Menguji Otonomi Pendidikan Tinggi
Ahmad Tholabi Kharlie
Guru Besar UIN Jakarta dan Anggota Dewan Pendidikan Tinggi (DPT)
Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi RI
Jakarta - Transformasi perguruan tinggi negeri menjadi badan hukum (PTN-BH) merupakan salah satu langkah paling ambisius dalam sejarah pendidikan tinggi Indonesia. Dengan status ini, universitas diberi keleluasaan besar untuk mengatur dirinya, mulai dari aspek akademik, keuangan, hingga kemitraan. Harapannya, universitas lebih lincah merespons perkembangan global, mampu berinovasi, dan tidak terus bergantung pada anggaran negara.
Sejumlah pencapaian memang sudah terlihat. Beberapa PTN-BH berhasil memperbaiki peringkat internasional, memperbanyak publikasi bereputasi, dan membangun jaringan riset global. Tak sedikit pula inovasi teknologi yang lahir dari laboratorium PTN-BH, bahkan ada yang berkembang menjadi startup berbasis riset. Dari sisi tata kelola, organ seperti Majelis Wali Amanat (MWA) dan Senat Akademik membuat proses pengambilan keputusan lebih sistematis.
Namun, dibalik keberhasilan tersebut, muncul permasalahan yang tidak dapat dikesampingkan. Di dilema yang dihadapi PTN-BH. Ia adalah laboratorium tata kelola modern sekaligus cermin ketidaksiapan sistem pendidikan tinggi kita menghadapi tantangan keadilan sosial.
Dilema PTN-BH
Keluhan utama masyarakat terkait PTN-BH mencakup biaya kuliah yang cenderung lebih tinggi. Universitas memang menyediakan beasiswa, namun sering kali tidak sebanding dengan jumlah mahasiswa miskin yang membutuhkan. Akibatnya, status PTN-BH terkesan melahirkan kampus elit, yang secara perlahan menjauh dari semangat konstitusional untuk mencerdaskan kehidupan bangsa.
Kondisi ini pernah diingatkan oleh filsuf pendidikan, John Dewey (1916), “Pendidikan bukanlah suatu persiapan untuk hidup, pendidikan adalah kehidupan itu sendiri.” Pendidikan bukan komoditas yang hanya bisa diakses kelompok berpunya, melainkan bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Jika akses pendidikan terhambat oleh urusan biaya, maka status PTN-BH akan kehilangan legitimasi moralnya.
PTN-BH juga menghadapi dilema antara menjaga idealisme tridharma perguruan tinggi dan tekanan untuk mencari pemasukan. Orientasi pasar terkadang lebih dominan, misalnya dengan membuka program studi populer berbiaya tinggi, sementara program strategi seperti filsafat, sastra daerah, atau ilmu-ilmu dasar kurang mendapat perhatian.
Fenomena ini menunjukkan bahwa otonomi yang diberikan sering tereduksi menjadi ruang komersialisasi. Padahal, otonomi sejatinya ditujukan untuk memperluas kreativitas akademik, memperkuat riset, dan mendorong pengabdian masyarakat. Jika dibiarkan, kampus bisa terjebak dalam logika korporasi yang mengedepankan keuntungan, bukan lagi misi keilmuan dan kemanusiaan.
Di lapangan, meski sudah diberi label mandiri, sebagian besar PTN-BH masih bergantung pada APBN. Dana penelitian, subsidi gaji dosen, hingga biaya operasional inti tetap datang dari negara. Upaya mencari dana non-APBN memang ada, seperti pengembangan unit usaha, kerja sama industri, dan donasi alumni, namun kontribusinya masih kecil.
Perbandingan dengan negara lain menampilkan kelemahan ini. Di Amerika Serikat, universitas negeri memang otonom, tapi sudah lama mengandalkan kombinasi dana negara bagian, biaya kuliah, riset kompetitif, dan alumni endowment (dana abadi-red). Di Inggris, universitas berstatus badan hukum hampir sepenuhnya mandiri, meski konsekuensinya biaya kuliah tinggi. Sementara di Jerman dan Singapura, pemerintah tetap hadir dengan kuat. Pendidikan tinggi dipandang sebagai barang publik yang tidak dapat diterima hanya pada mekanisme pasar.
Posisi Pemerintah
Menyadari berbagai permasalahan yang dihadapi, pemerintah harus mengambil langkah korektif. Instrumen evaluasi yang disusun secara komprehensif, Indikator Kinerja Utama (IKU) diperketat, subsidi afirmatif melalui KIP Kuliah perselisihan, dan mekanisme audit diperkuat. Alumni juga didorong untuk ikut membangun dana abadi, sementara kemitraan dengan BUMN dan industri diperbanyak.
Strategi ini menunjukkan pilihan moderat, yakni negara tetap menjaga kendali, namun tidak mematikan ruang inovasi. Meski demikian, jurang antara PTN-BH dan PTN biasa masih menganga. Universitas di Jawa lebih mudah menjalin mitra industri, sementara kampus di luar Jawa tertinggal. Upaya pemerataan kualitas harus menjadi prioritas agar PTN-BH tidak hanya sekadar memperbesar pemerataan.
PTN-BH adalah eksperimen besar yang belum tuntas. Masa depan PTN-BH sangat bergantung pada bagaimana pemerintah, universitas, dan masyarakat menjaga keseimbangan antara otonomi, akuntabilitas, dan keadilan sosial.
Otonomi universitas memang mutlak diperlukan untuk daya saing global. Namun, tanpa akses yang adil, PTN-BH akan kehilangan makna konstitusionalnya. Pendidikan tinggi adalah hak warga negara, bukan hak istimewa kelompok tertentu.
Oleh karena itu, tantangan kita hari ini adalah memastikan PTN-BH tidak sekadar menjadi menara gading yang gemerlap di panggung global, tetapi juga ladang subur bagi lahirnya generasi bangsa yang cerdas, kritis, dan berkeadilan. Di situlah PTN-BH menemukan makna sejatinya. Bukan hanya otonom, tetapi juga inklusif dan humanis.
Artikel ini telah dipublikasikan di Detikedu pada Rabu (24 September 2025).