Mengevaluasi Kiai dan Kurikulum al-Zaytun
Jejen Musfah
PERHATIAN terhadap Panji Gumilang dan Pesantren Al-Zaytun sedang meningkat di berbagai media. Hal itu karena munculnya video-video pernyataan dan praktik keagamaan berbeda dengan pemahaman mayoritas masyarakat muslim Indonesia. Pernyataan bahwa Al-Qur’an bukanlah kalam Allah, ibadah haji tidak perlu dilakukan di Mekah, posisi laki-laki dan perempuan dalam salat berbeda, azan dengan gerakan dan menghadap jemaah bukan menghadap kiblat, serta perempuan bisa menjadi khatib salat Jumat, merupakan di antara kontroversi yang viral.
Selain masalah keagamaan, Pesantren Al-Zaytun juga terlibat dalam perubahan lirik lagu Indonesia Raya. Isu-isu lain juga muncul, termasuk sumber keuangan pesantren, dugaan pelecehan seksual, dan isu tentang Negara Islam Indonesia (NII). Praktik keagamaan dan isu-isu itu telah memicu demonstrasi di berbagai tempat menuntut penutupan pesantren dan tindakan hukum terhadap Panji Gumilang.
Dalam tulisan ini, saya ingin memfokuskan pada aspek pendidikan di pesantren dan madrasah Al-Zaytun. Penting bagi kita untuk melihat pesantren dan madrasah Al-Zaytun dalam konteks pendidikan. Fokus harus diberikan pada kualitas pendidikan yang diberikan kepada santri, pengembangan keterampilan dan pengetahuan mereka, serta pemahaman agama yang diajarkan.
Evaluasi cermat harus dilakukan untuk memastikan kurikulum yang diajarkan sesuai dengan standar yang ditetapkan Kementerian Agama, dengan memeriksa apakah nilai-nilai toleransi, penghormatan terhadap perbedaan, dan keharmonisan antarumat beragama dipromosikan dalam pendidikan di pesantren dan madrasah tersebut.
Evaluasi kurikulum
Dalam melakukan evaluasi terhadap Pesantren Al-Zaytun, perlu mempertimbangkan beberapa aspek. Pertama, harus mencakup penilaian terhadap kurikulum madrasah dan kepemimpinan pesantren. Kurikulum madrasah harus dipastikan sesuai dengan Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 90 2013 tentang Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah, menegaskan bahwa setiap madrasah wajib menerapkan kurikulum yang ditetapkan pemerintah.
Penting untuk melihat tidak hanya aspek tertulis dalam kurikulum, tetapi juga aspek tidak tertulis, seperti apa yang diajarkan di dalam dan di luar kelas, serta apa yang dikatakan dan dilakukan kiai dan ustaz.
Selain itu, evaluasi juga perlu memperhatikan pemahaman keagamaan yang ada di Al-Zaytun. Penting untuk menentukan apakah pemahaman keagamaan yang diajarkan hanya merupakan fenomena kebebasan berpendapat atau juga mencela pemahaman keagamaan lain yang berbeda. Evaluasi itu harus dilakukan dengan hati-hati, mengingat risiko ekstremisme dan pengafiran terhadap orangtua atau muslim lain dapat muncul akibat perbedaan pemahaman keagamaan.
Dalam melakukan evaluasi, Kementerian Agama harus melibatkan tim evaluasi yang kompeten dan melakukan investigasi yang serius, bukan hanya kunjungan silaturahim. Hasil evaluasi dari ahli harus menjadi dasar pemerintah mengambil langkah peringatan atau pembinaan sebelum mengambil keputusan yang lebih drastis, mengingat Pesantren Al-Zaytun memiliki ribuan santri dan karyawan serta berbagai kegiatan usaha yang telah berjalan selama ini.
Kiai
Bagaimana cara mengevaluasi kepemimpinan Panji Gumilang di Pesantren Al-Zaytun? Menurut Zamakhsyari Dhofier (1985), kiai adalah pemimpin spiritual dalam masyarakat muslim Indonesia yang berbasis di pesantren. Kiai memiliki otoritas agama dan keilmuan yang diakui komunitasnya. Mereka dihormati dan dijadikan panutan umat muslim, khususnya para santri.
