Meninjau Kondisi Ekonomi Indonesia di Tengah Kekacauan Global
Oleh: Mohammad Nur Rianto Al Arif
Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta/Asisten Utusan Khusus Presiden Bidang Ketahanan Pangan/Sekjen DPP Asosiasi Dosen Indonesia
Dunia sedang menghadapi turbulensi ekonomi yang kian kompleks dan multidimensi. Ketegangan geopolitik di berbagai belahan dunia, perubahan iklim yang kian ekstrem, perlambatan ekonomi China, serta tren suku bunga tinggi di Amerika Serikat telah menciptakan tekanan berat bagi ekonomi global. Indonesia, sebagai bagian dari ekosistem ekonomi internasional, tentu tidak kebal terhadap guncangan ini.
Namun di tengah semua itu, muncul satu pertanyaan mendasar, yaitu: ke mana arah ekonomi Indonesia akan bergerak? Apakah Indonesia mampu bertahan, tumbuh, bahkan bangkit sebagai kekuatan ekonomi baru, atau justru terseret dalam arus ketidakpastian global?
Tulisan ini mencoba menakar arah ekonomi Indonesia di tengah gejolak global dengan menelaah data makroekonomi terkini, membaca potensi risiko dan peluang, serta menawarkan langkah strategis yang dapat diambil oleh pemerintah dan para pemangku kepentingan.
Gejolak geopolitik yang tengah berlangsung di Timur Tengah (konflik Iran-Israel), perang Rusia-Ukraina yang belum mereda, serta tensi Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok dalam isu perdagangan dan teknologi telah menciptakan ketidakpastian global yang akut. Harga komoditas energi, terutama minyak dan gas, menjadi sangat fluktuatif dan menimbulkan tekanan inflasi di banyak negara berkembang.
Menurut IMF World Economic Outlook edisi April 2025, proyeksi pertumbuhan ekonomi dunia dipangkas menjadi 2,8 persen dari sebelumnya 3,3 persen. Pemangkasan ini dipicu oleh perang dagang melalui pengenaan tarif tinggi oleh AS dan negara-negara mitranya, serta kebijakan publik yang tak pasti dari para pemimpin dunia.
The Fed telah mengerek suku bunga sebesar 525 basis poin sejak Maret 2022 hingga Juli 2023, dan kemudian menahannya di level 5,25-5,50 persen sampai Agustus 2024. Penurunan dimulai pada September 2024 dan kini berada di 4,25-4,50 persen per Juni 2025. Akibatnya, arus modal global kembali ke AS, mendorong depresiasi mata uang negara berkembang termasuk rupiah yang meningkatkan beban utang luar negeri dan biaya impor. Hal ini menciptakan risiko inflasi yang diimpor (imported inflation).
Di sisi domestik, Badan Pusat Statistik mencatat pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2025 sebesar 4,87 persen (yoy), menunjukkan ketahanan ekonomi nasional. Sektor jasa seperti transportasi, logistik, dan pariwisata mulai pulih, dan sektor pertambangan terutama batu bara dan nikel masih menopang ekspor. Namun, pertumbuhan ini belum inklusif. Ketimpangan sektoral dan wilayah masih tinggi. Industri manufaktur justru stagnan, menjadi sinyal bahwa transformasi struktural belum tercapai.
Padahal, Visi Indonesia Emas 2045 mengharuskan pertumbuhan ekonomi di kisaran 7-8 persen agar Indonesia masuk dalam kelompok negara maju. Bila momentum ini terlewat pada era Presiden Prabowo Subianto, maka target tersebut kian sulit dicapai.
Konsumsi rumah tangga, yang selama ini menyumbang sekitar 54 persen terhadap PDB, mulai melemah. Fenomena “Rojali” (rombongan jarang beli) mencerminkan daya beli yang menurun, terutama pada kelompok menengah ke bawah. Harga pangan yang tinggi, tarif listrik, dan biaya hidup di perkotaan membuat masyarakat menahan belanja. Bantuan sosial yang disalurkan pemerintah hanya solusi jangka pendek, belum menyentuh akar persoalan seperti penciptaan lapangan kerja dan peningkatan upah layak.
Di sisi fiskal, pemerintah menghadapi tekanan dari sisi pendapatan dan belanja. Defisit APBN 2025 diproyeksikan melebar dari target awal Rp616,2 triliun (2,53 persen dari PDB) menjadi Rp662 triliun (2,78 persen dari PDB). Utang pun meningkat, dengan penarikan utang baru sebesar Rp250 triliun sepanjang Januari-Maret 2025. Posisi utang luar negeri per kuartal I 2025 mencapai 430,5 miliar dolar AS (sekitar Rp7.144,6 triliun), dengan rasio utang terhadap PDB sebesar 30,6 persen masih dalam batas aman, namun ruang fiskal makin sempit.
