Menghayati Semiotika Haji

Menghayati Semiotika Haji

Prof DR KH Nasaruddin Umar

Haji sangat kaya dengan peristiwa simbolik. Siapapun yang ingin merasakan nikmatnya haji dan umrah sebaiknya memahami simbol-simbol yang ada di dalamnya. Untuk memahami arti simbol diperlukan sebuah pendekatan khusus yang dikenal sebagai pendekatan semiotik, yakni sebuah metode yang bisa mengantarkan kita tentang makna berbagai simbol secara komprehensif.

Haji sebagai lambang drama kosmik, yang menceritakan jatuhnya nenek moyang kita Adam dari surga kenikmatan ke bumi penderitaan melibatkan pemeran utama yaitu malaikat, iblis, Adam, Hawa, Ibrahim, Ismail, Hajar, Nabi Muhammad SAW.

Selama ini, kita secara lugu memahami drama ini sebagai peristiwa faktual sebagaimana ditemukan di dalam kitab-kitab tafsir sunny mu'tabarah. Di sana, ada Iblis sebagai aktor paling berpengaruh menyebabkan per­istiwa kejatuhan itu terjadi. Paling jauh kita difahamkan bahwa drama kosmik ini pelajaran penting bagi anak cucu Adam agar jangan jatuh di lubang yang sama. Jika ingin kembali ke surga yang pernah dicicipi nenek moyang kita, maka kita harus mengikuti ajaran Islam yang berisi tuntunan, perintah, dan larangan.

Al-Qur'an turun ke bumi untuk mengembalikan manusia ke kampung halamannya di surga. Tidak ada artinya kita membu­mikan Al-Qur'an jika tidak mampu melangitkan manusia.

Abd Razzaq al-Kasyani, dalam kitab al-Ta'wilat-nya berpendapat bahwa drama kosmik itu lebih bermakna meta­foris. Para aktor dan pemeran utama yang terlibat di dalam drama tersebut bukan figur personal, tetapi lebih bermakna simbolis-metaforis. Kasani tidak menafikan makna ekso­terik. Namun, ia sendiri lebih menekankan makna esoterik ayat-ayat drama kosmik, tetapi tersebut.

Kasyani mengonotasikan Adam dengan hati (qalb), Hawa dikonotasikan dengan jiwa (nafs), dan Iblis dikonotasikan dengan intuisi inderawi (wahm). Adam dikonotasikan dengan hati atau kalbu karena ia telah diajarkan nama-nama semuanya (wa 'allam Adam al-asma' kullaha). Dengan demikian Adam menjadi maklum akan ciri dan identitas benda-benda serta manfaat, resiko, dan bahayanya. Hawa dikonotasikan jiwa atau nafsu, sehingga sering menjadi kata majemuk hawa-nafsu.

Hawa sendiri secara harfiah berasal dari kata hawa be­rarti "kecenderungan merah pada warna hitam", karena itu nafs tidak terpisahkan dengan badan yang gelap dan hawwa adalah warna yang didominasi oleh warna hitam. Bandingkan dengan Adam yang secara harfiah berati "ter­bubuhi warna hitam". Kata adam seakar kata dengan udma berarti coklat atau warna yang cenderung pada warna hitam. Iblis dikonotasikan dengan wahm atau intuisi inderawi, yang memberikan kesadaran cepat namun sering mengecoh dan mengelirukan.

Intuisi indrawi ini memperingatkan kita tentang kenyataan bahwa sifat-sifat kebencian, kebenaran, ketamakan, dan kebaikan mungkin ada dalam diri seorang manusia atau seekor hewan, seperti srigala harus dihindari dan anak harus disayangi. Intuisi indrawi, menurut Kasyani, sebagaimana yang disederhanakan oleh Murata dengan men­gatakan indra perantara yang ditempatkan di suatu tempat antara akal dan persepsi indra. Dengan demikian, kesadaran yang disuguhkan oleh Iblis adalah kesadaran dangkal, semu, dan tidak bersifat universal.

Intuisi indrawi yang tidak dituntun oleh akal berpotensi menjerumuskan manusia ke dunia kesensaraan. Peran akal untuk membimbing intuisi indrawi penting sekali jika ses­eorang menghendaki keselamatan. Namun akal pun juga memerlukan tuntunan yang bersumber dari Yang Maha Pemberi Petunjuk (Al-Hadi).

Siklus ibadah haji sesungguhnya merupakan sebuah exer­cise untuk menjadi manusia paripurna (insan kamil). Wajar kalau Nabi melukiskannya dengan predikat: Bagaikan ia baru lahir dari rahim ibunya (ka yaum waladathu ummuh), yang suci dari dosa. Selamat meraih haji mabrur. Allahu A'lam. (rm.id/zm)

 

Penulis adalah Guru Besar Fakultas Ushuluddin UIN Jakarta dan Imam Besar Masjid Istiqlal. Artikelnya dimuat Tangsel Pos, Sabtu 9 Juli 2022