Kiai memiliki tugas sebagai guru agama yang menyebarkan pengetahuan keagamaan kepada santri, serta memberikan bimbingan moral dan spiritual. Selain itu, kiai juga memiliki peran sosial yang penting. Mereka tidak hanya terlibat dalam aspek keagamaan, tetapi juga ikut serta dalam masalah-masalah sosial, politik, dan ekonomi di masyarakat. Kiai sering menjadi pemimpin dalam komunitas, mediator dalam konflik, dan penasihat dalam berbagai hal.
Dalam UU Nomor 18 2019 tentang Pesantren, meskipun jangkauan peran kiai cenderung dilokalisasi hanya dalam pesantren, kiai didefinisikan sebagai pendidik yang memiliki kompetensi dalam ilmu agama Islam dan berperan sebagai figur, teladan, dan/atau pengasuh pesantren. Kriteria penilaian terhadap kiai meliputi pengetahuan agama yang baik dan akhlak yang mulia. Penilaian harus didasarkan pada kerangka berpikir dan norma-norma yang diatur dalam UU Pesantren.
Beberapa pertanyaan seperti apakah kreativitas dalam pemahaman keagamaan dan kebangsaan bersifat positif atau negatif? Apakah hal tersebut membantu atau justru memecah belah umat? Apakah menunjukkan kepekaan kritis dari santri dan ustaz atau justru mengandung kesalahan dalam berpikir? Serta apakah pemahaman keagamaan yang ditunjukkan bersifat moderat atau ekstrem? Jadi dengan mengikuti perspektif Zamakhsyari Dhofier dan UU tentang pesantren, beberapa pertanyaan di atas dapat diajukan untuk menguji kekiaian seorang Panji Gumilang.
Santri
Menurut Zamakhsyari Dhofier (1985), santri merujuk kepada murid yang belajar di pesantren, suatu lembaga pendidikan Islam tradisional di Indonesia. Santri bukan hanya murid yang belajar aspek keagamaan, melainkan juga merupakan bagian integral dari komunitas pesantren. Mereka tinggal di pesantren dan terlibat dalam kehidupan sehari-hari di sana yang menjalani pendidikan agama yang komprehensif, termasuk Al-Qur'an, hadis, fikih, tafsir, dan ilmu-ilmu agama lainnya.
Dhofier (1985) menekankan bahwa santri tidak hanya menjadi murid yang belajar agama, tetapi juga individu yang terlibat dalam komunitas pesantren, menjalani pendidikan agama yang holistis, dan mempersiapkan diri sebagai penerus tradisi keagamaan di masyarakat.
Untuk itulah, diperlukan kehati-hatian dalam menangani kasus Al-Zaytun, berkaitan dengan santri. Dalam mengambil kebijakan atau keputusan terkait dengan Al-Zaytun, Kementerian Agama harus mempertimbangkan hak pendidikan santri yang diatur dalam UU Nomor 23 2002 tentang Perlindungan Anak. Untuk itu, langkah pertama yang perlu diambil ialah memberikan peringatan sebagai bagian dari proses pembinaan.
Pembekuan atau penutupan madrasah atau pesantren hanya menjadi pilihan terakhir jika Al-Zaytun menolak pembinaan atau rekomendasi pemerintah. Pada tahap itu, penting untuk memastikan bahwa Al-Zaytun bersedia mengeluarkan surat pindah bagi santri tanpa hambatan atau pengecualian, meskipun keputusan pemerintah memberikan peringatan atau memperbolehkan operasional madrasah, kampus, dan pesantren.
Selain itu, pemerintah juga perlu menggali informasi dari orangtua atau masyarakat mengenai alasan mereka memercayakan anak-anak mereka ke Al-Zaytun. Apa keunggulan dan keistimewaan yang dimiliki pesantren itu sehingga masyarakat tetap tertarik meskipun pesantren sedang menghadapi masalah kepemimpinan, keagamaan, dan nasionalisme? Atau mungkin ada alasan tersembunyi yang tidak terpikirkan atau tidak sesuai dengan penalaran kita? Wallahualam. (ZM)
Penulis adalah Dosen Magister UIN Jakarta dan Wakil Sekjen PB PGRI. Artikelnya dimuat di Koran Media Indonesia, Senin 17 Juli 2023.