Ada tiga risiko struktural yang mengintai ekonomi Indonesia.
Pertama, deindustrialisasi dini dan ketergantungan pada ekspor komoditas mentah. Kontribusi industri pengolahan hanya 17,5 persen terhadap PDB jauh dari standar ideal negara industri (25-30 persen). Jika tak diantisipasi, ini bisa memicu PHK massal dan menyulitkan Indonesia untuk naik kelas menjadi negara industri berbasis teknologi.
Kedua, kualitas SDM dan pengangguran terselubung. Tingkat pengangguran terbuka sekitar 5,3 persen, namun banyak sarjana yang menganggur karena tidak sesuai kebutuhan industri. Di sisi lain, sektor padat karya kekurangan tenaga terampil. Pendidikan vokasi dan pelatihan kerja belum optimal.
Ketiga, ketahanan pangan dan energi yang rapuh. Ketergantungan terhadap impor pangan strategis (gula, gandum, kedelai, daging) membuat Indonesia rentan saat krisis rantai pasok global. Transisi ke energi baru terbarukan (EBT) juga berjalan lambat karena masih kalah dari investasi sektor migas dan batu bara.
Namun, peluang tetap terbuka.
Pertama, bonus demografi dan pasar domestik yang besar. Dengan penduduk 284 juta jiwa dan mayoritas usia produktif, pasar Indonesia sangat kuat. Pemerintah harus menjaga daya beli dan menciptakan lapangan kerja yang berkualitas.
Kedua, hilirisasi industri dan ekonomi hijau. Hilirisasi harus diperluas ke sektor pertanian dan perikanan, tidak hanya nikel dan bauksit. Peluang Indonesia menjadi pemain utama di sektor baterai, kendaraan listrik, dan energi terbarukan cukup besar.
Ketiga, digitalisasi ekonomi. Ekonomi digital diprediksi tumbuh 4 kali lipat pada 2030 menjadi USD 210-360 miliar. Pembayaran digital juga diperkirakan meningkat 2,5 kali lipat menjadi USD 760 miliar.
Keempat, penguatan ekonomi dan keuangan syariah. Indonesia berada di peringkat ke-3 dalam laporan State of the Global Islamic Economy (SGIE) 2024/2025. Pengembangan ekosistem halal, wisata syariah, perbankan syariah, dan wakaf produktif perlu difokuskan. Penguatan kelembagaan Komite Nasional Ekonomi dan Keuangan Syariah (KNEKS) menjadi sangat penting agar ekonomi syariah bisa berkembang dari hulu ke hilir.
Melihat peta besar ini, ekonomi Indonesia berada di persimpangan jalan. Jika dikelola cermat, Indonesia dapat menjadi kekuatan ekonomi kawasan. Namun jika salah langkah, stagnasi atau resesi bisa menghantui.
Karena itu, ada lima strategi utama yang perlu ditempuh:
- Reformasi struktural menyeluruh di bidang industri, pendidikan, perpajakan, dan ketenagakerjaan.
- Transformasi ekonomi dari hulu ke hilir, termasuk pelatihan tenaga kerja dan pembangunan kawasan industri hijau.
- Ketahanan pangan dan energi melalui subsidi strategis dan insentif pertanian regeneratif serta percepatan EBT.
- Diversifikasi mitra dagang dan diplomasi ekonomi ke kawasan nontradisional seperti Afrika, Asia Selatan, dan Timur Tengah.
- Inklusi keuangan dan keadilan ekonomi melalui koperasi modern, perlindungan sosial adaptif, serta optimalisasi dana sosial Islam (zakat, infak, wakaf).
Dunia sedang berubah. Negara yang tangguh adalah negara yang adaptif, berani mengambil keputusan strategis, dan memanfaatkan seluruh potensi domestik secara berkelanjutan. Indonesia punya semuanya sumber daya alam, bonus demografi, posisi geostrategis, dan pasar besar. Yang dibutuhkan kini adalah arah yang jelas dan komitmen untuk melangkah bersama.
(Artikel ini ditulis berdasarkan tulisan Prof. Mohammad Nur Rianto Al Arif yang telah dipublikasikan di Kompas.com pada Selasa, 29 Juli 2025)