Menjaga Distingsi, Merawat Warisan: UIN Jakarta dan Spirit Mazhab Ciputat di Tengah Transformasi PTKIN

Menjaga Distingsi, Merawat Warisan: UIN Jakarta dan Spirit Mazhab Ciputat di Tengah Transformasi PTKIN

Oleh: Murodi, Arief Subhan, dan Study Rizal LK*

Pemerintah kembali melangkah maju dalam proses transformasi kelembagaan pendidikan tinggi keagamaan Islam. Melalui Kementerian Sekretariat Negara, delapan dari sebelas Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN), sebelumnya Institut Agama Islam Negeri (IAIN), secara resmi menerima Peraturan Presiden yang mengesahkan perubahan bentuk mereka menjadi Universitas Islam Negeri (UIN). Momentum ini ditandai dengan rilis Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (Diktis) Kementerian Agama, yang menyiratkan harapan besar agar UIN tak sekadar berubah dalam struktur, tetapi juga dalam kualitas kontribusinya bagi bangsa.

Wakil Menteri Sekretaris Negara, memberikan pesan yang kuat: setelah menjadi UIN, PTKIN harus mencetak lulusan yang mampu menggerakkan Indonesia ke depan—dalam isu-isu strategis seperti pangan, energi, hilirisasi, hingga teknologi digital. Sementara itu, Menteri Agama Prof. Nasaruddin Umar menggarisbawahi bahwa PTKIN tidak boleh kehilangan distingsi moralnya sebagai lembaga keilmuan yang mengakar pada nilai-nilai keislaman.

Pernyataan ini tentu menggugah refleksi mendalam, terutama bagi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta—institusi yang sudah lebih dari dua dekade menjalani transformasi dari IAIN menjadi UIN. Di sinilah pentingnya membaca ulang posisi UIN Jakarta dalam konteks keilmuan dan sejarah pemikiran. Sebab, lebih dari sekadar lembaga, UIN Jakarta adalah rumah intelektual bagi apa yang oleh banyak kalangan disebut sebagai Mazhab Ciputat.

Mazhab ini bukan institusi formal, melainkan jejaring pemikiran progresif yang tumbuh dari denyut intelektual kampus, ruang-ruang diskusi, dan karya-karya para pemikirnya. Ia berakar pada pembaruan keislaman Harun Nasution, menyerap semangat rasionalitas dan inklusivitas dari Nurcholish Madjid, lalu berkembang menjadi laboratorium gagasan yang berani menerobos batas-batas disiplin ilmu. Dalam lanskap ini, UIN Jakarta bukan sekadar kampus, melainkan medan dialektika antara teks dan konteks, antara Islam dan realitas sosial-politik Indonesia.

Namun pertanyaannya kini: setelah dua puluh tahun lebih menyandang nama UIN, sejauh mana distingsi ini masih hidup dan dihidupi?

Transformasi dari IAIN ke UIN sejatinya adalah langkah besar untuk menegaskan bahwa ilmu keislaman tidak berada dalam ruang hampa. Prof. Azyumardi Azra, sebagai rektor terakhir IAIN dan rektor pertama UIN, adalah sosok sentral dalam transisi ini. Beliau meyakini bahwa pemisahan antara ilmu agama dan ilmu umum adalah warisan kolonial yang tidak lagi relevan di era modern. Islam, dalam pandangan beliau, harus hadir sebagai kekuatan pencerahan yang mampu berdialog dengan sains, teknologi, ekonomi, dan humaniora.

Azyumardi tidak hanya memimpikan integrasi ilmu, tapi mewujudkannya secara konkret melalui pembukaan fakultas-fakultas baru, seperti Psikologi, Sains dan Teknologi, Kedokteran dan Ilmu Kesehatan—dikembangkan selanjutnya dengan berdirinya Fakultas Ekonomi dan Bisnis, serta Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. UIN Jakarta menjadi pionir nasional bahkan global dalam menampilkan wajah Islam yang tidak anti-modernitas, tapi justru menjadikannya ruang ekspansi misi kenabian: menyampaikan risalah dengan pendekatan yang relevan dan membebaskan.

Di sinilah warisan Mazhab Ciputat menemukan relevansinya kembali. Spiritnya adalah keberanian berpikir kritis dalam bingkai keimanan. Ia menolak fundamentalisme, tapi juga tidak larut dalam relativisme. Ia menegaskan bahwa menjadi sarjana Muslim berarti menjadi manusia merdeka, yang berpikir dengan akal sehat dan bertindak dengan etika.

Maka, ketika pemerintah menekankan pentingnya distingsi lulusan UIN dalam menjawab tantangan bangsa, UIN Jakarta seharusnya menyambutnya bukan dengan beban, tetapi dengan kesadaran historis. Kita pernah memiliki landasan kuat untuk itu—visi integratif yang tidak hanya menghasilkan lulusan beriman, tetapi juga cakap secara intelektual dan sosial.

Kini tantangannya bukan sekadar kurikulum atau nomenklatur, tetapi bagaimana semangat pembaruan itu tetap hidup. Apakah ruang-ruang kelas masih membuka kebebasan berpikir? Apakah penelitian dosen dan mahasiswa masih menyuarakan keberpihakan pada keadilan sosial? Apakah UIN masih menjadi tempat lahirnya kritik-kritik bernas atas problem keumatan dan kebangsaan?

Jika tidak, maka yang tersisa hanyalah nama besar dan nostalgia.

Transformasi institusional memang penting. Namun lebih penting lagi adalah transformasi cara berpikir. Sebab, distingsi sejati sebuah universitas tidak hanya terletak pada bentuk dan ijazah, tetapi pada keberanian moral dan intelektual untuk terus bertanya dan menjawab persoalan zaman. Dan di sinilah Mazhab Ciputat—yang tumbuh di jantung UIN Jakarta—harus terus disuarakan, bukan sebagai slogan, tetapi sebagai kompas arah keilmuan dan kemanusiaan.

* Penulis adalah “Trio MAS” Dosen Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.