam perspektif akselerasi pemerintahan, khususnya dalam relasi eksekutif dan legislatif. Namun, pada saat yang bersamaan, pilihan itu berpotensi kuat menutup ruang kawal imbang dari lembaga legislatif. Kebijakan eksekutif tak mendapatkan kontrol optimal dari lembaga legislatif.

Pada situasi tersebut, legislatif dan eksekutif dapat menempuh jalan yang paling minimalis dengan mengaktifkan fungsi dan prinsip konstitusional di tiap-tiap lembaga. Prinsip fundamental dalam kerja legislasi, pengawasan, dan penganggaran seperti partisipasi, akuntabilitas, dan transparansi tak dapat ditanggalkan hanya karena mayoritas kekuatan politik berada di sisi kekuasaan pemerintahan. Parlemen menjadi ruang artikulatif bagi publik sebagai tempat udar gagasan dan aspirasi.

Namun, pada sisi yang lain, formasi politik di parlemen yang mayoritas berada di sisi kekuasaan eksekutif juga tak ditampik sebagai realitas politik. Dukungan mayoritas kekuatan politik di parlemen mestinya menjadi modal penting untuk mengorkestrasi kebijakan yang pro-rakyat. Apalagi dalam pidato perdana seusai pelantikan, Presiden Prabowo di hadapan anggota MPR menegaskan komitmennya tentang kebijakan yang pro-rakyat.

Menempuh jalan minimalis dengan menyandingkan prinsip dasar pengelolaan negara yang baik dengan realitas politik di lapangan bukanlah perkara yang mudah. Pengalaman pemerintahan Jokowi dalam satu dekade terakhir ini mengonfirmasi hal tersebut.

Tantangan tak mudah juga bakal dihadapi pemerintahan Prabowo yang dituntut menegakkan moralitas pemerintahan presidensial di tengah surplus dukungan politik di parlemen. Tidak mudah bukan berarti mustahil diwujudkan. (zm)

 

Penulis adalah Direktur Eksekutif Pusat Kajian Kebijakan Publik dan Hukum (Puskapkum), Pengajar HTN/HAN di Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta. Artikelnya dimuat dalam kolom Koran KOMPAS, Rabu 27 November 2024, dan bisa diakses di https://www.kompas.id/baca/opini/2024/11/26/menjaga-moralitas-pemerintahan-presidensial?utm_source=link&utm_medium=shared&utm_campaign=tpd_-_android_traffic