Menjaga Kesehatan Mental di Era Digital
Prof. Asep Saepudin Jahar, M.A., Ph.D.
Hari ini, 10 Oktober, dunia memperingati Hari Kesehatan Mental Sedunia (World Mental Health Day). Tahun ini temanya menurut WHO adalah “Mental Health is a Universal Human Right”.
Tema yang tampak sederhana, tapi sangat relevan bagi masyarakat digital yang makin bising, cepat, dan lelah.
Dalam laporan World Mental Health Report 2023, WHO mencatat peningkatan kasus gangguan kecemasan dan depresi global hingga 25 persen dalam dua tahun terakhir.
Ironisnya, kenaikan itu justru terjadi di tengah kemajuan teknologi komunikasi dan kemudahan hidup. Kita hidup dalam dunia yang semakin terkoneksi. Tetapi, kata filsuf Jerman Byung-Chul Han, juga “semakin sepi.”
Fenomena ini melanda semua lapisan: mahasiswa yang tenggelam dalam perbandingan sosial di media, pekerja muda yang kehilangan gairah karena “burnout produktivitas”, bahkan pejabat publik yang terjebak dalam tekanan citra.
Maka, isu kesehatan mental kini bukan hanya masalah pribadi, tetapi juga soal sosial dan kebijakan publik bahkan, soal moralitas peradaban.
Sebagai Rektor di Universitas Islam Negeri, saya sering merenung: bagaimana kampus tempat orang belajar dan berjuang bisa menjadi ruang pemulihan jiwa di tengah hiruk-pikuk algoritma digital? Bagaimana ilmu dan iman bisa kembali bersenyawa sebagai terapi kebangsaan?
Kelelahan Sosial dan Krisis Makna
Lebih dari seabad lalu, sosiolog Émile Durkheim dalam karya klasiknya Suicide (1897) menulis tentang anomie, keadaan di mana individu kehilangan arah moral karena perubahan sosial yang cepat.
Manusia modern, katanya, “mati bukan karena kelaparan fisik, tapi karena kelaparan makna.”
Kini, gejala anomie itu menjelma dalam bentuk baru: digital fatigue.
Kita terus terhubung, tapi jarang benar-benar berjumpa. Kita tersenyum dalam emoji, tapi menangis di kamar yang sunyi. Kita menatap layar, bukan wajah.
Kita menilai diri dari likes, bukan dari laku. Psikolog sosial Sherry Turkle dari MIT menyebut fenomena ini sebagai “the flight from conversation” pelarian dari percakapan nyata menuju simulasi kehadiran.
Manusia kehilangan “ruang hening” untuk merenung, sementara media sosial terus menuntut tampil, berpendapat, dan menilai.
Dalam tradisi Islam, kegelisahan seperti ini disebut ghaflah — kelalaian hati dari kesadaran akan hakikat diri dan Tuhan.
Imam Al-Ghazali dalam Ihya’ Ulum al-Din menyebut ghaflah sebagai “penyakit ruhani yang membuat manusia sibuk dengan yang banyak, tapi jauh dari yang hakiki.”
Modernitas menjanjikan kemudahan, tapi sekaligus menghadirkan ketercerabutan: manusia terlepas dari makna, dari komunitas, bahkan dari dirinya sendiri.
Kita hidup di zaman di mana “segala sesuatu diukur, tetapi sedikit yang dipahami.” Di sinilah saya melihat krisis kesehatan mental sesungguhnya adalah krisis spiritualitas sosial. Kelelahan batin bukan hanya akibat beban kerja, melainkan akibat kehilangan arah hidup.
Spiritualitas sebagai Terapi Sosial
Sains modern telah mulai mengakui dimensi spiritual sebagai komponen kesejahteraan. Dalam Lancet Psychiatry (2022), para peneliti menunjukkan bahwa kehadiran makna hidup dan keimanan yang sehat berkorelasi positif dengan pemulihan depresi dan kecemasan.
Bahkan, studi di Harvard (Human Flourishing Program, 2021) menemukan bahwa partisipasi dalam kegiatan keagamaan dan sosial memperpanjang umur serta menurunkan risiko bunuh diri.
Namun spiritualitas yang dimaksud bukan ritual semata. Spiritualitas sosial adalah kesadaran bahwa manusia saling terhubung oleh nilai-nilai yang lebih tinggi dari kepentingan pribadi.
Ia memulihkan hubungan yang rusak: antara manusia dan Tuhan, manusia dan sesama, serta manusia dengan alam.
Dalam khazanah Islam, konsep ini dikenal dengan tazkiyatun nafs — pembersihan jiwa dari penyakit batin seperti iri, cemas, marah, dan serakah.
Bagi Al-Ghazali, kesehatan batin adalah syarat kesehatan sosial. Jiwa yang bersih menumbuhkan masyarakat yang adil dan damai.
Dalam tradisi tasawuf sosial, sebagaimana ditulis Seyyed Hossein Nasr dalam Man and Nature, manusia modern perlu “menemukan kembali kesucian dalam keseharian.”
Artinya, teknologi dan kemajuan tidak perlu ditolak, tetapi harus disertai kesadaran moral: setiap inovasi harus memuliakan kehidupan, bukan mempercepat kelelahan manusia.
Spiritualitas sosial tidak mengasingkan diri dari dunia, tetapi menghadirkan jiwa dalam dunia. Ia memulihkan sense of belonging perasaan menjadi bagian dari sesuatu yang lebih luas dari ego.
Kampus, Negara, dan Ruang Sunyi
Di universitas, saya sering melihat dua wajah mahasiswa: yang cemerlang secara akademik, tetapi rapuh secara emosional.
