Mengaku Fakir
Oleh: Syamsul Yakin Dosen MKPI FDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Kerap kita mendengar orang yang berulang kali menggelari dirinya dengan al-fakir. Padahal dia tidak miskin. Rumahnya bagus, mobilnya mewah, pakaiannya necis dan modis, pun makanannya penuh gizi dan nutrisi. Lalu mengapa orang ini masih mengaku fakir padahal hidupnya berkecukupan?
Secara bahasa, kata fakir (faqir) atau bentuk pluralnya fuqara berarti memerlukan. Hal ini bisa dipahami dari makna ayat, "Wahai manusia, kamulah yang memerlukan Allah" (QS. Fathir/35: 15). Manusia memerlukan Allah, tulis pengarang Tafsir Jalalain, dalam keadaan apa saja.
Menurut Syaikh Nawawi dalam Tafsir Munir, ayat ini maksudnya adalah bahwa manusia memerlukan ampunan Allah, kasih sayang-Nya, dan rezeki-Nya baik di dunia maupun di akhirat. Rezeki di akhirat adalah surga.
Untuk bisa meraih itu semua, lanjut Syaikh Nawawi, manusia harus menyembah Allah karena Allah Maha Kaya. Seperti Allah tegaskan sendiri, "Dan Allah Dialah Yang Maha Kaya lagi Maha Terpuji" (QS. Fathir/35: 15). Ayat ini, menurut Ibnu Katsir dalam tafsirnya, mempertegas bahwa Allah tidak memerlukan apapun dari manusia. Sementara manusia dalam diam dan bergeraknya senantiasa memerlukan Allah.
Dari sini dapat dipahami bahwa orang yang menggelari diri dengan al-fakir adalah orang yang dalam diam dan bergeraknya memerlukan Allah. Artinya, dia tidak punya apa-apa di hadapan Allah. Kalaupun dia punya sesuatu karena diberi Allah. Semua milik Allah Yang Maha Kaya. Ciri paling umum dari orang yang mengaku fakir justru suka memberi. Alasannya, dia sadar bahwa manusia memiliki sesuatu karena diberi Allah. Oleh karena itu dia juga meniru Allah. Bukan sebaliknya, meminta-minta kepada manusia.
Berikutnya makna orang yang menggelari dirinya dengan al-fakir adalah orang sudah selesai dengan dirinya dan tak memerlukan lagi apresiasi manusia baik itu pujian atau makian, sebab yang dibutuhkan adalah ampunan-Nya, kasih sayang-Nya, dan rezeki-Nya baik di dunia maupun di akhirat.
Ciri lain orang yang menggelari dirinya dengan al-fakir adalah dia tidak bisa dibuat terlalu gembira saat mendapatkan sesuatu atau bersedih karena ada yang luput darinya. Hal ini seperti diungkap al-Qur'an, "(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu" (QS. al-Hadid/57: 23).
Ketika dunia dan perhiasannya yang masih dikejar, manusia dan pujiannya yang diharapkan itu artinya orang yang mengaku al-fakir bukan fakir di hadapan Allah tapi fakir di hadapan makhluk. Artinya orang itu memerlukan like manusia, subscribe dan komen follower, meminjam istilah di dunia maya. Sementara di dunia nyata dia berhajat terhadap pujian, masih memiliki ambisi dan orientasi kepada harta dan kuasa. Tak berlebihan kiranya kalau orang semacam ini lebih pantas digelari al-fakir palsu. Setidaknya begitu kalau mengacu kepada yang Syaikh Nawawi katakan di awal tulisan ini.(sam)