Menghindari Beban Sejarah Baru
Perjalanan sejarah anak manusia, bangsa, dan negara sering digayuti peristiwa historis tidak menyenangkan, pahit, dan gelap. Perjalanan pahit bisa menjadi ”beban sejarah” (burden of history). Boleh jadi peristiwa di masa silam atau di masa sekarang—bergerak menjadi sejarah—berada di luar kekuasaan dan daya upaya manusia seperti bencana alam. Namun, bisa juga karena kebijakan dan langkah manusia yang dilakukan tanpa pertimbangan matang; menjadi ”salah jalan” yang tidak bisa atau terlalu mahal dan pahit untuk dikoreksi. ”Nasi sudah menjadi bubur”.
Sejarah untuk masa depan. Sejarah bukan sekadar periwayatan dan kenangan bersama tentang kejadian masa silam. Dalam perspektif sejarah masa depan—kini menjadi ”sejarah konvensional”—waktu yang berlalu bersama peristiwa aktual hari ini niscaya meninggalkan jejak dan bayang-bayang di masa depan (ghosts of the past). Langkah yang jelas positif bagi kemajuan hari ini dapat membawa kehidupan dan peradaban ke arah lebih baik. Sebaliknya, ada langkah yang bisa menimbulkan katastrofe di masa depan yang dekat dan jauh.
Dalam perspektif akademis multidisiplin, antardisiplin, dan transdisiplin, sejarah untuk masa depan terkandung dalam paradigma big history atau macrohistory. Berbeda dari sejarah konvensional—sering disebut microhistory—”sejarah besar” mengkaji dinamika kehidupan manusia dan peradabannya berdasarkan berbagai kecenderungan makro; apakah positif atau negatif. Pemahaman tentang dinamika sejarah makro dan sejarah mikro semestinya menjadi pertimbangan bagi pemegang kebijakan guna menghindari ”beban sejarah” hari ini dan di masa depan.
Berbagai beban sejarah masa lalu juga masih menggayuti Indonesia dewasa ini. Di antara beban sejarah yang sering mengganggu, misalnya, ”pembantaian” anggota Partai Komunis Indonesia dan mereka yang dicurigai komunis pada 1965-1966, dan bermacam kasus pelanggaran HAM; sejak dari penembakan misterius (1982-1986) sampai ”tragedi Trisakti” (1998).
Dalam perspektif big history, beban sejarah Indonesia tidak terbatas pada kekerasan dan penghilangan nyawa; apakah yang dilakukan aparat negara atau aktor non-negara. Daftar beban sejarah bisa panjang; juga mencakup kerusakan ekosistem kehidupan dan peradaban sejak masa rezim Orde Baru sampai Orde Reformasi. Banyak beban sejarah terkait perusakan lingkungan, pembabatan hutan, dan penambangan eksploitatif atas nama pembangunan yang ironis berlanjut lebih parah di masa sekarang.
Beban sejarah dalam berbagai bentuk tersebut belum bisa diselesaikan pucuk pimpinan negara yang datang dan pergi sepanjang masa reformasi sejak 1998-1999 hingga kini. Presiden Joko Widodo dengan sisa masa pemerintahan sekitar dua setengah tahun patut berupaya keras menyelesaikan beban sejarah masa lalu dan sekaligus mencegah munculnya beban sejarah baru hari ini yang bisa menjadi warisan negatif yang mesti dipikul kepemimpinan nasional dan warga di masa selanjutnya.
Selain beban sejarah di masa lalu, terlihat beberapa fenomena yang dapat menambah beban sejarah hari ini dan ke depan. Misalnya, kekerasan aparat Polri yang menewaskan beberapa mahasiswa dalam aksi unjuk rasa menentang revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (September-Oktober 2019) serta terbunuhnya empat anggota Front Pembela Islam (7/12/2020) di Jalan Tol Karawang Timur yang sering disebut sementara kalangan sebagai ”Kasus Kilometer 50”.
Potensi beban sejarah juga terlihat dalam kemerosotan demokrasi, yang mestinya segera diperbaiki sebelum telanjur menjadi beban sejarah. Beberapa tahun terakhir banyak perbincangan ahli dan publik di dalam dan luar negeri tentang fenomena kemerosotan demokrasi dengan penguatan oligarki politik, legislasi tidak prosedural, marjinalisasi masyarakat sipil, dan berkurangnya kebebasan berekspresi.
Kegaduhan terkait likuidasi banyak lembaga penelitian ke dalam Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) belakangan juga dapat menjadi beban sejarah pasca-kepemimpinan nasional 2024. Dekonstruksi banyak lembaga penelitian berbarengan dengan konsolidasi yang mendapat banyak tantangan ke dalam BRIN bisa menjadi beban sejarah, apalagi jika gagal melakukan riset guna menghasilkan inovasi.
Potensi beban sejarah juga membayangi ”proyek mercusuar” ibu kota negara (IKN) di Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur. Gagasan tentang pemindahan ibu kota negara dari Jakarta sudah ada sejak zaman Presiden Soekarno. Namun, viabilitas dan sustainabilitas pembangunan proyek IKN dalam beberapa tahun ini sangat meragukan. Pandemi Covid-19 masih berlanjut dengan kesulitan keuangan negara.
Selain itu, masa pemerintahan Presiden Jokowi yang tersisa relatif singkat sehingga bisa mewariskan proyek IKN yang mangkrak karena tidak ada kepastian kepemimpinan nasional pasca-Pemilu 2024 melanjutkannya. Inilah saat elite politik berefleksi dan berusaha mencegah bertambahnya beban sejarah bagi negara-bangsa dan generasi pelanjut. (zm)
Penulis adalah Guru Besar UIN Jakarta. Artikelnya dimuat dalam Kolom Analisis Politik, KOMPAS, 27 Januari 2022.