Mereka pandai berargumentasi, namun sulit beristirahat dari kekhawatiran. Kampus seharusnya bukan sekadar pabrik gelar, melainkan laboratorium kemanusiaan tempat di mana akal diasah, hati dijaga, dan empati dilatih.
Kita perlu memulihkan “ruang sunyi akademik”: ruang untuk membaca tanpa tergesa, berdialog tanpa menghakimi, merenung tanpa cemas dilupakan algoritma.
Dalam McMindfulness: How Mindfulness Became the New Capitalist Spirituality (2019), Ronald Purser mengkritik bagaimana praktik spiritual di era digital sering direduksi menjadi teknik produktivitas meditasi dijadikan alat efisiensi, bukan pemulihan moral.
Ini bahaya yang sama bisa terjadi pada dunia pendidikan: ketika kesejahteraan mental hanya dilihat sebagai “problem manajemen stres,” bukan refleksi krisis kemanusiaan.
Negara, dalam hal ini, juga memiliki tanggung jawab besar. Kesehatan mental adalah hak asasi, sebagaimana diakui WHO dan kini ditegaskan dalam Universal Health Coverage Agenda 2030. Tetapi kebijakan publik sering berhenti di hilir: pada pelayanan medis dan obat, bukan pada penyebab sosial seperti kesenjangan ekonomi, budaya kompetitif, dan isolasi digital.
Kita butuh kebijakan yang lebih integratif kebijakan yang menyentuh akar spiritual dan kultural masyarakat.
Misalnya, mendorong komunitas berbasis nilai, memperkuat pendidikan karakter di kampus, dan menghidupkan budaya gotong royong digital saling menjaga di ruang maya seperti kita menjaga di dunia nyata.
Sebagai rektor, saya melihat tanggung jawab ini mulai dari lingkungan kampus sendiri: memastikan setiap mahasiswa memiliki akses konseling, ruang ekspresi, dan suasana belajar yang menumbuhkan ketenangan batin. Ilmu harus menyehatkan, bukan menekan.
Dari Individu ke Bangsa: Menyembuhkan Jiwa Kolektif
Kesehatan mental bukan sekadar urusan individu, tapi cermin kondisi jiwa bangsa.
Ketika masyarakat dipenuhi kemarahan di media sosial, saling hujat karena perbedaan pandangan, itu tanda bahwa kita sedang mengalami kelelahan emosional kolektif.
Sosiolog Zygmunt Bauman dalam Liquid Modernity (2000) menggambarkan masyarakat modern sebagai cair: semua serba cepat, identitas mudah larut, hubungan tak bertahan lama.
Dalam kondisi itu, solidaritas melemah, kepercayaan publik menipis, dan kesepian menjadi epidemi baru.
Indonesia, dengan kekayaan religiusitas dan tradisi sosialnya, sebenarnya memiliki sumber daya moral untuk melawan krisis ini: nilai ukhuwah, gotong royong, dan tenggang rasa.
Namun nilai-nilai itu kini perlu direvitalisasi dalam konteks digital: bagaimana menciptakan ruang daring yang teduh, bukan gaduh; ruang dialog, bukan debat.
Kita perlu membangun spiritualitas digital — kesadaran bahwa teknologi hanyalah alat, bukan tuhan baru. Bahwa kecepatan tidak boleh menghapus keheningan, dan koneksi tidak boleh menggantikan kedekatan.
Dalam konteks kebangsaan, well-being (kesejahteraan) bukan hanya urusan ekonomi, tetapi urusan makna. Negara yang sejahtera bukan yang hanya makmur, tapi yang warganya merasa damai, berguna, dan berharga.
Sebagaimana diingatkan Amartya Sen dalam Development as Freedom (1999): pembangunan sejati bukan peningkatan pendapatan, melainkan perluasan kebebasan manusia untuk menjadi dirinya secara utuh.
Refleksi: Menemukan Kembali Keheningan
Mungkin bangsa ini tidak kekurangan pembangunan, tapi kekurangan keheningan.
Kita punya gedung tinggi, tapi jarang punya waktu merenung. Kita sibuk bicara, tapi jarang mendengar. Kita mengejar “hebat”, tapi lupa menjadi “sehat”.
Kesehatan mental dan kesejahteraan spiritual adalah dua sisi dari satu jiwa yang sama. Keduanya tidak bisa dibangun dengan obat semata, tapi dengan nilai.
Negara harus menumbuhkan kebijakan yang manusiawi; kampus harus menumbuhkan budaya belajar yang menenangkan; keluarga harus menjadi tempat pulang yang memulihkan. Dalam tasawuf, ada istilah sukun: diam yang hidup.
Diam bukan karena kalah, tapi karena sadar. Dalam diam yang jernih, manusia bisa kembali melihat makna hidupnya.
Sehat bukan berarti bebas dari depresi, tapi mampu menemukan alasan untuk tetap berharap. Di tengah dunia yang semakin cepat, mungkin kebangkitan bangsa justru dimulai dari keberanian untuk melambat.
Karena sebagaimana ditulis filsuf Perancis Pascal, “Seluruh masalah manusia berakar dari ketidakmampuannya duduk tenang sendirian di kamar.”
Maka pada Hari Kesehatan Mental Dunia ini, mari kita belajar duduk sejenak — menenangkan diri, menata hati, dan menyapa jiwa yang lelah. Sebab bangsa yang kuat dimulai dari warga yang tenang. Dan jiwa yang tenang adalah tanda negara yang beradab.
Artikel ini telah dipublikasikan di kolom opini Disway, Jumat, 10 Oktober 2025